Sejak Dulu Islam Musuh Terbesar PKI: Ini Persaingan Partai Islam Vs PKI Di Pemilu 1955



Selasa, 21 Juli 2020

Faktakini.net, Jakarta - Kita tidak usah heran melihat Front Pembela Islam (FPI) dan elemen-elemen Islam saat ini begitu gigih menolak RUU HIP / PIP yang diduga disusupi manifesto Komunis. Karena sejak dulu umat Islam lah yang paling gencar melawan PKI di Indonesia. 

Sebuah perhelatan besar tandingan digelar Masyumi untuk menandingi rapat umum PKI di Malang. Massa Masyumi yang datang dari Surabaya dan Malang membaur bersama ribuan anggota PKI yang menunggu kehadiran Ketua PKI DN Aidit dan Eric Aarons, wakil Partai Komunis Australia yang juga didaulat berpidato.

Pertemuan yang dihelat di Alun-alun Malang 28 April 1954 itu sudah panas sejak mula. Selembar spanduk membentang tak jauh dari podium: “Kutuk teror perampok Masjumi-BKOI”. Spanduk itu merespons demonstrasi Masyumi-BKOI di Jakarta 28 Februari 1954 yang berakhir rusuh dan mengakibatkan tewasnya perwira TNI Kapten Supartha Widjaja. Bagi PKI demonstrasi itu teror, buat Masyumi spanduk itu fitnah. BKOI adalah Badan Koordinasi Organisasi Islam.

Emosi massa Masyumi makin terbakar ketika kritik meluncur dari mulut Aidit: “Nabi Muhammad Saw bukanlah milik Masjumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masjumi. Memilih Masjumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masjumi itu haram sedangkan masuk PKI itu halal,” kata Aidit langsung disambut teriakan, “dusta.... tidak benar.. ingat Madiun,” ujar para pemuda Masyumi seperti dikutip dari Abadi, 17 Mei 1954.

Mereka merangsek maju ke depan, mengerubungi podium tempat Aidit berdiri. Menuntut Aidit mencabut kata-katanya. “Saya minta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti-agama,” ujar Aidit mengoreksi. Abadi, koran yang dekat dengan Masyumi menulis para kader Masjumi yang dipimpin oleh Ketua Masyumi Cabang Surabaya Hasan Aidid itu justru berupaya melindungi Aidit dari kemarahan massa.

Pertemuan berakhir ricuh. Massa Masyumi merampas semua atribut kampanye PKI. Harian Rakjat, 31 Maret 1954 melaporkan kejadian itu sebagai ancaman pembunuhan terhadap Aidit. “Duaratus ribu Rakjat Malang mendjadi saksi bahwa Hasan Aidid dan komplotannja mengepalai pertjobaan teror terhadap D.N. Aidit itu dan samasekali bukan “melindungi djiwa Aidit”,” tulis Harian Rakjat mengomentari pemberitaan Abadi sehari sebelumnya.

Menurut Remy Madinier, penulis buku Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi dan Islam Integral insiden di Malang itu merupakan bentrok terbesar antara Masyumi dengan PKI sepanjang tahun 1954. Pemilu pertama bakal diselenggarakan setahun lagi, tapi iklim politik sudah mendidih.

Akar Konflik Dua Seteru
Perseteruan politik PKI versus Masyumi berakar hingga ke zaman revolusi. Bermula saat orang-orang kiri resmi masuk ke panggung politik nasional pascakemerdekaan. Sejarawan Hilmar Farid mengatakan pentas politik republik saat itu didominasi orang-orang kiri. 

“Semua berlomba-lomba untuk punya peran lebih besar,” kata Farid kepada Historia pekan lalu. Hilmar menambahkan puncak konflik terjadi semasa kabinet Amir Sjarifuddin. “Mereka tahu kalau Amir lebih kiri dari Sjahrir,” ujarnya.

Bahkan SM Kartosuwirjo, salah satu pendiri Masyumi menolak tawaran jabatan menteri pertahanan untuk kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948). Usai perjanjian Renville (1948) yang dianggap sebagai kegagalan Amir, Masyumi berkoalisi dengan PNI, mengajukan mosi tak percaya. Mosi itu berhasil menjatuhkan Amir dari jabatannya sebagai perdana menteri.

