YLBHI: Masyarakat Diancam Banyak Pasal Pidana, Tapi Koruptor Kok Dilonggarkan?



Kamis, 26 September 2019

Faktakini.net, Jakarta - Meski Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sepakat ditunda, publik tetap saja mempertanyakan sikap Presiden Joko Widodo karena menyetujui perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di lain sisi, Presiden setuju RKUHP ditunda.

Padahal, keduanya sama-sama ditolak oleh publik terutama terkait UU KPK. Mulai dari kalangan pegiat antikorupsi hingga insan KPK, baik karyawan maupun jajaran pimpinan. Semua menolak revisi UU KPK.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mencermati substansi kedua regulasi tersebut. Menurut dia, RKUHP membuat masyarakat rentan dipidana. Adapun koruptor mendapat kelonggaran dalam UU KPK. Asfinawati bertanya-tanya, dalam rancangan ini mengapa dalam UU KPK ada kelonggaran untuk koruptor.

“Pertanyaan dari kami, kok untuk publik (atau) masyarakat biasa begitu banyak aturan kriminal untuk menjerat mereka. Sedangkan para koruptor dilonggarkan,” katanya dalam diskusi mingguan di Jakarta bertema: “Mengapa RKUHP Ditunda?”.

menyebut kedua bakal regulasi itu sama-sama ditolak masyarakat.

“Sebetulnya publik juga ramai sekali meminta agar revisi Undang-Undang KPK ini tidak dilanjutkan ya dan sikap presiden berbeda,” kata Asfinawati, Sabtu (21/9).

Menurut dia, hukuman bagi pencuri tiga buah cokelat sama dengan koruptor yang menggarong triliunan uang rakyat. “Itu adil atau tidak? Yang lebih mengenaskan lagi, kalau orang yang mencuri 3 kakao ini sebetulnya jadi miskin karena koruptor,” kata dia.

Dia meminta pembuatan aturan secara proporsional. Jangan ada kongkalikong melindungi koruptor. “Jadi dalam ilustrasi ini terlihat negara harusnya bertingkahlaku sebaliknya. Presiden dan DPR bertingkah sebaliknya,” kata dia.

Foto: Asfinawati

Sumber: indonesiainside.id