Profil Al Habib Umar bin Abdullah bin Sholeh Assegaf Jawa timur

Jum'at, 22 Mei 2020

Faktakini.net,

Profil Al Habib Umar bin Abdullah bin Sholeh Assegaf . Jawa timur .

Al Habib Umar Assegaf adalah putra kelima dari 14 bersaudara. Semasa kecil, beliau belajar mengaji kepada Ustadz Salim Arfan, Bangil  di Madrasah Islamiyah. Habib Umar juga pernah juga belajar dengan Ustadz Khoiron Husein, Pesantren Salafiyah Bangil.
Di samping itu, yang paling besar pengaruhnya adalah didikan langsung dari abahnya, Habib Abdullah bin Sholeh. Sang ayah adalah murid dari seorang waliyullah, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Gresik.

Teladan Kedua Orangtua
Ada banyak pelajaran penting yang beliau dapatkan dari abahnya. Sang abah tidak mau berpangku tangan. Memang, para habaib dan ulama itu tidak mau berharap pada bantuan, tapi mau bekerja. Untuk urusan rezeki, beliau juga bekerja dengan membuka peracangan di sebelah rumah. Habib Umar kecil juga turut membantu. Setiap pulang sekolah beliau ikut membantu. Abahnya juga sangat disiplin dalam mengajar. Setiap mengajar beliau bawa penjalin. Kalau ada anak-anaknya yang rame atau nakal, maka penjalin itu bisa melayang.

Setiap hari, habib Umar dan saudara-saudaranya belajar ngaji bersama sang abah mulai bakda Maghrib sampai jam 8. Habib Umar sangat berkesan dengan abahnya yang disipilin sekaligus sangat memperhatikan anak-anaknya. Setiap jam setengah 9 anak-anak sudah harus pulang ke rumah. Kalau sampai lewat, maka pintu rumah tidak akan dibuka.

Sang ibu, Hababah Alawiyah binti Husein bin Abu Bakar Assegaf juga memberikan keteladanan yang luar biasa. Ibunya bahkan ada yang menyebut waliyullah. Beliau tidak pernah marah. Bahkan, setiap ketemu orang, selalu mengawali memohon maaf. Kepada anaknya, sang ibu juga tidak pernah memarahi mereka. Ketika mereka berbuat salah, hanya dingatkan dan ditunjukkan mana yang baik. Bahkan, kalau ada anak perempuannya yang curhat masalah keluarganya, beliau tidak marah. Beliau hanya menasehati, “Mungkin kamu yang kurang baik dalam memperlakukan suami kamu”.

Habib Umar menikah di usia muda, pada saat berumur 23 tahun. Untuk menunjang kebutuhan nafkah keluarga, beliau sementara membantu orang tua dengan mengembangkan usaha orangtua jualan di toko. Sore harinya beliau ngaji dengan para ulama dan habaib. Diantaranya Habib Ahmad bin Syech Assegaff, Kitab Tafsir Jalalain.

Hijrah Ke Jeddah

Kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. Lebih-lebih posisinya sebagai anak laki-laki yang pertama (keempat kakaknya adalah perempuan) mendorong Habib Umar untuk berjuang membantu ekonomi keluarga. Maka ketika usianya sekitar 30 tahun, beliau berpetualang ke Arab Saudi, tepatnya di kota Jeddah. Beliau tinggal selama 11 tahun di Arab saudi. Di sana, Habib Umar, bekerja  sekaligus mengaji. Beliau mengikuti majelis-majelis para ulama besar.

Diantaranya, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Wali Qutub, di Jeddah. Beliau juga mengikuti pengajian Sayyid Muhammad bin Alwi Al-maliki di Masjidil Haram.
Habib Umar memang sosok pekerja keras dan bertekad baja. Meski tidak pernah sekolah formal, Habib Umar nekad belajar bahasa Inggris.  Meski bermodal nekad, ngomong bahasa Inggris nabrak-nabrak, namun berkat keberaniannya akhirnya bisa berbhasa Inggris.

