MPUI-I: Jika PDIP Masih Cantumkan Pancasila 1 Juni Dan Trisila-Ekasila dalam AD ART, Harus Dibubarkan!
Selasa, 30 Juni 2020
Faktakini.net, Jakarta - MUI sebagai pelayan dan penggerak umat, apa yang dilakukan MUI sangat tepat. Terutama terkait RUU HIP. RUU HIP ini mengusik umat beragama khususnya umat Islam.
“Alhamdulillah tidak ada silang pendapat terkait mensikapi RUU HIP ini. Tinggal Pemerintah dan DPR RI ? kita akan melihat sampai sejauh mana,” kata Jubir MPUI-I Ust. Asep Syaripudin.
Hal itu disampaikan dalam Kajian Malam yang ditayangkan streaming di Chanel YouTube Kaffah Channel. Senin 29 Juni 2020. Ia mengatakan “Kita saksikan sampai hari ini, PDIP terus ngotot dan melakukan lobi. Kita harus mendukung ulama kita untuk berjuang bahkan melakukan jihad fi sabilillah dalam rangka menghentikan RUU HIP tersebut. Kalau misalkan DPR tidak respon apalagi mengesahkan.”
“Jika ada yang masih ngotot bahkan mereka melakukan fitnah kepada umat Islam. Jika dilakukan oleh kafir maka mereka kafir harbi. Jika orang Islam berarti munafik yang terpapar sekularisme radikal,” imbuhnya.
Padahal, ust Asep menilai, yang mereka tuduhkan tidak terbukti, justru yang merampok uang rakyat itu partai-partai yang berkuasa. Maka tidak berlebihan tuntutan ulama, ormas Islam dan aktifis Islam, jika mereka tidak bertaubat, maka bukan hanya inisiator dan konseptor RUU HIP ini dipidanakan, bahwakan partainya juga harus dibubarkan.
Dalam AD ART PDIP jelas konsepsi Pancasila mereka 1 Juni. Kemudian tahun 2014, petugas partai itu berkuasa menjadi presiden yaitu pak Jokowi, tahun 2016 lahir Kepres hari lahir Pancasila 1 Juni. Kemudian 2018, BPIP dibentuk.
Kemudian tahunn 2020 RUU HIP. Tidak bisa menjadi pemakluman bahwa ini persepsi internal mereka terkait dengan penafsiran Pancasila. “Mereka sudah secara terstruktur, sistematis dan massif dari AD ART nya kemudian mereka berkuasa memperjuangkan ideologinya,” tandas ustadz Asep.
Jubir Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia (MPUI-I) ini mengatakan “Maka sikap kita tegas. Kita menuntut kepada aparat Kepolisian bahwa para inisiator dan konseptor harus dipidanakan. Kemudian, pihak-pihak yang selama ini secara demonstratif menyebarkan ideologi marxisme, leninisme, komunisme, itu harus diproses secara hukum.”
“Partai politik PDIP jika masih mencantumkan AD ART itu harus dibubarkan. Bahwa Pancasila yang mereka maksud adalah 1 Juni. Jika mau jujur, semua partai yang berlandaskan Pancasila harus merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ini banyak yang tidak diungkap,” tambahnya.
Dekrit tersebut, dengan jelas memberlakukan kembali pembukaan UUD 45 yang dijiwai Piagam Jakarta. Artinya tafsir pembukaan UUD itu sesuai dan senafas dengan syariat Islam. Tanggal 22 Juli anggota DPR menerima itu. Dan sampai sekarang Dekrit itu tidak dicabut. Karena itu Dekrit harus diberlakukan.
Karena itu, lanjutnya, nanti tanggal 5 Juli kita harus mengingatkan kembali bahwa kita harus memberlakukan Dekrit Presiden. Kemudian partai politik, organisasi, atau LSM apapun, yang bertentangan dengan spirit nafas Piagam Jakarta harus dibubarkan.
Dalam sejarah, Sidang BPUPK tanggal 29 Mei – 1 Juni itu tidak ada kesepakatan. “Bahkan menariknya, dalam risalah BPUPK itu tidak ada istilah pemilihan umum, partai politik, tidak ada istilah demokrasi. Bahkan yang mempunyai konsep demokrasi itu Bung Karno. Sedangkan yang disepakati pada sila ke 4 permusyawarahan. Musyawarah dengan demokrasi itu berbeda. Oleh karena itu kalau buat partai, partai musyawarah. Bukan Partai Demokrasi,” terang Ustadz Asep ini.
Partai Politik Miniatur Negara
Menurut Ustadz Asep, Partai itu miniatur sebuah negara, maka ketika ada partai yang di dalam AD ART nya mencantumkan Pancasila 1 Juni. Kemudian Pancasila itu diperas menjadi trisila menjadi ekasila menjadi ketuhanan yang berkebudayaan, ini menunjukkan ini bertentangan dengan Pancasila yang termakstub dalam pembukaan UUD 1945.
Di sini ada agitasi propagan yang tidak proporsional yang senantiasa dikambing hitamkan. “Saya Pancasila, Saya Indonesia” “anda khilafah, anda syariat Islam”. Padahal kalau kita melihat secara objektif, Pancasila itu sila pertamanya ketuhanan yang maha esa. Dimana berasal dari respon Ki Bagus Hadikusumo, yaitu bertauhid.
Jadi misalnya ada WNI mengibarkan bendera al liwa dan ar roya, mengibarkan bendera kalimat tauhid, maka itu pancasilais. Sekarang diputar balikkan, dibilang tidak pancasilais, justru yang mengusung demokrasi itu tidak pancasilais. Karena yang disepakati sila ke 4 itu musyawarah bukan demokrasi.
“Saya mengusulkan, kalau mau membuat partai, jangan ada demokrasinya, karena itu bertentangan dengan Pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945,” pungkasnya.
Foto: Ustadz Asel Syarifudin
Sumber: suaraummat.net