Margarito Kamis: Omnibus Law Adalah Balas Budi Rezim ke Oligarki



Selasa, 10 Maret 2020

Faktakini.net, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, mengatakan bahwa Omnibus Law merupakan agenda balas budi rezim saat ini kepada oligarki atas kemenangannya di pemilu lalu. Margarito menilai bahwa RUU Omnibus Law tidak senapas dengan prinsip efisiensi yang berkeadilan sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Misalnya, kata Margarito, soal sanksi administrasi yang bisa dikenakan bagi para pendudukan kampung di sekitar wilayah industri. Padahal menurut hukum, sanksi administrasi hanya bisa dikenakan kepada orang yang menerima fasilitas administrasi tersebut.

"Ini hanya untuk memastikan agar orang kampung yang punya kebiasaan cari kayu sepotong dua potong, tidak terjadi. Ini cuma akal-akalan untuk memproteksi korporasi," kata Margarito pada gelaran diskusi soal Omnibus Law di The Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat (6/3/2020).

Margarito kemudian bercerita bahwa omnibus pertama kali digunakan oleh Amerika Serikat (AS) pada tahun 1988; yang disiapkan sejak tahun 1983 hingga 1985, dan setelahnya baru masuk ke Kongres. Namun, tak lama bagi AS untuk merevisi omnibus tersebut setelah 12 tahun.

"Revisi tahun 2000, 2007, lalu 2019. Ini adalah berbagai UU yang disatukan, maka harus komprehensif," ujarnya.

Karena itu, menurut Margarito, wacana ini belum tentu masuk akal, karena AS masih terus mengubahnya hingga saat ini. Lagi pula, lanjut Margarito, yang dicanangkan pemerintah melalui Omnibus Law merupakan agenda mundur ke belakang.

Dalam RUU Omnibus Law, orang bisa bekerja dalam hitungan waktu per jam. Kata Margarito, itu merupakan sistem liberal klasik yang sesungguhnya diterpakan negara-negara Barat di masa silam.

"Mereka sudah mengubah diri. Kita malah bikin UU seperti ini," ujarnya.

Foto: Pakar hukum tata negara Margarito Kamis

Sumber: gatra.com