Inilah LEKRA, Organ Kebudayaan PKI Yang Gemar Mengolok-Olok Tuhan



Senin, 22 Juni 2020

Faktakini.net

Wudhu dengan Air Kencing

“Wis rasah macak ayu ayu, ora ayu yo payu. Nek ra ayu, yo, raup diniati wudhu. Nek ora ana banyu yo nganggo uyuhku. Banyu uyuhku padha sucine karo banyu wudhu.”

Artinya, “Tidak usah bersolek cantik-cantik.Tidak cantik juga akan laku. Kalau tidak laku ya cuci muka dengan niat wudhu. Kalau tidak ada air ya pakai air kencingku. Air kencingku sama sucinya dengan air wudhu”.

Itulah salah satu penggalan dalam dialog ludruk dengan lakon Gusti Allah Mantu yang dipentaskan di Kediri, Jawa Timur, menjelang meletusnya peristiwa G30S PKI.

Dalam pentas ludruk lakon Gusti Allah Mboten Sare, misalnya, ada dialog seperti ini: “La, piye, Gusti Allah yo mboten sare. Ora duwe bantal lan klasa. Piye turue. La, gimana, Gus Allah ya tidak tidur. Gak punya bantal dan tikar. Bagaimana tidurnya?”

Lakon ludruk (Jawa Timur), ketoprak (Jawa Tengah), dan sandiwara (Jawa Barat) saat itu, ketika PKI sedang berada di atas angin karena mendapat “dukungan” elit politik dan oknum-oknum militer, memang narasinya aneh-aneh.

Ada lakon dengan judul Patine Gusti Allah, Gusti Allah Dadi Manten, Malaikat Kawin, dan lain-lain, yang membuat orang Islam marah.

Ludruk dengan lakon Patine Gusti Allah, yang sedang pentas di Jombang, misalnya, pernah membuat seorang anggota Banser marah besar. Panggungnya diobrak-abrik dan dihancurkan. Ludruk pun batal manggung.

Orang-orang Islam jelas marah. Tapi tak bisa berbuat banyak. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), salah satu organisasi sayap PKI, saat itu sangat kuat dan merajalela. Lekra mengkoordinasi grup-grup ludruk, ketoprak, drama, dan sandiwara untuk mementaskan kesenian yang bernuansa paham PKI.

Tiga Isu Lekra

Ada tiga isu penting yang ditonjolkan Lekra-PKI dalam mementaskan kesenian rakyatnya. Pertama, mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai Tuhan. Kedua, mengajak masyarakat untuk menyita tanah-tanah yang dimiliki tuan tanah, kiai haji, dan yayasan milik Islam. Dan ketiga menghancurkan kredibilitas para sastrawan dan seniman Islam.

Dalam mengajak masyarakat untuk tidak mempercayai Tuhan, misalnya, Lekra mengkoordinasi pementasan ketoprak di Jateng dan DIY, serta ludruk di Jatim dengan lakon bertema “ateisme” yang membuat orang-orang beragama meradang.

Lakon Patine Gusti Allah, misalnya, menjadi salah satu judul pementasan ludruk dan ketoprak paling favorit dan sering dipertontonkan di masyarakat—meski sangat dibenci umat Islam.

Tak hanya itu. Para seniman Lekra juga mendatangi sekolah sekolah untuk menyebarkan paham ateisme PKI. Orang-orang Lekra yang jadi guru, juga aktif menanamkan pikiran ateis kepada murid-muridnya.

Politik Hoax PKI

PKI melalui organ-organnya: Pemuda Rakyat, Gerwani, CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), Lekra, BTI (Barisan Tani Indonesia), dan Koran Bintang Timur berusaha kuat mendominasi semua isu (sosial, politik, ekonomi, dan seni budaya) di Indonesia.

Bila perlu, PKI memaksakan kehendaknya dan menyebar isu-isu hoax untuk memenangkan gagasan-gagasannya di ranah publik dan parlemen.

Dari latar belakang itulah, kenapa kemudian rakyat—khususnya umat Islam—sangat marah kepada PKI pasca-G30S PKI. PKI yang memulai, maka PKI yang diakhiri. Seperti kata pepatah: Siapa yang menanam angin, maka dialah yang menuai badai.

Jadi, jangan salahkan umat Islam jika PKI hancur. Jangan bikin isu hoax bahwa PKI muncul akibat konflik elit militer. Dan jangan pula menyebar hoax bahwa kasus G30S adalah ciptaan Soeharto. Bukan… bukan itu!

PKI memang hendak menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Seperti Polpot yang membentuk Khmer Merah dan Kim Il Sung yang membentuk Korea Utara. Keduanya adalah rezim yang paling kejam di dunia. Mereka membantai rakyatnya yang tidak seidelogis dengan sangat-sangat kejam.

Haing Somnang Ngor, seorang dokter, dalam buku The Killing Fields, menceritakan bagaimana kejam dan bengisnya rezim komunis Polpot membunuh rakyat Khmer Merah yang nonkomunis.

Banyak ibu hamil yang dibelah perutnya; orang tua yang dibelah kepalanya; dan anak-anak yang dicincang seperti potongan kambing. Sungguh luar biasa kejamnya.

PKI itu sangat berbahaya. Tapi, sudah matikah mereka setelah ideologinya dilarang sejak 1966? “Jasmerah,” kata Bung Karno. Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.

Ingat sejarah politik hoax yang diterapkan PKI masa lalu. Kita harus ingat sejarah. Ibarat pepatah dan kutipan lagu dangdut Rhoma Irama: PKI yang memulai, PKI yang mengakhiri.

Jadi Kalau Ada yang Suka Mengolok-olok Agama dan Tuhan Artinya Mereka Adalah ?

#AyoLebihBaik
#PKSAwasiKabinet
#KamiOposisi