Tegas! Fraksi PKS: Pancasila Yes, Komunisme No!
Ahad, 31 Mei 2020
Faktakini.net, Jakarta - Menjelang peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni, Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto, mengajak masyarakat untuk menghayati nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Mulyanto mengatakan, Pancasila yang merupakan hasil perenungan dan pemikiran para pendiri bangsa (founding fathers) sepatutnya menjadi landasan moral kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurutnya, Pancasila yang saat ini menjadi dasar negara Indonesia merupakan rumusan paling tepat yang telah dihasilkan para pendahulu bangsa. Sehingga sudah sepatutnya dilaksanakan secara murni dan konsekuen.
“Salah satu wujud penghayatan nilai-nilai Pancasila adalah menolak ideologi Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Pancasila mengajarkan Ketuhanan yang Mahaesa, sehingga sangat tidak cocok disandingkan dengan ideologi-ideologi yang tidak mengakui Tuhan,” kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Ahad 31 Mei 2020.
“Pancasila itu antitesis Komunisme, Marxisme dan Leninisme. Sehingga siapa saja yang menyakini Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia harus berani menyatakan secara tegas Pancasila Yes, Komunisme No!,” tegas Alumni PPSA XV Lemhanas RI itu.
Mulyanto mengutip istilah “jas merah” dan “jas hijau” untuk menjelaskan sikap yang sepatutnya dipahami masyarakat dalam menghayati nilai Pancasila.
“Jas merah” atau jangan sekali-kali melupakan sejarah dan “jas hijau” atau jangan sekali-kali melupakan jasa ulama merupakan prinsip dasar untuk memahami spirit Pancasila secara tepat.
Bung Karno, kata Mulyanto, dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 mengusulkan Pancasila dengan sila kelima, “Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Namun oleh Panitia Sembilan yang diketuai Bung Karno sendiri, yang menghimpun kaum kebangsaan dan para ulama, berhasil memantapkan rumusan Pancasila pada tanggal 22 Juni 1945 menjadi Pancasila sebagaimana tercantum dalam Piagam Jakarta dimana Sila Pertama berbunyi: “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Tapi, kata dia, karena ada elemen bangsa yang keberatan dengan rumusan Pancasila Piagam Jakarta tersebut, khususnya Sila Pertama dan karena kebesaran hati para ulama, maka di sidang PPKI, tujuh kata dalam Sila Pertama yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” diubah.
“Barulah pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI menetapkan Pancasila sebagaimana terdapat dalam Pembukaan UUD tahun 1945, seperti yang ada sekarang ini,” jelas Mulyanto.
Tiga bulan setelah itu muncul pemberontakan PKI yang tidak puas dengan kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Karena itu, menurut Mulyanto, dalam RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP), yang sedang dibahas DPR RI, perlu memasukkan Tap MPRS No. 25/1966 tentang larangan penyebaran paham Komunisme dalam konsideran, sebagai penegasan Pancasila menolak ajaran Komunisme, Marxisme dan Leninisme.
Selain itu Mulyanto minta pasal-pasal terkait “Trisila”, “Ekasila” dan “Ketuhanan yang berkebudayaan” dalam RUU HIP dihapus serta mengembalikan makna Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.
Anggota DPR dari Dapil Banten III ini mengingatkan, jika Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila lagi maka itu sama saja mundur ke 1 Juni 1945. Hal itu malah terkesan tidak menghargai perjuangan Bung Karno sebagai Ketua Panitia Sembilan pada sidang BPUPKI tanggal 22 Juni 1945, yang dengan pilu dan sangat memelas kepada peserta sidang untuk menerima Pancasila Piagam Jakarta.
“Selain itu juga tidak menghormati kebesaran hati para ulama yang berlapang dada menghapus tujuh kata dalam Sila Pertama Pancasil pada 18 Agustus 1945,” pungkas Anggota Badan Legislasi DPR RI ini.
Foto: Mulyanto
Sumber: suaraislam.id