Siaran Pers HRS Center, Penolakan Terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Terkait Corona



Selasa, 14 April 2020

Faktakini.net

*SIARAN PERS HRS CENTER*

*PENOLAKAN TERHADAP :*

*PERPPU NOMOR 1 TAHUN 2020 TENTANG KEBIJAKAN KEUANGAN NEGARA DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN UNTUK PENANGANAN PANDEMI COVID-19 DAN/ATAU DALAM RANGKA MENGHADAPI ANCAMAN YANG MEMBAHAYAKAN PEREKONOMIAN NASIONAL DAN/ATAU STABILITAS SISTEM KEUANGAN*


Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Habib Rizieq Syihab Center (HRS Center), sebagai lembaga kajian ilmiah strategis, dengan ini menyatakan sikap penolakannya terhadap Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Penolakan ini didasarkan atas kajian yuridis normatif terkait dengan penerapan hukum pidana, khususnya menyangkut keberadaan Pasal 27 Perppu, sebagai berikut di bawah ini.

1. Perppu a quo mengandung ketidakjelasan tujuan terkait dengan syarat “hal ihwal kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perppu berlaku juga terhadap adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) huruf b. Namun, tidak ada kejelasan perihal ancaman apa yang dimaksudkan, selain pandemi COVID-19. Dapat dikatakan Perppu tersebut telah ‘mendompleng’ pandemi COVID-19.

2. Terbitnya Perppu lebih dimaksudkan untuk kepentingan pemerintah guna menetapkan batasan defisit anggaran melampaui 3 % (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Tahun Anggaran 2023. Tegasnya, telah terjadi ‘penyelundupan’ kepentingan pemerintah dengan memanfaatkan pandemi COVID-19. Penanggulangan pandemi COVID-19 harus ditujukan kepada keselamatan jiwa rakyat, dan oleh karenanya menjadi prioritas ketimbang kepentingan ekonomi, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Pasal 27 Perppu mengandung ‘potensi’ korupsi dan pelaku akan berlindung di balik ketentuan yang ‘menguntungkan’. Seiring dengan itu, sebelumnya telah terjadi pelemahan kewenangan terhadap KPK melalui revisi Undang-Undang KPK oleh DPR dan Presiden memberikan persetujuannya. Saat ini Presiden memiliki ‘posisi dominan’, ditandai kekuatan ‘oligarki politik’ di parlemen. Di sisi lain, ‘oligarki kapital’ mendominasi sistem politik.  Rumusan Pasal 27 telah membuka peluang terjadinya rekayasa dalam bekerjanya hukum pidana. Kesengajaan (kesalahan) sebagai unsur delik telah dinegasikan. Undang-Undang Tipikor menyebutkan kesengajaan dapat terjadi dalam hal “dengan maksud, “diketahui” atau “patut menduga”. Dengan demikian harus dibuktikan ada atau tidaknya kesengajaan melalui proses pembuktian di Pengadilan. Frasa “tidak dapat dituntut pidana”, telah meniadakan fungsi Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Seandainya, tetap dilakukan penyidikan dapat dipastikan hasilnya penghentian perkara (SP3). Alasannya, bukan merupakan tindak pidana atau tidak adanya dua alat bukti. Ini terkait dengan tidak terpenuhinya unsur baik objektif maupun subjektif, walaupun nyata telah ada kerugian keuangan negara (actual loss).

4. Terdapat sinyalemen kuat bahwa pemerintah akan memberlakukan status “Darurat Sipil” berdasarkan Perppu Nomor 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, apabila penanganan COVID-19 semakin memburuk. Jika Perppu Nomor 1 Tahun 2020 ditetapkan menjadi undang-undang dan dalam masa penanganan pandemi COVID-19 atau ketika pandemi telah berakhir, kemudian Presiden melihat adanya ancaman yang membahayakan terhadap perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan, maka status Darurat Sipil dapat diberlakukan. Bukan hal yang mustahil, akan pula terjadi hal yang sama yakni pemanfaatan situasi tertentu untuk pemberlakuan status Darurat Sipil. Pemberlakuan Darurat Sipil bertentangan dengan pemenuhan jaminan hak asasi. Pemerintah akan bertindak otoriter, dan oleh karenanya sangat rentan terjadinya ‘abuse of power’ berupa tindakan ‘persekusi’ dan ‘kriminalisasi’. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa yang menjadi tujuan diterbitkannya Perppu a quo adalah bukan untuk kepentingan mengupayakan terjaminnya keselamatan rakyat, namun lebih diarahkan untuk kepentingan ekonomi belaka.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) untuk membatalkan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu a quo harus dibatalkan keberlakuannya sebab bertentangan dengan aksiologi hukum “kepastian hukum yang adil” sebagaimana disebut dalam Pasal  28D ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Demikian, pernyataan penolakan ini disampaikan untuk dapat dimengerti dan menjadi perhatian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk, pertolongan dan perlindungan bagi kita semua, hanya kepada-Nya kita berserah diri.

Jakarta, 13 April 2020

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur)                   
     
Muhammad Kami Pasha, S.H., M.H.             
(Sekretaris)