Tegas! FPI, GNPF Dan PA 212 Desak Dewan Pengawas KPK Dibubarkan Saja
Jumat, 24 Januari 2020
Faktakini.net, Jakarta - Sejumlah kasus megakorupsi yang merugikan negara dengan dugaan melibatkan lingkaran kekuasaan dinilai semakin menjadi. Diduga beberapa skandal korupsi ditengarai menjadi modus untuk pembiayaan politik.
Hal ini disampaikan Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama, dan Persaudaraan Alumni (PA) 212 dalam pernyataan bersama. Pernyataan tersebut disuarakan Ketua Umum FPI KH Ahmad Shobri Lubis, Ketua GNPF Ulama KH Yusuf Muhammad Martak, dan Ketua PA 212 KH Slamet Maarif.
Pernyataan bersama itu menyoroti dugaan kasus korupsi yang justru ditutup-tutupi dengan skenario agar tak terbongkar tuntas. Beberapa kasus itu antara lain dugaan kasus Kondensat yang mencapai Rp35 triliun.
"Hingga saat ini tidak jelas proses terhadap kasus ini karena diduga melibatkan petinggi aparat hukum," tulis pernyataan bersama itu dikutip Jumat, 24 Januari 2020.
Lalu, kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang diduga melibatkan eks petinggi Kantor Staf Presiden (KSP). Skandal kasus korupsi di Asabri dengan merugikan negara kurang lebih Rp10 triliun.
Kemudian, kasus dugaan suap yang melibatkan eks Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan dan elite PDI Perjuangan. Kasus ini terkait integritas penyelenggaraan pemilu.
"Kami melihat berbagai kasus mega korupsi tersebut merupakan sebuah modus dalam penyelenggaraan kekuasaan yang zalim, licik, dan rakus," tulis pernyataan itu.
Selanjutnya, ada desakan untuk membubarkan Dewan Pengawas atau Dewas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dinilai menghambat kinerja lembaga antirasuah itu. Contoh suap terhadap eks komisioner KPU, peran Dewas KPK sudah terlihat tak berperan memperkuat pemberantasan korupsi.
"Kami mendesak agar Dewan Pengawas KPK segera dibubarkan karena terbukti sudah menjadi penghambat dalam pemberantasan korupsi dan justru menghalang-halangi penuntasan kasus korupsi sebagaimana yang terjadi dalam kasus komisioner KPU dan sekjen PDI Perjuangan," demikian tulisnya.
Kemudian, dugaan pimpinan KPK jilid V saat ini dinilai menempatkan posisinya di bawah ketiak penguasa dengan menghadap ke menteri Kemaritiman dan Investasi. Dugaan ini sama sekali tak sesuai tugas pokok fungsi atau tupoksi KPK.
"Seharusnya KPK datang ke Kementerian Kemaritiman dan Investasi bukan karena dipanggil sang penguasa tapi dalam rangka penyelidikan dan penyidikan," tambah keterangan tersebut.
Mereka pun mendesak Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk mundur dari jabatannya karena polemik Harun Masiku. Apalagi, Yasonna ikut membentuk tim hukum PDIP dalam kasus suap eks Komisioner KPU Wahyu Setiawan.
"Sangat memalukan seorang yang memegang jabatan menteri tampil menjadi pembela dalam kasus mega korupsi," tulis pernyataan itu.
Sumber: vivanews.com