Terungkap! Ketua DPR: Kami Ditekan Negara Barat Agar LGBT Tak Dilarang Di RUU KUHP
Sabtu, 21 September 2019
Faktakini.net, Jakarta - Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengakui penyusunan RUU KUHP pelik karena banyak ketentuan di dalamnya, juga karena banyak kepentingan. Termasuk ada kepentingan asing yang terusik dengan RUU KUHP.
Bamsoet mengungkap DPR mendapat tekanan dari beberapa negara terkait ketentuan di RUU KUHP yang memperketat hukuman bagi tindak LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender).
"Saya bisa merasakan tekanannya yang luar biasa. Dalam pembahasan RUU KUHP ini terus terang DPR RI juga mendapat tekanan yang kuat terkait masalah LGBT," ucap Bamsoet di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat (20/9.
"Setidaknya ada 14 perwakilan negara-negara Eropa termasuk negara besar tetangga kita, saya tidak perlu sebutkan namanya, tidak ingin adanya pelarangan LGBT dalam KUHP kita."
Bamsoet menyebut negara-negara itu menginginkan LGBT tumbuh subur di Indonesia, seperti halnya mereka melegalkan LGBT.
Namun, klaim Bambang, tekanan tak membuat DPR layu.
"Sikap DPR tegas, kita penentang terdepan untuk LGBT berkembang di Indonesia," tegas Bamsoet.
Ketentuan itu diatur dalam Pasal 421:
1. Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya:
a. di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori III.
b. secara paksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
c. yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
2. Setiap orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain untuk melakukan perbuatan cabul terhadap dirinya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.
Politikus Golkar itu menyebut RUU KUHP memang masih mengandung pasal-pasal kontroversial, di antaranya soal kumpul kebo, kebebasan pers, dan penghinaan terhadap kepala negara.
Maka diharapkan jika akhirnya seluruh fraksi di DPR juga sepakat menunda RUU KUHP ke periode berikutnya, diharapkan pro kontra itu lebih sedikit.
"Memang tidak mudah kita berjuang untuk memiliki buku induk atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana sendiri menggantikan KUHP kolonial peninggalan Belanda.
Foto: Bambang Soesatyo
Sumber: kumparan.com