Pakar Psikologi Forensik: RUU P - KS Banyak Masalah, Jangan Buru-buru Disyahkan!



Kamis, 12 September 2019

Faktakini.net, Jakarta - Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel menilai bahwa masih banyak pasal yang bermasalah dalam RUU P-KS. Maka, ia mengimbau kepada DPR agar RUU ini tidak segera disahkan.

“Jangan terburu-buru mengesahkan RUU ini menjadi UU pada bulan ini juga, tunggulah. Berikan kesempatan pada waktu, pada kita bersama untuk mencari merumuskan pasal-pasal mana saja yang perlu pembenahan, penguatan, yang harus kita buang,” ujarnya dalam diskusi publik RUU P-KS di Hotel Gren Alia, Cikini Jakarta Pusat, Kamis (12/09/2019).

Salah satu pasal yang paling merisaukan Reza adalah pasal Pemaksaan Pelacuran, yang merupakan salah satu dari sembilan bentuk tindak kekerasan seksual. Pasal Pemaksaan Pelacuran ini termasuk yang paling merisaukan, dan percabangannya juga yang paling luas.

“Dari namanya saja, tentu mengandung prasangka karena jika pelacuran dilakukan tanpa pemaksaan dan tanpa unsur kekerasan, maka tidak masalah. Sehingga jika dimaknai dari undang-undang ini bukan pelacurannya, tapi kekerasannya. Terbayang oleh saya jika artis prostitusi online tidak ditindak, malah yang ditindak justru manajernya,” jelasnya.

Ia juga menyebut, para pengusung RUU P-KS ini mengibaratkan orang yang mengeksploitasi pelacuran dapat dikenakan pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Padahal, jelas Reza, pemaksaan pelacuran dan pelacuran yang dilakukan tanpa paksaan serta kekerasan adalah dua hal yang berbeda.

“Tidak ada persamaan antara pelacur yang dipaksa dengan hasil hanya ratusan ribu dengan pelacur profesional yang omsetnya puluhan bahkan ratusan juta. Justru, pasal-pasal seperti ini memberi ruang bagi pelacur online untuk terus bergelimang,” katanya.

Dinilai Mengabaikan Adat

Reza menjelaskan, pelacuran yang diatur dalam UU TPPO adalah pelacuran yang dipaksa dan diperdagangkan secara bebas. Menurut dia, hingga hari ini Indonesia sedang mengalami kevakuman hukum dalam menindak pelacur profesional, baik laki-laki maupun perempuan.

“Seperti definisi zina dalam KUHP dan definisi zina sesuai perkembangan di masyarakat itu beda. Karena yang diatur dalam KUHP hanya untuk pria yang sudah memiliki istri, tapi kalau perjaka atau perawan yang melakukan kontak seksual, tidak ada persoalan,” ujarnya.

Lebih jauh, mengenai hubungan sesama jenis ia juga menyayangkan dalam RUU P-KS hal tersebut tidak dilarang selama tidak ada unsur pemaksaan atau kekerasan. “Orientasi seksual disitu tidak dimasalahkan, yang dimasalahkan lagi-lagi kekerasannya,” katanya.

Di satu sisi ia pun tidak memungkiri ada yang patut diapresiasi dari RUU P-KS ini seperti permasalahan terhadap korban. “Maka langkah yang menurut saya realistis adalah ayo kita benahi, kita sempurnakan sama-sama. Karena perlu kita benahi, jangan tergesa-gesa kita sahkan secepat mungkin,” tutupnya.

Foto: Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri
 
Sumber: kiblat.net