Bermodal kemapuan komunikasi bahasa Arab dan Inggris, Habib Umar pernah dipercaya menjadi manajer pemasaran di tempat kerjanya, sebuah agen garmen dan sepatu di Jeddah. Saat itu, beliau sampai digaji 2000 real dan komisi 5%. Uang hasil kerjanya dikirim ke tanah air untuk membantu orangtua dan memberi modal adik-adik bekerja.
Karena menjadi manajer, Habib Umar pun tampil perlente, berjas, berdasi  dan bersepatu. Beliau dikirim ke berbagai negara, pernah ke Australia, Perancis, Itali, Inggris, Jepang dan sebagainya

Setelah 11 tahun melanglang buana, Habib Umar pulang ke Indonesia. Di Indonesia beliau  melanjutkan usahanya dengan menjadi agen busana muslim. Setelah dianggap cukup, Abahnya, Habib Abdullah bin Sholeh memerintahkan Habib Umar untuk berhenti bisnis dan berbalik arah menekuni majelis dzikir yang telah dirintis sang orangtua.
Akhirnya, majelis yang dijalankannya diberi nama Roudlotussalaf. Habib Umar menekuni pembinaan Majelis Taklim dan Maulid. Kini jamaahnya sudah berjumlah sekitar 40 ribu.
Pesan sang abah, yang selalu beliau pegang kuat-kuat adalah ketika akan memulai maulid, kosongkan hati dari segala urusan dunia. Lupakan hutang, lupakan keluarga, lupakan semua masalah. Yang ada dalam hati, hanya Allah dan Rasulullah SAW. Kalau hati sudah bersih, maka akan muncul kekhusyu’an dalam bershalawat dan sirr serta nur Rasulullah SAW akan hadir.

Beliau juga sangat berusaha menjaga adab selama berlangsungnya pembacaan maulid. Para jamaah jangan sampai merokok di tempat pembacaan maulid. Para jamaah diminta untuk membersihkan hati, membuang jauh-jauh penyakit hati, sehingga mereka bisa merasakan sirrnya Rasulullah SAW.

Setiap tahun, Majelis Maulid Roudlotussalaf melaksanakan acara akbar yaitu Pembacaan Maulid Nabi, Haul Akbar, Santunan Yatim Piatu dan Dhuafa. Awalnya waktu masih dirintis anak yang disantuni jumlahnya masih sekitar 150 yatim. Saat ini sudah sekitar 2736 anak yatim.

Merangkul Anak Jalanan

Habib Umar juga mendekati anak-anak muda. Mulai yang sudah baik, maupun yang akhlaknya rusak, para peminum, tukang main togel, para perampok. Dalam mendekati anak-anak nakal ini Habib Umar menyesuaikan dengan gaya mereka. Beliau berpinsip, dalam berdakwah jangan pilih kasih. Dan, orang-orang yang “rusak” harus dirangkul jangan dipukul atau dihakimi apalagi dimusuhi.

Ada kisah unik yang dialami Habib Umar. Tujuh tahun silam, saat beliau mengisi pengajian dan pembacaan Ratibul Attos, di sebuah daerah, tepat disebelah masjid ada gardu, di sana ada sekitar 7 anak muda yang main gitar sambil minum-minuman keras. Menurut tokoh di sana anak-anak ini dedengkotnya preman. Habib Umar kemudian mencari cara agar mereka mau berhenti.

Minggu berikutnya, Habib Umar menemui mereka,dan berusaha menarik hati mereka, “Lha kalau kamu minum yang murah begitu, tubuh kamu cepat rusak, nanti cepat mati, kan eman-eman”. Habib pun memberi uang kepada mereka agar minumannya beli yang agak mahal, tapi jangan gitaran kalau pas pengajian. Setelah selesai pengajian baru gitaran. Seringkali Habib Umar juga membelikan mereka gorengan. Minggu-minggu berikutnya Habib Umar memberi uang yang lebih banyak lagi, tapi syaratnya mereka tidak gitaran dan minum-minuman dulu selama ada pengajian.

“Nah, kalian itu saya lihat nganggur. Setelah maghrib, gitaran nggak, minum juga nggak, bagaimana kalau setelah Maghrib hadir saja di masjid, meski tetap pakai pakaian jalanan”, Habib Umar mencoba merayu mereka. Akhirnya mereka ikut-ikutan ngaji, di teras masjid.

Setelah mereka ikut ngaji uangnya ditambah lagi. Kemudian Habib Umar, minta mereka ngerewangi rutinan majelis dzikir dan pengajian setiap Minggu Legi di Bangil. Uangnya ditambah lagi. Merekapun tambah semangat. Setiap majelis mereka selalu hadir. Mereka ada yang pasang karpet, bersih-bersih lokasi dan sebagainya. Kini, ketujuh anak brandalan ini bahkan dipercaya untuk menabuh terbang. Sudah berkopiyah dan berbaju putih. Dan, alhamdulillah sudah tidak minum-minuman lagi.