Hubungan Erat Iran - Cina Dibangun Atas Perdagangan, Senjata, Minyak


Kamis, 28 Mei 2020

Faktakini.net, Jakarta - Hubungan Iran-China telah dibangun atas perdagangan, senjata, dan minyak. Selama perang Iran-Irak, Beijing memasok perangkat keras militer ke Iran, dan telah menjadi salah satu dari tiga pemasok senjata utama Iran dalam dekade terakhir. China masih menjadi mitra dagang utama Iran, tetapi impor minyaknya merosot setelah sanksi AS.

Di tengah konfliknya yang berkepanjangan dengan AS, hubungan Iran-China semakin lengket, untuk meminta bantuan militer dan untuk melindungi ekonomi Iran dari sanksi perdagangan yang diberlakukan oleh AS.

Hubungan kuat Iran-China telah terbukti dalam beberapa hari terakhir seiring ketegangan meningkat di Timur Tengah, yang dipicu oleh pembunuhan komandan tertinggi Iran, Qassem Soleimani, oleh AS di Irak. Iran menanggapi pembunuhan itu dengan serangan rudal terhadap pasukan AS di Irak.

Pada Senin (6/1) dan Selasa (7/1/2020), Zhai Jun, perwakilan khusus China untuk Timur Tengah, mengunjungi Iran untuk membahas masalah keamanan. Menurut laporan South China Morning Post, pada kunjungan itu, ia mengatakan beberapa “negara eksternal” telah memicu provokasi, tanpa menyebut AS.

Sampai saat ini, China masih menjadi mitra dagang terbesar Iran, tetapi impor minyak China dari Iran telah turun tajam akibat sanksi AS. Pada November 2019, China mengimpor 547.758 ton minyak Iran, turun dari 3,07 juta ton pada April, menurut data dari Administrasi Umum Kepabeanan China. Perdagangan antara China dan Iran pada 2018 mencapai US$35,13 miliar, di mana minyak mentah mencapai setengah dari jumlah itu, atau US$15 miliar.

Pada 2018, Presiden AS Donald Trump menarik diri dari kesepakatan nuklir, yang bertujuan membatasi program pengembangan nuklir Iran, dan menerapkan kembali sanksi yang melumpuhkan pada ekonominya.

Walaupun sanksi itu telah merusak perdagangan minyak antara Iran-China, mereka tetap menjadi mitra kuat di bidang militer. Menurut Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm, China adalah salah satu dari tiga mitra transfer senjata utama untuk Iran, yang mengekspor senjata senilai US$269 juta sejak 2008 hingga 2018.

Saat perang Iran-Irak, yang berlangsung selama delapan tahun pada 1980-an, China menjadi penyedia perangkat keras militer untuk Iran, sedangkan AS, Uni Soviet, dan negara-negara besar lainnya, seperti Prancis, mendukung Irak dan memasoknya dengan peralatan militer.

Pada saat itu, penjualan militer China ke Iran sering dilakukan secara tidak langsung dan diam-diam melalui pihak ketiga seperti Korea Utara, tetapi itu diakui oleh Iran sebagai bentuk dukungan penting, menurut laporan tahun 2012 tentang hubungan Iran-China oleh organisasi riset RAND Corporation.

Hubungan China-Iran

Laporan RAND juga menyatakan bahwa China telah membantu pengembangan program nuklir Iran, meskipun sebagian besar bantuan ini pada prinsipnya diarahkan pada penggunaan energi nuklir sipil.

China tidak hanya menjual senjata ringan Iran, tetapi juga memasok rudal balistik taktis dan rudal anti-kapal seperti Silkworm. Desain dan teknologi China dapat dilihat di banyak seri rudal Iran, dari rudal jarak pendek, Oghab dan Nazeat, hingga rudal jarak jauh, Shahab.

Bantuan China dipandang penting bagi Iran untuk mengembangkan kemampuan pertahanannya, meskipun dikenai sanksi internasional berulang kali: Iran memberlakukan embargo senjata pada 2007, dan tiga tahun kemudian PBB melarang ekspor sebagian besar senjata konvensional utama ke Iran.

Pada 2015, Dewan Keamanan PBB dengan suara bulat mengeluarkan Resolusi 2231, yang mempertahankan embargo senjata terhadap Iran selama lima tahun dan sanksi pada program rudal balistiknya selama delapan tahun.

Resolusi tersebut disahkan berdasarkan Rencana Aksi Komprehensif Gabungan (JCPOA), kesepakatan tentang program nuklir Iran yang dicapai antara lima anggota DK PBB permanen, yakni China, Prancis, Rusia, Inggris, dan AS, bersama dengan Jerman dan Iran. Pada 2018, Trump menarik AS dari kesepakatan itu.

Pada 2016, Iran negeri Syiah dan Cina negeri Komunis itu menandatangani perjanjian untuk meningkatkan kerja sama pertahanan dan militer serta memerangi terorisme. Kedua negara telah mengadakan latihan angkatan laut bersama pertama mereka di perairan Teluk Persia pada 2014.

Pada akhir Desember tahun lalu, latihan angkatan laut antara China, Iran, dan Rusia, yang mencakup area seluas 17 ribu kilometer persegi, diadakan di Samudra Hindia dan Teluk Oman selama empat hari.

Kevin Lim, peneliti doktoral dalam ilmu politik, pemerintahan, dan hubungan internasional di Universitas Tel Aviv mengatakan, China telah memposisikan dirinya sebagai kekuatan penstabil di kawasan itu, termasuk dalam mendukung Iran.

“Meskipun dalam lingkup yang relatif sederhana, latihan trilateral (pada Desember) bertujuan meningkatkan keamanan,” katanya, dikutip dari South China Morning Post.

“Meskipun bukan aliansi pertahanan, konvergensi yang tumbuh di antara ketiga negara ini mungkin tidak terlalu mengejutkan mengingat ketiganya juga menjadi target sanksi Amerika dan menentang unilateralisme AS.”

“Latihan angkatan laut itu juga merupakan cara peringatan implisit China terhadap tindakan militer AS skala besar terhadap Iran.”

Foto: Presiden China Xi Jinping dan Presiden Iran Hassan Rouhani

Sumber: matamatapolitik.com