Massa PKI Bakar Foto Habib Rizieq, Ini Tanggapan Damai Hari Lubis



Selasa, 28 Juli 2020

Faktakini.net

*Bogor, 28 Juli 2020*
                             
*Eigenrichting / Street Of Justice / Persekusi Terhadap Para Pelaku Penghina Tokoh Ulama Besar Sebagai Shock Therapy Kepada Lembaga Polri Boleh Dilakukan*     

*Studi Kasus: Persekusi Budi Djarot Adalah Keniscayaan Menurut Tinjauan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan*

*( Peristiwa Street Of Justice atau Persekusi Oleh Sekelompok Orang atau Ummat Muslim, dan Akan Terus Mencari, Mendapatkan dan Mempersekusi Diri Budi Djarot Pimpinan Ormas Pembakar dan Penginjak-Injak serta Penista Poto Wajah Imam Besar Negeri Republik Indonesia, Habieb Rizieq Shihab)*

*Oleh : Damai Hari Lubis/ Sekjen TPUA/ Tim Pembela Ulama dan Aktivis*         

*Mengingat secara Sosiologi dan Pemahaman Etimologi tentang Gelar Ketokohan, dan Sebagai Asas didalam Teori Hukum Pidana. Tokoh Ulama atau Ulama Besar merupakan suatu predikat yang melekat pada jatidiri seorang pemimpin agama dan biasanya memiliki massa atau pengikut serta simpatisan yang signifikan besar dilingkungannya, ucapannya kadang bak fatwa, banyak digugu serta ditiru oleh mayoritas masyarakat dimana negeri Sang Ulama Tinggal.

Gelar atau strata tsb berkategori derajat tinggi. Walau pemberian gelar tsb. Merupakan pemberian oleh masyarakat atau bahkan pimpinan pejabat sebuah negeri, atau sebuah negara dimana Sang Ulama itu tinggal, bahkan gelar ulama besar itu bisa jadi sebagai semacam 'Honoris of Causa ' dari Pimpinan Negara diluar Ulama Tsb berdomisili, atau oleh masyarakat dunia sekalipun.

Oleh karena sifat dari gelar tsb. Sangat diistimewakan, maka seorang dengan gelar Tokoh Ulama Besar oleh sebab peraturan dan perundang-undangan merupakan sebuah gelar istimewa sehingga Perilaku ( Tingkah Laku/ lahiriah dan lisannya ) Sang Tokoh Ulama dijadikan salah satu bagian ( referensi ) pertimbangan oleh Majelis Hakim pada vonisnya, Majelis Hakim akan spesifik menyebutkan terkait gelar atau derajat seseorang sebagai bahan pertimbangan putusannya tentang layak dan tak layak sebuah perbuatan yang dilakukan oleh Sang Tokoh baik sebagai korban maupun sebagai seorang pelaku tersangka, maupun sebagai saksi atau Ahli*

*Maka apabila ada bentuk akumulasi kekesalan dari kelompok pengikut seorang Tokoh Ulama terhadap Pihak yang Berwajib dalam penanganan hukum atas adanya dugaan peristiwa delik/ atau kejahatan terhadap seorang Ulama Besar atau Tokoh Agama yang riil banyak pengikutnya, selanjutnya oleh sebab fakta hukum, bahwa terdapat puluhan pelaporan yang disampaikan publik baik secara individu atau atas nama kelompok atas adanya peristiwa persekusi, pencemaran, penghinaan dan atau Penistaan Terhadap Seorang atau beberapa Ulama, akan tetapi hasilnya obscuur atau tidak jelas, bahkan gelap, oleh karena tidak mendapat kejelasan hukum ( no process ). Maka bisa jadi Tindakan street Of Justice atau Persekusi oleh pengikut atau jamaah dan atau simpatisan Tokoh Ulama akhirnya akan dibutuhkan dalam rangka menegakan salah satu fungsi hukum yakni efek jera, disebabkan karena rendahnya kesadaran hukum yang ada pada Para Penegak Hukum pada bidangnya ( Penyelidik/ Penyidik Polri )*

*Karena yang nampak oleh masyarakat dan framing, justru kesadaran hukum yang ada pada diri individu - individu dan juga kelompok atau masyarakat lebih tinggi dari pada penegak hukum yang justru sebagai petugas pelaksana pemiliki tanggung jawab hukum, sehingga hal ini membentuk framing rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap Kemandirian Polri.

