(Video) Penertiban Di Sunter Sukses, Waspada Hoax Media Pelacur Yang Mau Fitnah Anies
Selasa, 19 November 2019
Faktakini.net
Penggusuran atau Penertiban?
Ada riuh perang medsos terhadap penertiban warga penghuni illegal di Sunter Barat. Agar kita tak terjebak pada argumen "pokoknya salah/ pokoknya benar", ada baiknya kita bedah alasan dan proses penertiban yang dilakukan oleh Pemprov DKI di Sunter Barat itu.
Kata penggusuran menurut kamus besar bahasa Indonesia bermakna netral, "menyuruh pindah tempat". Tidak dijelaskan alasan mengapa disuruh pindah tempat. Namun di masyarakat kita terjadi peyorasi makna dari penggusuran yang sebetulnya netral itu. Seringkali penggusuran dimaknai sebagai "menyuruh pindah tempat dengan paksa/ dengan mengabaikan hak".
Perubahan makna itu barangkali terjadi karena selama ini, utamanya di jaman Orde Baru, penggusuran manjadi kewajiban yang tak bisa ditawar demi pembangunan. Pembangunan jadi mantra sakti, bahkan jika harus mengabaikan hak-hak rakyat. Rakyat yang secara legal memiliki hak atas tanah, diharuskan menyerahkan tanahnya demi pembangunan waduk, demi pembangunan jalan, demi pembangunan pabrik dll. Dengan ganti rugi kecil. Jika tak mau juga, disuruh paksa pindah. Ingat kasus Kedung Ombo? Itu penggusuran.
Padahal ada jenis-jenis tindakan "menyuruh pindah" yang BUKAN berupa pelanggaran hak. Apa itu? Jika alas hak atas tanah memang dimiliki secara legal oleh yang menyuruh pindah. Tanah legal tapi kosong, tak dipakai, lalu tetiba ditempati orang begitu saja tanpa hak. Bahkan bukan sekedar tanah kosong, ada jalanan, trotoar, sempadan sungai, jika dibiarkan tak dijaga - akan ditempati juga oleh orang-orang tak bertanggung jawab. Berjualan, membangun rumah. Tanpa peduli tanah tersebut milik siapa.
Ada yang lebih serem lagi ceritanya. Para jagoan, preman, ormas, atau apalah orang-orang kuat. Main klaim sebagai penguasa bawah tanah atas wilayah tertentu. Ada tanah kosong - tak peduli siapa pemilik legalnya - mereka daku dibuat petak-petak lalu disewakan atau dijual ke orang lain.
Apa yang terjadi di Sunter Barat itu persis seperti cerita di atas. Para pengusaha barang bekas (jumlahnya ada 50 KK menurut versi warga) menyewa tanah di sana dari ormas tertentu. Apakah tanah itu milik ormas? Bukan tanah itu adalah milik Pemprov DKI dari kewajiban yang diserahkan oleh pengembang.
Para penghuni illegal itu rata-rata bukan orang miskin. Mereka adalah pengusaha barang bekas. Yang memanfaatkan tanah di Sunter Barat sebagai gudang/ lapak saja bukan rumah. Sebagian besar dari mereka orang Madura yang ber-KTP Jawa Timur. Mereka punya 2-4 pekerja yang membantu usahanya. Para pekerja inilah ada yang ber KTP DKI. Selain di Sunter mereka juga punya gudang di tempat lain.
Dua bulan Pemprov DKI lakukan sosialisasi sebelum penertiban. Pemprov ingin manfaatkan tanah tersebut untuk revitalisasi saluran air penghubung ke Waduk Sunter agar tidak banjir. Serta membangun jogging track demi mendorong lingkungan hidup yang lebih sehat. Mayoritas penghuni itu kooperatif kok, mereka bongkar sendiri bangunannya dan memindahkannya ke gudang mereka di lokasi lain. Masuk akal mereka kan penyewa jadi sepanjang diberi waktu pindah dan diberi ganti rugi, urusan akan beres.
Pemprov DKI sudah sangat baik pendekatannya. Ada sosialisasi, dialog, ada surat peringatan sampai 3 kali agar mereka bongkar sendiri bangunannya. Bahkan ketika tenggat waktu berakhir, Pemprov DKI tetap toleran ketika mereka masih minta waktu perpanjangan. Pemprov DKI juga menawarkan bantuan pembongkaran dan membantu fasilitas transportasi pemindahan barang. Masih ada juga posko bantuan yang bisa diakses sewaktu-waktu.
Pemprov DKI juga menawarkan jika ada yang ingin pindah ke Rusun Marunda, sebagai itikat baik. Tapi sampai hari ini tidak ada yang daftar. Mengapa? Sebab memang mereka bukan orang miskin. Mereka punya rumah dan gudang di tempat lain.
Maka saya lebih suka menggunakan term penertiban ketimbang penggusuran. Untuk kasus Sunter Barat lebih adil. Menyuruh pergi orang yang menduduki tanpa hak.
Lalu yang keberatan siapa? Mudah diduga, yaitu para preman berkedok ormas yang menyewakan tanah Pemprov DKI secara illegal di tempat itu. Wajarlah. Sebab jika tanah diambil Pemprov DKI, maka mereka tak bisa lagi menyewakan tanah. Apalagi mereka juga takut jika penertiban berhasil, tanah-tanah Pemprov DKI di lokasi lain yang juga mereka sewakan, akan ditertibkan juga.
Lah itu tanah negara kok disewakan? Bukankah itu merugikan keuangan negara?
Parahnya ada yang membela kepentingan para preman itu. Mengeksploitasi seolah-olah tindakan penertiban itu adalah penggusuran, yang tidak manusiawi. Mereka datang ke lokasi menciptakan narasi derita palsu demi kepentingan politik sendiri. Membawa bantuan makanan, mendirikan posko. Dan mewawancarai orang yang keberatan pindah.
Dari mereka yang protes keras di medsos itu, ada lho yang kemarin dukung gugatan pengadilan atas Pemprov DKI yang gunakan sebagian trotoar untuk PKL. Pada kasus PKL melawan penggunaan aset negara, pada kasus Sunter Barat menentang Pemprov DKI yang lakukan penertiban atas aset negara. Kok pembelaan mereka pada wong cilik nggak konsisten, menurut kamu kenapa ya?
Tatak Ujiyati
(catatan pagi)
Klik video: