Tanggapi 'Survei Ngawur' Indo Barometer: Penanganan Banjir Jakarta: Antara Fakta vs Persepsi
Selasa, 18 Februari 2020
Faktakini.net
Penanganan Banjir Jakarta: Antara Fakta vs Persepsi
Lembaga survei Indobarometer baru saja mengeluarkan hasil survei. Salah satu temuannya mengatakan bahwa Ahok lebih dapat mengatasi banjir dibanding Anies yaitu 40 persen dibanding 4 persen. Hasil survei ini menunjukkan bahwa persepsi masyarakat seringkali berbeda dengan fakta.
Faktanya, banjir 2020 lebih bisa dikendalikan dibanding jaman Ahok memerintah (2014 - 2017). Lihat data banjir dari BPBD Jakarta terlampir. Waktunya sama, awal tahun. Jumlah RW tergenang pada jaman Ahok (2015) adalah 702 dibanding jaman Anies (2020) yang 390. luas area tergenang 281 km2 jaman Ahok dibanding 156 km2 jaman Anies.
Jumlah pengungsi jaman Ahok lebih besar yaitu 45.813 orang dibanding 36.445 orang pada jaman Anies. Waktu surut banjir juga lebih cepat pada jaman Anies yaitu 4 hari dibandingkan dengan 7 hari jaman Ahok.
Adalah fakta bahwa banjir 2020 lebih bisa dikendalikan dibandingkan banjir pada tahun 2015. Padahal curah hujannya lebih lebat pada tahun 2020 dibanding tahun 2015, yaitu tertinggi 377 mm per hari vs 277 mm per hari.
Menarik, mengapa fakta tidak sama dengan persepsi publik bukan? Saya bertahun-tahun bergelut di survei kuantitatif jadi tahu apa kira-kira sebabnya.
Sebab pertama, pengetahuan responden tak mencukupi untuk menjawab pertanyaan survei. Sehingga jawaban cenderung ngawur. Dalam kasus survei Indobarometer kemungkinan besar ini terjadi.
Jika pertanyaan diajukan tentang banjir Jakarta, sementara responden bukan hanya warga Jakarta. Responden adalah skala nasional yang tak cukup pengetahuan apalagi pengalaman tentang bagaimana pemerintah provinsi menangani banjir Jakarta dari tahun ke tahun.
Kedua, sampling error terlalu besar. Jika poin pertama dihindari dan pertanyaan tentang banjir Jakarta tersebut diajukan hanya kepada warga Jakarta. Dengan jumlah sampel hanya 1.200 responden untuk nasional maka Jakarta kemungkinan hanya mendapatkan 35 responden. Jumlah responden yang hanya 35 orang bahkan tak memenuhi standar terbawah untuk menyimpulkan hasil sebuah survei.
Ketiga, soal kredibilitas lembaga. Apakah nilai-nilai subyektif seperti afiliasi politik dan sumber pendanaan mempengaruhi hasil survei. Hal ini bisa dicek melalui track record-nya, apakah selama ini hasil-hasil survey yang dilakukannya selalu tepat atau pernah meleset.
Jika kesalahan poin 2 dan 3 tidak terjadi, tetapi kesalahan poin 1 tetaplah fatal. Menanyakan kepada responden tentang hal yang tidak mereka mengerti. Sehingga dalam membaca hasil survei ini kita juga tak bisa melihatnya merepresentasikan fakta, tentang kinerja Anies vs Ahok, tapi semata merepresentasikan persepsi publik. Yang sangat subyektif.
Walau demikian, survei ini tetap memberi manfaat. Memberi tahu kepada kita bahwa masyarakat Indonesia ternyata belum tahu bahwa Anies telah bekerja dengan baik. Masih ada masalah dalam komunikasi publik. Fakta tak tersampaikan kepada publik. Barangkali karena media rakyat seperti televisi, yang bisa menjangkau sampai wilayah terpencil, masih lebih banyak memberitakan hal-hal negatif tentang Jakarta. Banjirnya diberitakan luas tetapi tidak dengan upaya mitigasinya.
Demikianlah kenyataannya, informasi lebih kuat berperan membentuk persepsi daripada fakta.
Tatak Ujiyati
(catatan pagi)