Fadli Zon: Berlarutnya Pemulangan Habib Rizieq Indikasi Lemahnya Komitmen Perlindungan Pemerintah





Selasa, 26 November 2019

Faktakini.net

*BERLARUTNYA PEMULANGAN HABIB RIZIEQ INDIKASI LEMAHNYA KOMITMEN PERLINDUNGAN PEMERINTAH*

*Fadli Zon*

Sudah lebih dua tahun polemik pemulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) ke tanah air belum kunjung mendapat kejelasan. Dari beragam pernyataan yang mewakili pihak pemerintah, terdapat sejumlah persoalan yang menghambat kepulangan HRS. Tapi, semua tuduhan tersebut tak ada yang terbukti. Termasuk isu overstay yang sering dijadikan alasan pemerintah, dan dugaan pelanggaran hukum yang HRS lakukan di Arab Saudi.

Saya berulang kali bertemu HRS di kediamannya di Mekkah dalam kesempatan haji dan umrah. Ia menceritakan dan menunjukkan bukti-bukti bahwa telah berulang kali bermaksud keluar dari Saudi Arabia bersama keluarga. Tiket telah dibeli bahkan pernah keluarganya telah keluar lewat imigrasi, tapi HRS tak bisa keluar. HRS menyampaikan niatnya waktu itu untuk menuntaskan program doktoralnya di Malaysia.

Saya mencatat juga, pada September 2018 sebagai Wakil Ketua DPR, saya menerima pengaduan resmi tim advokat GNPF. Dalam kesempatan tersebut, Tim advokat GNPF menyampaikan bahwa pada Juli 2018, HRS dilarang keluar oleh petugas imigrasi Arab Saudi saat hendak ke Malaysia untuk mengurus disertasi S3. Padahal saat itu, HRS memiliki izin tinggal yang masih berlaku. Herannya, larangan tersebut belum dicabut, hingga akhirnya visa HRS habis masa berlakunya (overstay). Ada “invisible hand” dibalik kasus HRS yang menghambatnya keluar dari Saudi.

Pemerintah  kemudian menyederhanakan polemik ini, bahwa kendala kepulangan HRS, seperti beberapa hari lalu juga diungkapkan Menkopolhukan Mahfud MD, berada di sisi pemerintah Arab Saudi dan HRS, bukan pada pemerintah Indonesia. Padahal, pihak Saudi tak berkepentingan terhadap HRS.

Masalahnya, jika hambatan kepulangan HRS ada di sisi pemerintah Arab Saudi, bagaimana peran pemerintah Indonesia untuk menangani masalah tersebut? HRS bukan warga Saudi. Berlarut-larutnya kepulangan HRS dari Arab Saudi ke Indonesia, menurut hemat saya, mengindikasikan kegagalan diplomasi pemerintah dalam melindungi segenap  bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.

Sebagai warga negara Indonesia, merujuk kepada hukum internasional ataupun nasional, HRS yang saat ini berada di Arab Saudi, memiliki hak melekat untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah Indonesia. Tapi negara abai terhadap hak warganya dan cenderung membiarkan masalah ini berlarut-larut. Padahal sejumlah pejabat tinggi penegak hukum dan intelijen RI sudah beberapa kali menemui HRS beberapa tahun belakangan ini.

Dalam hukum internasional, sebagaimana diatur di dalam konvensi Wina 1961 Pasal 3 dan Konvensi Wina 1963 Pasal 5, dinyatakan bahwa negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal di luar negeri. _“Protecting in the receiving State the interests of the sending State and of its national, both individuals and bodies corporate within permitted by international law.”_

Di level nasional, ketentuan tersebut juga tertuang di dalam sejumlah hukum nasional. Pada UU No. 37 Tahun 1999 mengenai hubungan luar negeri, misalnya, Bab V pasal 19(b) menyatakan bahwa; “Perwakilan RI berkewajiban: memberikan pengayoman, Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”

Hal tersebut kemudian diperkuat di dalam Permenlu Nomor 4 Tahun 2008 tentang pelayanan warga pada perwakilan RI di luar negeri. Bahkan Menlu Retno Marsudi dalam rapat perdana dengan Komisi I DPR RI pekan lalu, menyatakan prioritas politik luar negeri Indonesia akan bertumpu pada prioritas 4+1, di mana salah satu prioritasnya adalah diplomasi perlindungan warga negara.

Sehingga, upaya pemerintah untuk memulangkan HRS ke tanah air seharusnya bersifat imperatif, sebagai bukti kehadiran negara dalam melindungi WNI di luar negeri. Hal tersebut merupakan wujud diplomasi perlindungan terhadap WNI, yang diatur baik oleh hukum internasional maupun nasional.

Hanya saja, dalam kasus HRS, pemerintah kerap berlindung di balik alasan sikap anti-intervensi terhadap kebijakan negara lain. Saya kira ini pandangan yang patut diluruskan. Diplomasi perlindungan berbeda dengan intervensi. Diplomasi perlindungan dilakukan melalui upaya negosiasi, sifatnya persuasif, bisa dilakukan secara terbuka ataupun tertutup. 

Dan upaya tersebut tidak bisa disamakan dengan tindakan diplomasi offensive, apalagi dipandang sebagai tindakan yang mengintervensi urusan negara lain.

Selain itu, kita juga bisa lihat bahwa upaya negosiasi memulangkan warga negara yang ditahan negara lain, sudah lazim terjadi dalam praktik diplomasi internasional. Tahun 2009, misalnya, pemerintah AS mengutus mantan Presiden Bill Clinton untuk bernegosiasi dalam pembebasan dua wartawan AS, Euna Lee dan Laura ling, yang ditahan oleh pemerintah Korea Utara.

Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2010, saat itu Pemerintah Amerika Serikat mengutus mantan Presiden Jimmy Carter untuk bernegosiasi dengan Korea Utara demi membebaskan Aijalon Mahli Gomes, seorang warga AS yang ditahan karena memasuki wilayah Korut secara illegal. Atau pada tahun 2014, ketika Pemeritah AS mengirim utusan khususnya, Robert King, untuk bernegosiasi dalam pembebasan Kenneth Bae dan Matthew Todd Miller, dua warga AS yang sempat ditahan oleh Korea Utara karena tuduhan spionase.
Jadi, negosiasi pemulangan seorang warga negara yang ditahan di negara lain, adalah praktik yang lazim.

Sehingga, jika dalam kasus HRS pemerintah masih bersikap pasif, dan berlindung di balik alasan anti-intervensi, saya kira cara berpikir tersebut perlu dikoreksi. Sebab jika tidak, bagaimana pemerintahan Jokowi bisa mempertanggungjawabkan model diplomasi perlindungan yang menjadi prioritas politik luar negerinya saat ini?

Saya kira, sikap yang ditunjukkan pemerintah terhadap polemik kepulangan HRS, justru mempertontonkan lemahnya kualitas negosiasi dan diplomasi pemerintah dalam memperjuangkan hak warganya. Saya mendorong agar sikap pemerintah segera dikoreksi. Harus pro aktif dan lebih progresif.

Negara harus hadir melindungi HRS dan memfasilitasi untuk bisa kembali ke tanah air dengan sehat dan selamat. Jangan sampai hak HRS sebagai WNI untuk memperoleh perlindungan negara, diabaikan hanya karena perbedaan sikap dan pilihan politik dengan pemerintahan saat ini.

*—Dr. Fadli Zon, M.Sc.*

_Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Anggota DPR RI_