Konflik berlatar ideologi itu pun semakin mengeras ketika Amir mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR), disertai kedatangan Musso dari Moskow ke Yogyakarta pada Agustus 1948. Dan rangkaian peristiwa politik di pengujung 1948 itu bermuara pada peristiwa Madiun. Bagi Masyumi peristiwa tersebut bukti kalau PKI “bukan sadja memberi tikaman dari belakang kepada negara, tetapi menikam pula tjita-tjita kita..” tulis Hikmah, 12 September 1956.

Bak api dalam sekam, bara perseteruan terus membara hingga 1951. Perdana Menteri Soekiman dari Partai Masyumi melancarkan razia terhadap anggota PKI yang dituduh bertanggung jawab atas penyerangan kantor polisi di Tanjung Priok, Agustus 1951. Pemerintah menemukan bukti kaos berlambang palu-arit yang digunakan penyerang dan menggunakan barang bukti itu sebagai dalih untuk menangkap anggota PKI.

Menurut Hilmar semenjak diangkat jadi perdana menteri, Soekiman sudah menyadari kebangkitan PKI gangguan buat Masyumi. 

“Sejak awal Soekiman sudah pusing terutama dengan partai (PKI, red.) yang bangkit lagi dan sisa-sisa Merapi Merbabu Complex yang jadi masalah keamanan,” kata dia.

Merapi Merbabu Complex (MMC) kelompok loyalis komunis pelarian Madiun yang melancarkan perlawanan terhadap pemerintah. 

Selain MMC, pemerintah Soekiman juga direpotkan oleh maraknya pemogokan buruh yang sekalipun dilarang selalu berhasil membuat kegiatan ekonomi lumpuh. Razia Soekiman “memperuncing perseteruan antara komunis dengan Masyumi,” tulis Remi Madienier dalam bukunya. Namun karena bukti-bukti tak cukup kuat, anggota PKI yang ditangkap segera dibebaskan.

Tidak hanya di atas pentas politik formal konflik itu berlaga. Media massa onderbouw kedua partai pun ikut turun gelanggang. Bahkan majalah Hikmah punya rubrik “Lawan dan Kawan” yang setiap kali terbit selalu menyerang PKI. 

Dalam tajuknya, 15 Januari 1955, Hikmah menyampaikan keputusan sidang majelis syuro Partai Masyumi yang menyatakan penganut komunisme sesat. 

“Seseorang Muslim jang mengikuti komunisme atau organisasi komunis....maka ia adalah sesat,” tulis Hikmah mengutip keputusan sidang majelis syuro Masyumi, 23-24 Desember 1954.

Harian Rakjat pun melancarkan serangannya. Pada minggu pertama Maret 1954, koran PKI itu menuduh Masyumi partai penebar teror yang tak demokratis dan berkomplot dengan pemberontakan Darul Islam Kartosuwirjo. 

Tak jarang pula mereka melontarkan kritik pedas langsung ke koran Abadi, corong partai Masyumi, sebagai koran tukang “memutarbalikkan soal,” tulis redaksi Harian Rakjat, 2 Maret 1954 .

Baik Masyumi maupun PKI selalu punya materi propaganda untuk saling serang. PKI menuduh Masyumi sebagai partai antek Amerika Serikat, terlebih setelah peristiwa PRRI meletus pada 1957. Masyumi pun balas tuding PKI sebagai partai agen asing karena selalu berkiblat ke Uni Soviet.

Muchtar Chazaly, ketua pengurus cabang Sukabumi, dalam sebuah pidatonya di Jember 21 Juli 1954 mengatakan bahwa tuduhan Masyumi antek Amerika itu tidak benar. “Apakah di sini ada foto Eisenhower? (Presiden AS saat itu, red.). Sepuluh ribuan orang yang hadir menjawab tidak,” tulis Abadi, 22 Juli 1954. Muchtar malah menuduh PKI antek asing karena kerap memasang foto Malenkov, Mao Zedong dan lain-lain. Sementara serangan PKI pada Masyumi sebagai agen Amerika dilandasi penilaian bahwa keduanya yang berorientasi antikomunis.

