Dari HIP Ke BPIP, Akal-Akalan Jokowi Dan Megawati


Jum'at, 17 Juli 2020

Faktakini.net

https://www.facebook.com/108188117558546/posts/143400630703961/
*CATATAN KRITIS IDe#87*
*Institute for Democracy Education*
Jakarta, 17 Juli 2020
____________________________
*DARI HIP KE BPIP: AKAL-AKALAN MEGAWATI DAN JOKOWI*

Penulis: Smith Alhadar
Editor: Abdurrahman Syebubakar

Di tengah demonstrasi anti-Haluan Ideologi Pancasila yang digelar di depan gedung DPR (16 Juli), beberapa menteri dipimpin Menko Polhukam Mahfud MD datang menemui pimpinan DPR untuk menyerahkan dokumen negara yang berkaitan dengan RUU Haluan Ideologi Pancasila (BIP) dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Nampaknya waktu yang dipilih, yakni bersamaan dengan unjuk rasa, disengaja untuk mengkonter unjuk rasa tersebut.

Selain Mahfud, utusan pemerintah lainnya adalah Menhan Prabowo Subianto, Mendagri Tito Karnavian, Menkum HAM Yasonna Laoly, Mensesneg Praktikno, dan Menpan-RB Tjahjo Kumolo. Mereka diterima Ketua DPR Puan Maharani yang didampingi para wakil ketuanya. Banyaknya menteri yang datang menghadap DPR -- sebagiannya tidak ada relevansi dengan RUU BIP atau pun RUU BPIP -- nampaknya bertujuan menunjukkan keseriusan dan bobot politik rezim Jokowi terhadap isu ini.

Dengan wajah berseri-seri Puan menyambut para pembantu Jokowi itu. Ia pun langsung memaparkan kepada pers tentang isi dokumen itu bahwa selain meminta penundaan pembahasan RUU HIP yang memang mendapat penolakan keras dari publik selama beberapa waktu terakhir, juga RUU BPIP yang diusulkan mengganti RUU BIP berbeda secara substantif dengan RUU HIP. TAP MPRS No XXV/1966 tentang larangan komunisme/Marxisme-Leninisme dijadikan konsideran atau rujukan dan Pancasila yang diakui adalah Pancasila 18 Agustus 1945 yang merupakan hasil konsensus nasional, dan bukan Pancasila 1 Juni usulan Soekarno di mana Pancasila bisa diperas menjadi trisila, bahkan ekasila, yang telah menimbulkan kecaman luas publik.

Cepatnya Puan mengungkap isi dokumen yang baru diterimanya mencurigakan kita bahwa ia telah mengetahui isinya jauh hari, yang berarti Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (ibunda Puan) juga sudah mengetahuinya. Nyaris tidak mungkin Jokowi, seorang petugas partai PDIP, mengusulkan perubahan secara fundamental RUU HIP yang diinisiasi PDIP tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan Megawati. Bahkan, bisa jadi itu merupakan perintah dari Megawati untuk menyelamatkan mukanya.

RUU HIP yang merupakan pandangan dan kemauan Megawati telah menggoncangkan politik nasional dan mengancam disintegrasi bangsa. Mencabut begitu saja RUU HIP sebagaimana tuntutan publik, terutama umat Islam, akan mencederai kepemimpinan Megawati dan melemahkan PDIP. Sedangkan mempertahankan RUU HIP nyaris tidak mungkin. Di pihak lain, keberadaan RUU itu membahayakan stabilitas politik nasional di tengah pandemi covid-19 yang telah menghantam kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat tanpa belas kasihan. Maka dicarikan jalan keluar bagi Megawati dan Jokowi sekaligus. RUU BPIP dianggap kompromi yang menguntungkan keduanya.

BPIP masih mempertahankan motif Megawati, yaitu mengontrol ideologi yang dipandang "tidak sesuai" dengan Pancasila. Jokowi juga diuntungkan karena RUU BPIP memberinya wewenang sebagai penafsir tunggal Pancasila. Ini bisa dipakai untuk menggebuk individu maupun kelompok yang kritis terhadap rezim. Bagaimanapun, RUU BPIP masih lebih menguntungkan Jokowi karena diharapkan ia dipandang sebagai pahlawan yang mengakomodasi aspirasi kelompok-kelompok yang menentang RUU BIP. Pertanyaannya, apakah persoalan selesai sampai di situ? Nampaknya tidak.

Masalahnya, RUU BPIP mendegradasi Pancasila dan mengendalikan pikiran masyarakat. Tujuannya menyeragamkan pikiran masyarakat sesuai dengan tafsiran Megawati dan rezim Jokowi terhadap Pancasila. Tidak seharusnya Pancasila menjadi ideologi negara. Di dalam Konstitusi pun Pancasila tak pernah disebutkan sebagai ideologi, melainkan dasar falsafah negara. Pancasila sebagai ideologi akan kehilangan jiwa sebagai pemersatu, sebagai titik temu berbagai ideologi masyarakat. Kalau Pancasila dijadikan ideologi negara, maka Republik Indonesia yang demokratis berubah menjadi negara fasis atau komunis. Karena hanya negara fasis dan komunis yang punya ideologi.

Kalaupun tak menganut dua ideologi itu, Indonesia makin otoritarian di bawah cengkraman rezim Jokowi yang memang otoriter. Seperti yang ditulis Abdurrahman Syebubakar - Ketua Pengurus IDe - dalam artikel “Demokrasi Ambyar di Tangan Jokowi” (2 Juni 2020) bahwa rezim Jokowi tidak saja membunuh demokrasi tetapi telah menjelma menjadi malevolent authoritarianism (otoritarianisme jahat) yang ditandai sikap refresif, brutal dan sangat korup sekaligus.   

Itu sebabnya, publik pun menuntut agar BPIP yang dibentuk dengan Kepres -- dan RUU BPIP hendak memberinya landasan UU biar kedudukannya sama dengan kementerian -- dibubarkan. Memang lembaga ini tidak berguna, tidak memberi manfaat pada rakyat. Sebaliknya, hanya menghabiskan dana negara ratusan miliar rupiah untuk menggaji para petinggi BPIP termasuk Megawati dan stafnya yang kerjanya tidak jelas. Kita pernah mendengar lembaga ini menyelenggarakan konser musik virtual pada Mei silam atas nama pengamalan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang adil dan beradab. Namun, orang mempertanyakan kearifan proyek yang merugi itu di tengah wabah corona. Mengajak orang berkumpul yang dihadiri Presiden dan Ketua MPR dengan mematahkan PSBB yang diberlakukan rezim Jokowi sendiri tentu merupakan tindakan yang tidak beradab.

DPR mengatakan tidak akan membahas lagi RUU HIP. Setelah reses mulai 17 Juli hingga 13 Agustus, DPR hanya akan membahas apakah RUU HIP dicabut atau RUU BPIP disetujui sebagai penggantinya. Dus, selama reses, DPR akan mengamati dinamika di masyarakat terkait usul rezim Jokowi. Kalau RUU BPIP diterima, tetap saja akan menimbulkan gejolak di masyarakat. Toh, yang mereka minta adalah mencabut RUU HIP dan tidak diganti dengan RUU mana pun juga. Memang lebih baik, Megawati dan Jokowi tidak memaksakan kehendak dan lebih fokus menanggulangi corona secara serius daripada membuang-buang energi bangsa untuk hal-hal yang tidak berguna.

Foto: Aksi tolak RUU HIP di depan DPR, Kamis (16/7/2020)