Lembaga kepolisian berkesan tidak proporsional ( tebang pilih ), tidak profesional serta tentu dapat dipastikan tidak akuntabilitif ( tidak dapat dipertanggung jawabkan ) secara hukum dan moral, terhadap buah atau hasil pelaksanaan pembebanan tupoksi mereka sesuai dan merujuk pada sistem regulasi ( Kuhap, UU. Polri dan Perkap ). Sehingga terbukti kelemahan pada pelaksanaan tupoksi berakibat hukum terjadi pengulangan delik dolus ( Pelanggaran / Kejahatan yang disengaja dilakukan ) terjadi dari diri Si Pelaku yang telah pernah dilaporkan*   

*Bentuk kesadaran hukum masyarakat yang lebih tinggi dibanding Polri selaku Pemilik Kewenangan Penindakan Hukum tsb. Nampak banyak terdapat fakta - faktanya dan dapat dibuktikan, yaitu dengan bentuk serah terima pelimpahan perkara dari masyarakat dalam bentuk pelaporan, dalam artian menyerahkan sepenuhnya kepada proses hukum, atau logika hukumnya sebagai " masyarakat telah melakukan due proces of law sesuai rule of law atau ketentuan hukum yang berlaku ". Namun sebaliknya Petugas yang mendapat pembebanan selaku pemilik kekuasaan atau kewenangan pelaksanan fungsi hukum oleh negara melalui UU, tidak melaksanakan kewajiban sesuai tupoksinya*

*Maka karena fakta dan data emperis, masyarakat cenderung menggunakan hukum jalanan, atau yang biasa disebut street justice didalam penyelesaikan permasalahan hukum di lingkungannya. Dan saat ini sepertinya cara - cara eigenrichting atau persekusi atau street of justice tsb. sangat perlu atau dibutuhkan sebagai alat Sosial Kontrol kepada Para Penyelenggara Tertinggi dan Tinggi Negara RI.

Dan solusinya agar persekusi tidak terus berlangsung adalah segera Jokowi selaku Presiden memerintahkan pencegahan persekusi dengan cara memerintahkan kepada Pimpinan Polri untuk segera melaksanakan proses - proses hukum semestinya ( due process atas dasar rule of law ) terhadap seluruh laporan masyarakat yang ada, tanpa tebang pilih. Perintah serta pelaksanaan ini sangat perlu dilakukan agar tidak menimbulkan stigma- stigma atau asumsi buruk terhadap Diri Jokowi selaku Presiden dan Penyelenggara Pemerintahan Tertinggi Negara, bila hal ini terus berkelanjutan maka muncul stigma atau citra butuk , hal persekusi ini memang disengaja agar terus berlangsung, atau 'masa bodoh ? Dengan cara melakukan pendiaman adanya proses hukum tebang pilih atau suka - suka dari pihak Polri*                                         

*Asumsi atau pendapat yang menjadi sebuah pengetahuan atau ilmu kemasyarakatan ( difahami oleh masyarakat ) tentang kebolehan Hukum Ala Persekusi ini bukan lahir melalui proses ujug - ujug atau tanpa adanya Fakta Gejala Gejala Sosial beikut data emperis. Akan tetapi dimulai dengan stigma - stigma atau kesan citra buruk, bahwa aparatur penegak hukum menjastifikasi terhadap pelaku peristiwa delik dengan cara pendiaman terhadap laporan masyarakat terhadap pelaku persekusi yang transparan, dalam hal ini memang sudah banyak terjadi dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat terhadap beberapa orang ustad dan atau ulama yang menjadi korban, bahkan peristiwa delik disaksikan oleh petugas hukum dari Kepolisian, namun tidak ada tindak lanjut hukum terhadap pelaporannya*

*Sehingga pendapat penulis sesuai pandangan ilmu kemasyarkatan dengan tetap tidak meninggalkan unsur - unsur daripada asas hukum yang berlaku, bahwa persekusi itu memang dapat atau boleh dilakukan secara hukum jalanan terhadap Para Pelaku yang jelas - jelas terbukti melanggar hukum, dengan syarat telah memenuhi unsur- unsur alat bukti yang cukup serta lokus dan delikti merupakan peristiwa- peristiwa yang dengan sepengetahuan umum*