Dalam pusaran konflik tersebut ada sebagian pengurus Masyumi yang memilih berhadapan frontal dengan PKI. Kendati tak pernah diakui secara resmi bagian dari partai, Front Anti-Komunis dimotori oleh Ketua Masyumi cabang Jawa Barat Isa Anshary banyak menggalang massa menandingi propaganda PKI. Tak jarang polemik berujung ke kontak fisik di lapangan seperti yang pernah terjadi di Malang, 28 April 1954.

Boyd R Compton, peneliti Amerika yang menemui Isa pada Maret 1955 mengatakan kendati berbeda cara dengan Ketua Masyumi Moh. Natsir, Isa memanfaatkan isu antikomunisme sebagai senjata politik. “Anshary tak terang-terangan menentang pimpinan partainya, pandangan-pandangannya sendiri jelas berbenturan dengan wawasan Natsir,” tulis Boyd dalam bukunya Kemelut Demokrasi Liberal: Surat-Surat Rahasia Boyd R. Compton. Natsir memang lebih hati-hati dalam menghadapi komunis.

Dalam pertemuan itu Isa meminta pendapat Boyd tentang sebuah organisasi antikomunis yang berkantor di New York yang menawarinya bantuan. “Ia mengungkapkan kesulitan-kesulitannya dalam mencari dana untuk menerbitkan sebuah majalah antikomunis,” kata Boyd tentang Isa Anshary dan front antikomunisnya.

Sikap yang Mendua
Di balik semua polemik dan konflik kedua partai yang saling berseteru itu, masing-masing punya dilema tersendiri. Tak semua pengurus Masyumi sepakat dengan apa yang dilakukan Isa Anshary cum suis. Pemimpin Masyumi seperti Moh. Natsir, Rusjad Nurdin dan Umar Suriatmadja menghindari agar tak terjadi kekerasan fisik yang dilakukan anggotanya.

Maka ketika ulama Persatuan Islam (Persis) mendukung Isa dengan menjatuhkan “fatwa” murtad bagi kader Masyumi yang tak melawan PKI secara frontal, Natsir angkat bicara dengan mengatakan Front Anti-Komunis bukan bagian dari Masyumi. “Meski sejumlah anggota Masyumi bergabung dengan Front Anti-Komunis, organisasi itu tak memiliki ikatan apapun dengan partai Islam,” kata Natsir dalam Abadi, 30 Desember 1954.

Sementara itu menurut Remy Madinier, beberapa kali Aidit selalu menonjolkan pernyataan kalau PKI tidak anti-agama. Kendati di beberapa daerah sempat terjadi bentrok fisik antara kader PKI dengan Masyumi, pucuk pimpinan PKI itu kerap berusaha mengambil hati massa Masyumi. Pada Kongres Nasional PKI ke-5, 15 Maret 1954, Aidit mengatakan tak semua kader Masyumi agen Amerika dan musuh PKI. “Tidak semua anggota Masyumi adalah komprador,” kata Aidit dalam pidatonya.

Lepas dari semua hiruk pikuk pertikaian politik antara PKI dengan Masyumi beredar kisah persahabatan para tokohnya. Perbedaan ideologi politik tak menghalangi hubungan pribadi mereka. Advokat senior Adnan Buyung Nasution yang sempat mewawancarai Moh. Natsir untuk penulisan disertasinya di Universitas Utrecht, Belanda mengisahkan persahabatan Natsir dan Aidit. “Mereka bisa berdebat keras di dalam gedung parlemen tapi kalau sudah di luar, minum teh bareng di warung seperti tak ada apa-apa,” kata Buyung kepada Historia.

Konflik PKI versus Masyumi baru benar-benar berakhir ketika Presiden Sukarno membubarkan Masyumi bersama PSI melalui Kepres 200/1960, 17 Agustus 1960. Keterlibatan PSI dan Masyumi dalam PRRI/Permesta menjadi alasan bagi pemerintah Sukarno untuk membubarkan dua partai itu.

Foto: Iklan kampanye Pemilu 1955, saling serang antara Masyumi dengan PKI. (Mingguan Hikmah dan Harian Rakjat).

Sumber: Historia.id