Resmi, Mahkamah Internasional: Myanmar Harus Lindungi Rohingya Dari Genosida
Jum'at, 24 Januari 2020
Faktakini.net, Jakarta - Mahkamah Internasional (ICJ) di Den Haag, Belanda, memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah darurat guna melindungi populasi Muslim Rohingya dari penganiayaan dan kekejaman, serta melindungi bukti-bukti dugaan kejahatan kemanusiaan terhadap mereka.
Putusan itu diumumkan Kamis (23/01/2020), dalam kasus dugaan genosida terhadap Myanmar yang dilayangkan Gambia, negara berpenduduk mayoritas Muslim di benua Afrika, November lalu.
Majelis yang terdiri dari 17 hakim memperjelas dalam putusannya bahwa mahkamah meyakini warga Rohingya berada dalam bahaya, dan karenanya langkah-langkah harus diambil untuk melindungi mereka.
Rohingya tetap “berisiko serius terhadap genosida,” kata Hakim Ketua Abdulqawi Yusuf, sambil membaca ringkasan keputusan tersebut.
Selain itu, putusan Mahkamah Internasional memerintahkan Myanmar untuk mengambil langkah-langkah nyata untuk menghentikan upaya menuju genosida.
Seperti dilaporkan Reuters, Mahkamah Internasional hanya membahas permintaan Gambia untuk langkah-langkah pendahuluan, setara dengan perintah penahanan negara.
Myanmar diberikan waktu empat bulan untuk menaati keputusan tersebut dan diwajibkan melaporkan perkembangnnya kepada Mahkamah Internasional setiap enam bulan.
Putusan akhir ICJ terkait dugaan genosida di Myanmar diyakini bisa memakan waktu hingga bertahun-tahun untuk dicapai.
Ribuan orang Rohingya tewas dan lebih dari 700.000 orang melarikan diri ke Bangladesh selama aksi penumpasan oleh tentara Myanmar pada 2017.
Para penyelidik PBB telah memperingatkan bahwa tindakan genosida dapat terulang kembali.
Seperti dilansir BBC Indonesia, Menteri Kehakiman Gambia Abubacarr Tambadou mengatakan, apa yang terjadi di lapangan lebih parah dari yang terlihat di tayangan televisi.
“Militer dan warga sipil mengorganisir serangan sistematis terhadap Rohingya, membakar rumah-rumah, menculik bayi-bayi dari gendongan para ibu dan melempar mereka ke bara api, mengumpulkan dan mengeksekusi para pria, perempuan diperkosa beramai-ramai dan melakukan semua bentuk kekerasan seksual,” kata Abubacarr.
Sementara Myanmar selalu bersikeras bahwa tindakan itu dilakukan untuk menangani ancaman ekstremisme di negara bagian Rakhine.
“Putusan ICJ hari ini mengandung pesan untuk para pejabat senior Myanmar, yaitu dunia tidak akan mentolerir kekejaman mereka, dan tidak akan menerima retorika kosong mereka tentang kondisi terkini di Negara Bagian Rakhine begitu saja,” kata Direktur Regional Amnesty International untuk Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Nicholas Bequelin melalui keterangan tertulis, Kamis (23/01/2020)
“Sebanyak 600 ribu warga Rohingya yang masih tinggal di sana ditolak hak-hak dasarnya secara rutin dan sistematis. Mereka menghadapi risiko nyata kekejaman yang lebih lanjut,” ia melanjutkan.
Putusan Mahkamah Internasional Kamis kemarin yang memerintahkan Myanmar untuk mengambil “langkah sementara” demi mencegah terjadinya genosida terhadap etnis Rohingya, diambil hanya beberapa hari setelah Myanmar menerbitkan ringkasan laporan dari temuan ‘Komisi Penyelidikan Independen’ yang dibentuk pemerintahan mereka.
Amnesty menilai komisi itu tidak independen dan tidak netral dan tidak bisa dianggap sebagai upaya kredibel untuk menyelidiki kejahatan terhadap etnis Rohingya. Sementara itu, belum ada upaya untuk menyelidiki pelanggaran serius dan luas terhadap etnis minoritas lainnya di Myanmar.
“Sampai semua pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius ini dimintai pertanggungjawaban, kejahatan keji itu akan tetap merajalela. Dewan Keamanan PBB harus segera merujuk situasi di Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC),” ujar Bequelin.
Putusan Mahkamah Internasional dibuat berdasarkan gugatan yang dilayangkan oleh Gambia pada 11 November 2019. Gambia menuduh Myanmar melanggar kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida 1948.
Foto: President of the International Court of Justice, Abdulqawi Ahmed Yusuf (tengah) . (Foto: ANP/AFP/Getty Images)
Sumber: suaraislam.id