Habib Ali Akbar Bin Agil: Mengawal Dan Mendukung Tausiyah MUI Jawa Timur


Ahad, 17 November 2019

Faktakini.net

Mengawal dan Mendukung Tausiyah MUI Jawa Timur

Oleh : Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil*

Tausiyah MUI Jawa Timur terkait salam lintas agama dalam acara resmi ternyata menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat. Pihak yang kontra tanpa ilmu, seperti biasa, membangun narasi bahwa MUI anti kebhinekaan, kemajemukan, dan tidak pancasilais. Narasi semacam ini selalu diproduksi untuk memojokkan dan memprovokasi umat Islam.
Pada dasarnya tausiyah yang disampaikan oleh MUI Jawa Timur merupakan bentuk tanggung jawab aqidah. MUI ingin menjaga akidah umat dari syubhat (perkara yang remang-remang). Ada 8 poin dalam lembar tausiyah yang ditanda tangani oleh KH. Abdusshomad Buchori selaku Ketua Umum dan H. Ainul Yaqin selaku Sekretaris Umum ini. Lembaran itu tersiar luas di berbagai media.

Dari delapan poin, pada poin delapan terdapat makna salam dari dua agama. Tiap salam erat kaitannya dengan kepercayaan pemeluknya. Dengan kata lain, keyakinan mereka terhadap Tuhan yang mereka sembah, mereka ekspresikan lewat salam yang dilontarkan. Dan itu tergambar jelas dari makna salam tersebut.

Misalnya, dalam Islam kalimat salam adalah _Assalaamu`alaikum_ yang artinya “Semoga Allah Melimpahkan Keselamatan Kepadamu.” Dari manakah keselamatan itu hadir? Tentu sebagai umat Islam, kita menjawab, yang bisa memberi keselamatan dan menolak kecelakaan hanya Allah SWT. Berarti ucapan salam ini adalah doa yang ditujukan kepada Allah SWT.

Sementara, dalam pemaparan berikutnya, MUI menjelaskan makna salam di luar agama Islam. Jika kita amati salam dari agama di luar Islam dengan iman dan hati yang jernih, kita temukan betapa kontras dengan makna salam dalam Islam.

Mari kita ikuti pemaparan MUI. _Pertama,_ salam umat Budha yang bunyinya, “Namo Buddaya,” berarti “Terpujilah Sang Budha.” Menurut MUI, ungkapan salam ini erat kaitannya dengan keyakinan mereka bahwa tuhan mereka adalah Sidarta Gautama.

_Kedua,_ salam umat Hindu “Om Swasti Astu,” yang mengandung ungkapan doa kepada tuhan yang mereka yakini. Om adalah ungkapan doa berisi pujian kepada tuhan yang mereka percaya, yaitu Sang Yang Widhi; Swasti dari kata Su yang berarti baik dan Asti yang artinya bahagia; Swastu berarti semoga. Jadi, “Om Swasti Astu” makna selengkapnya adalah “Semoga Sang Yang Widhi Mencurahkan Kebaikan dan Kebahagiaan.”
Dari dua contoh salam umat di luar Islam ini bisa menjadi acuan bagi kita bahwa ucapan salam lintas agama senantiasa terkait dengan doa. Doa dalam Islam adalah ibadah. Ibadah kita hanya boleh kita tujukan kepada Allah, bukan?

Tidak hanya ibadah, bahkan hidup dan mati kita, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah. Bukankah setiap salat kita memperbarui komitmen loyalitas kita kepada Allah dalam doa iftitah, _“Inna sholaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi robbil aa`lamiin_ (Salat, ibadah, hidup dan matiku untuk Allah penguasa semesta alam raya).
Dalam Islam hukum memulai salam adalah sunnah dan menjawabnya adalah wajib. Saling mengucap dan membalas salam adalah ajaran untuk membuktikan sikap saling berkasih sayang kepada sesama mahluk Allah. Cara untuk saling mencintai sesama orang beriman adalah dengan menyebarluaskan salam sesama orang beriman.

Umat Islam sebagai sebuah keluarga sudah sepatutnya menjaga kerukunan,  menjaga dan melindungi, memberi tausiyah dan nasihat dalam menunaikan tugas dan kewajiban di jalan Allah. Dari sinilah akan tercipta kondisi kerukunan dan perdamaian dalam bingkai persaudaraan diantara sesama umat Islam. Tentu tanpa menafikan persaudaraan dengan selain beragama Islam yang kita sebut dengan istilah _ukhuwah basyariyah_ (persaudaraan sebagai sesama makhluk Allah) dan _ukhuwah wathaniyah_ (persaudaraan sesama anak bangsa).

Rasulullah SAW bersabda, “Kalian tidak akan bisa masuk ke dalam surga hinga kalian mau beriman dan kalian belum beriman dengan sempurna hingga kalian bersikap saling mencintai. Maukah aku beritahu suatu amalan yang jika kalian mengerjakannya, kalian saling mencintai? Sebarluaskanlah salam diantara kalian.” (HR. Muslim).

Habib Shalih bin Ahmad Alaydrus dalam bukunya _Faidhul `Allaam Fi Syarh Arba`iin Hadiitsan fis Salaam,_ menyebut ada 22 klasifikasi salam. Berisi tentang kapan seorang muslim disunnahkan, dibolehkan dan dilarang mengucapkan salam. Dalam kaitan larangan mengucapkan salam, ada beberapa kelompok yang kita tidak boleh memberi salam kepada mereka dan menjawab salam mereka:, fasiq, ahli bid`ah, dan pelaku dosa besar.

Kepada tiga golongan ini, seperti tulis Habib Shalih, sebaiknya kita tidak mengucapkan salam dan tidak  menjawab salam yang mereka lontarkan. Demikian pula keharaman memberi salam kepada non-muslim. Jelas dan lugas keterangan yang dipaparkan oleh Habib Shalih. Tidak ada syubhat dan keragua-raguan dalam urusan yang berkaitan dengan aqidah.

Jika lebih baik kita tidak beruluk salam dengan salam ala Islam kepada kelompok tersebut, tentu lebih tidak diperkenankan untuk beruluk salam dengan memakai salam yang sarat dengan salam berisi kepercayaan dan keyakinan kepada selain Allah SWT, yang Maha Esa dan Maha Kuasa.

Semangat persatuan dalam kebhinekaan dan toleransi dengan umat lain tidak akan luntur hanya lantaran keengganan beruluk salam. Justru hal ini semakin meneguhkan dan membuktikan bahwa meski pun kita berbeda agama, tapi kita tetap bisa bersaudara dalam perbedaan keyakinan, tetap saling menghormati dan menghargai, tanpa mengorbankan keyakinan yang memang tidak sama.

**Pengasuh Majlis Bismikallaah, Kota Malang*

Foto: Habib Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil