22 Negara Kecam Perlakuan China terhadap Muslim Uighur, Indonesia Tak Termasuk


Selasa, 17 Desember 2019

Faktakini.net, Jakarta - 22 negara anggota Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) secara kompak mengecam perlakuan China terhadap warga minoritas muslim Uighur dan kelompok minoritas lainnya di wilayah Xinjiang.

Kecaman itu dituangkan dalam surat yang dikirimkan kepada para pejabat tinggi Dewan HAM PBB baru-baru ini.

Negara yang ikut menandatangani tuntutan itu antara lain Australia, Inggris dan Jepang, Austria, Belgia, Kanada, Denmark, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Islandia, Irlandia, Latvia, Lithuania, Luxembourg, Belanda, Selandia Baru, Norwegia, Spanyol, Swedia, dan Swiss.

Namun banyak pihak menyayangkan absennya negara Islam dalam turut serta melindungi Muslim Uighur di China.

Negara-negara Islam dinilai cuek tanpa pernyataan diplomatis maupun tindakan apapun atas nasib menyedihkan muslim Uighur yang dipaksa pindah keyakinan dengan cara kekerasan.

Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, tidak termasuk dalam daftar 22 negara tersebut.

"Sangat mengejutkan dan di luar dugaan, 22 negara menuntut China karena kekerasan yang mereka lakuken terhadap Muslim Uighur, tapi tidak ada satupun negara Muslim yang ikut andil. Saya benar-benar tak habis pikir," tulis Mehmet Tohti, seorang aktivis HAM asal Kanada, dalam akun twitter-nya

Seperti dilansir AFP, Kamis (11/7/2019), surat yang dirilis ke media pada Rabu (10/7) waktu setempat itu, ditandatangani oleh para Duta Besar (Dubes) untuk PBB dari 22 negara, termasuk Australia, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman dan Jerman.

Surat itu dikirimkan kepada Presiden Dewan HAM PBB, Coly Seck dan Komisioner Tinggi HAM PBB, Michelle Bachelet.

China dilaporkan menahan 1 juta orang yang kebanyakan etnis Uighur di kamp-kamp pengasingan di Xinjiang. Kelompok-kelompok HAM dan mantan tahanan di Xinjiang menyebut kamp itu sebagai 'kamp konsentrasi' di mana kebanyakan warga Uighur dan warga minoritas lainnya dipaksa berasimilasi atau menyesuaikan diri dengan etnis mayoritas Han di China.

Surat yang dikirimkan para Dubes PBB dari berbagai negara itu menyatakan kekhawatiran terhadap tindakan otoritas China terhadap warga minoritas di Xinjiang.

"Kekhawatiran tentang laporan-laporan kredibel soal penahanan sewenang-wenang... juga meluasnya pengawasan dan pembatasan, khususnya yang menargetkan warga Uighur dan minoritas lainnya di Xinjiang," demikian kutipan surat tersebut.

Dalam suratnya, puluhan Dubes PBB dari berbagai negara tersebut menyerukan otoritas China untuk menghentikan penahanan sewenang-wenang.

China juga didorong untuk mengizinkan 'kebebasan pergerakan bagi warga Uighur dan warga muslim lainnya dan kelompok minoritas di Xinjiang'.

Para Dubes yang menandatangani surat ini, termasuk para Dubes dari negara-negara Uni Eropa dan Swiss, meminta agar surat ini ditetapkan sebagai dokumen resmi pada Dewan HAM PBB, yang akan mengakhiri sesi rapat ke 41 di Jenewa, Swiss pada Jumat (12/7) besok.

Diketahui bahwa para diplomat PBB tergolong jarang mengirimkan surat terbuka kepada Dewan HAM PBB untuk mengkritik penegakan HAM salah satu negara. Langkah yang kini diambil para diplomat PBB ini, mungkin menjadi satu-satunya opsi yang tersedia untuk bisa mengarahkan sorotan ke Xinjiang. Terutama diketahui bahwa China memiliki cukup dukungan untuk menolak sebuah resolusi resmi.

Dalam pernyataan sebelumnya, otoritas China menyebut kamp-kamp di Xinjiang sebagai 'pusat pendidikan kejuruan' yang diikuti secara sukarela dengan kebanyakan warga Uighur mendapatkan pelatihan kerja. Otoritas China menegaskan bahwa pusat pendidikan itu diperlukan untuk menjauhkan warga setempat dari ekstremisme keagamaan, terorisme dan separatisme.

Sebanyak sejuta lebih Muslim Uighur di China dilaporkan berada di camp milik pemerintah China di Xinjiang untuk didoktrin kepercayaannya agar tidak menganut Islam. Alasannya adalah mencegah radikalisme.

PBB melaporkan banyaknya korban meninggal dunia akibat kekerasan fisik dan mental yang diterima. Kondisi kamp dilaporkan sangat memprihatinkan akibat tidak adanya layanan kesehatan yang layak.

Sumber: detikcom, genpico