Wasekjen MUI Tepis Tudingan Ada Konten Radikal dalam 150 Buku Pelajaran Agama Islam



Senin, 18 November 2019

Faktakini.net, Jakarta - Kementrian Agama akan menulis ulang buku-buku pelajaran Agama di sekolah dari Kelas 1 SD sampai kelas 12 SMA.

Sebelumnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kemenag mengklaim sedikitnya ada 155 buku agama yang akan ditulis ulang. Tujuan penulisan ini adalah untuk mencegah penyebaran radikalisme dan intoleransi ditengah masyarakat.

Menanggapi hal itu Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (Wasekjen MUI) KH. Muhammad Zaitun Rasmin mengatakan, pengaitan intoleransi, radikalisme, dan terorisme dengan buku pelajaran Agama di sekolah formal membutuhkan penelitian.

“Tentu ini perlu penelitian. Kita di MUI belum menemukan hal seperti itu”, kata Ustadz Zaitun, di Jakarta, Jumat (15/11/2019).

Ustadz Zaitun menampik adanya konten radikal dalam buku pelajaran Agama di sekolah-sekolah sebagaimana diungkap Dirjen Pendis Kemenag Kamaruddin Amin.

“Kita di MUI belum menemukan hal seperti itu, dan tadi berapa kali bertanya ke pak Kamaruddin tidak menyebutkan satupun dari konten buku-buku yang dikatakan tadi kemungkinan ada konten radikalnya. Yang dikatakan tadi hanya selama ini bukunya banyak pada kesolehan pribadi, kita mau ditingkatkan kesolehan sosial dan sebagainya. Itu secara niat bagus saja maka saya tadi berpikir kalau niatnya itu tidak harus perubahan buku itu dibumbui dengan isu radikalisme”, jelasnya.

Ketum Wahdah Islamiyah ini memandang, mengaitkan setiap hal dengan radikalisme merupakan sesuatu yang berlebihan.

“Mentang-mentang sekarang ini misalnya isu radikalisme lagi naik diangkat lagi apa-apa semua yang mau kita lakukan dikaitkan dengan radikalisme ini bisa berlebihan”, ujarnya.

“Saya mau menyampaikan bahwa niatnya baik diharapkan kalau bisa kajiannya bisa lebih terbuka nanti ahli, tokoh agama termasuk MUI bisa dilibatkan, tapi kalau memang belum ada yang ditemukan ya kita jujur saja kalau tidak ada konten radikal”, tegasnya.

Menurut Ketua Ikatan Ulama dan Dai Asia Tenggara ini, sampai saat ini juga kalau kita lihat mereka yang terlibat teroris mereka yang terlibat radikalisme atau yang dipandang selama ini intoleran saya kira bukan produk-produk dari buku-buku yang ada baik dari diknas maupun kementrian agama.

“Itu saya kira dari berbagai sumber-sumber yang lain yang mungkin telah masuk dan mungkin bukan secara formal di sekolah,” ungkapnya.

Menurutnya niat baik untuk melakukan pembenahan, termasuk mengantisipasi, itu sangat baik, tapi yang paling penting jangan sampai terjadi, misalnya malah akan menimbulkan kehebohan, lalu ketidak tenangan apalagi ini kan masalah buku-buku ini juga tidak sedikit anggarannya.

Ustadz Zaitun mengaku lebih setuju jika pencegahan dan antisipasi radikalisme dan intoleransi difokuslkan pada pembinaan guru karena sesungguhnya yang dominan di negeri ini adalah orang-orang baik yang moderat dan toleran.

“Saya lebih setuju, misalnya peningkatan pemahaman pada para guru. Dengan tetap harus bersangka baik, kita ini harus menjadi orang-orang yang bersyukur kepada Yang Maha Kuasa, Allah subhanahu wata’ala. Negeri ini walaupun heboh tentang teroris, radikalisme, ini segelintir. Ini yang dominan ini orang-orang yang toleran, orang-orang yang memahami moderasi itu dan ini tinggal kita perkuat,” terangnya.

Foto: Ustadz Zaitun Rasmin

Sumber: suara-islam.id