Petinggi FPI Ajukan Uji Materi UU Nomor 2 / 2020 Tentang Kebijakan Penanganan Corona
Rabu, 10 Juni 2020
Faktakini.net, Jakarta -
Sejumlah tokoh pergerakan Islam menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Mereka meminta Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan uji yudisial (judicial review) terhadap beleid tersebut.
Mereka yang menggugat, yakni KH Ahmad Sobri Lubis, Ustadz Munarman, Khotibul Umam, Hasanudin, Madi Saputra, Timsar Zubil, Irfianda Abidin, Ismail Yusanto, Muhammad Faisal Silenang, dan Sugianto. Mereka menilai UU tersebut cacat hukum.
Gugatan didaftarkan ke MK, Jakarta Pusat pada hari ini, Rabu (10/6). Pengajuan gugatan dilakukan oleh kuasa hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamat Anggaran Negara (Tapera).
“Mewakili pemberi kuasa untuk melaksanakan hak konstitusionalnya untuk mendaftarkan Permohonan Judicial Review Undang-Undang Nomor 2 tahun 2020,” kata perwakilan tim advokat, Wisnu Rakadita dalam pernyataan pers, Rabu (10/6/2020).
Mereka menilai, proses penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 cacat hukum. Mekanisme penetapan dipandang tidak memenuhi persyaratan formil dalam penetapan Perpu sebagaimana yang diatur dalam Konstitusi UUD 1945 serta peraturan perundang-undangan lainnya.
Kedua, Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang telah ditetapkan menjadi UU dianggap telah memberikan legitimasi cabang kekuasaan eksekutif untuk menumpuk kekuasaan. Mereka menilai, pemerintah telah merampas fungsi dan kewenangan dari cabang kekuasaan legislatif dan yudikatif.
“Sehingga dikhawatirkan Indonesia mengarah menjadi negara totalitarianisme. UU a-quo (tersebut) juga membuka keran potensi perampokan anggaran negara dan korupsi secara sistematis yang berlindung dibalik alasan Penyelamatan Ekonomi,” ungkapnya.
Pendapat lainnya, UU kebijakan keuangan untuk penanganan Covid-19 itu disebut telah merampas hak konstitusional warga negara untuk melakukan perlawanan atau upaya hukum secara pidana, perdata maupun tata usaha negara. Terlebih bila mengalami kerugian atas tindakan hukum eksekutif atas nama regulasi tersebut. (ASF)
Sumber: Indonesiainside.id