Membantah Sinta Nuriyah: Jilbab adalah Identitas Muslimah, Berbanggalah!




Selasa, 21 Januari 2020

Faktakini.net, Jakarta - Memicu kontroversi. Sinta Nuriyah, istri Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengatakan, perempuan muslim tidak wajib untuk memakai jilbab. Ia pun menyadari bahwa masih banyak orang yang keliru mengenai kata jilbab dan hijab.

Ia mengatakan setiap Muslimah tidak wajib untuk mengenakan jilbab karena memang begitu adanya yang tertulis di Al-Qur’an jika memaknainya dengan tepat. “Enggak juga (semua Muslimah harus memakai jilbab), kalau kita mengartikan ayat dalam Al-Qur’an itu secara benar,” kata Sinta.

Selama ini ia berusaha mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an secara kontekstual bukan tekstual. Sinta juga menuduh kaum muslim banyak yang keliru mengartikan ayat-ayat Al-Qur’an karena sudah melewati banyak terjemahan dari berbagai pihak yang mungkin saja memiliki kepentingan pribadi.

“Dipengaruhi oleh adat budaya setempat, cara berpikir dia juga itu mempengaruhi pemahaman terhadap ayat-ayat agama yang bukan menjadi bahasanya, yang sama bahasanya pun bisa salah juga mengartikannya,” kata Sinta. (Tempo.Co/16/01/2020).

Tentu saja hal tersebut mengusik pikir kaum Muslim. Apa yang telah disampaikan oleh Ibu Sinta, justru bagai menampilkan jati diri pemikirannya. Sosok liberal yang giat mengotak atik ajaran Islam. Ungkapan seperti tidak wajib berjilbab, tafsiran jilbab, juga konsep mengartikan Al-Qur’an secara kontekstual bukan sekadar tekstual, penafsiran dipengaruhi oleh adat istiadat ini cukup kuat sebagai bukti.

Pertama, Muslimah tidak wajib berjilbab. Tentu saja ini jelas menyalahi apa yang telah difirmankan Allah Swt. Dalam Al-Ahzab: 59.

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Surat Al-Ahzab ayat 59 ini adalah salah satu surat yang menjelaskan tentang pakaian wanita muslimah, yaitu pakaian yang menjulurkan ke seluruh tubuh kita, untuk orang Indonesia biasa menyebut pakaian seperti ini sebagai jubah atau abaya.

Jilbab merupakan bagian dari kewajiban mengenakan penutup aurat seluruh tubuh. Adapun penutup kepala yang membungkus aurat rambut sampai menutup dada, maka ini disebut sebagai khimar atau kerudung dalam bahasa Indonesia (lihat An-Nur [24]:30). Maka menyatakan jilbab tidak wajib sama dengan menantang Allah Swt. Yang telah jelas mensyariatkannya.

Jikalau pernyataan Ibu Sinta Nurwahid juga diaminkan putrinya yang belum berkerudung juga berjilbab, mohon jangan membuat pernyataan bahwa jilbab itu tidak diwajibkan bagi Muslimah. Karena kewajiban Jilbab dan khimar sebagai penutup aurat telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan tidak terdapat khilafiyah di dalamnya.

Maka kewajiban ini ditujukan kepada setiap Muslimah yang berakal telah mencapai aqil baligh. Adapun melaksanakannya akan berbuah pahala dan meninggalkannya menuai dosa. Setiap kewajiban yang Allah Swt. Perintahkan maka sudah menjadi kesadaran setiap hamba untuk mematuhinya, bukan menentangnya.

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun berkata, telah mengabarkan kepada kami Hammad bin Salamah dari hammad dari Ibrahim dari Al Aswad dari ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Pena pencatat amal dan dosa itu diangkat dari tiga golongan; orang yang tidur hingga terbangun, orang gila hingga ia waras, dan anak kecil hingga ia balig.” (HR. Abu Daud No 3822)

Kedua, mengenai tafsiran jilbab. Adapun istilah “jilbab” dalam Al-Quran, terdapat dalam bentuk pluralnya, yaitu “jalaabiib”. Ayat Al Quran yang menyebut kata “jalaabiib” adalah firman Allah SWT (artinya),”Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang-orang mukmin,’Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” (Arab : yudniina ‘alaihinna min jalaabibihinna). (QS Al Ahzab [33] : 59).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al Qurthubi berkata,”Kata jalaabiib adalah bentuk jamak dari jilbab, yaitu baju yang lebih besar ukurannya daripada kerudung (akbar min al khimar). Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa jilbab artinya adalah ar ridaa` (pakaian sejenis jubah/gamis). Ada yang berpendapat jilbab adalah al qinaa’ (kudung kepala wanita atau cadar). Pendapat yang sahih, jilbab itu adalah baju yang menutupi seluruh tubuh (al tsaub alladzy yasturu jamii’ al badan).” (Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi, 14/107).

Ketiga, mengartikan Al-Qur’an secara kontekstual bukan semata tekstual. Menurut Abdurrahman Al-Baghdadi, menafsikan Al-Qu’an haruslah dengan cara yang sesuai dengan Al-Qur’an itu sendiri. Yaitu dengan tekstual, dan bukan dengan kontekstual (sesuai dengan situasi dan kondisi). Kemudian kita juga harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan oleh Al-Qur’an, yaitu dengan mempelajarinya secara ijmal (garis besar) sehingga hakikat yang dikemukakan oleh Al-Qur’an itu tampak jelas. Selain itu juga kita harus mempelajari dari segi lafazh dan maknanya sesuai dengan ketentuan bahasa Arab dan keterangan Rasulullah Saw. Dan untuk memahami ayat-ayat kauniah, kita juga membutuhkan wawasan khusus tentang ilmu pengetahuan (sains) yang berkembang dari waktu ke waktu.

Karena Al-Qur’an adalah Risalah Ilahiah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, maka orang tidak akan mungkin dapat memahami semua isinya secara benar kecuali melalui apa yang telah dijelaskan oleh Nabi Muhammad Saw dalam As-Sunnah (Al-Hadits). Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah bahwa Al-Qur’an diturunkan kepada Rasul-Nya untuk dijelaskan ayat-ayatnya kepada manusia.

Dengan dasar ini sikap kita sebagai Muslimah, tentu saja tidak layak untuk sependapat dengan Ibu Sinta Nurwahid.

Wahai saudara seakidah, jilbab dan khimar adalah identitas Muslimah. Banggalah dengan kewajiban mengenakannya. Mendakwahkan bahwa setiap kewajiban yang Allah Swt. tujukan kepada hamba-Nya akan berbuah jannah jika ditunaikan secara kaffah semata meraih rida Allah Swt. Wallahu’alam bishawab.

Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)

Sumber: suaraislam.id