Sering Fitnah Anies Gunakan Politisasi Agama, Faktanya Pendukung Ahok Yang Mainkan Politik Identitas
Rabu, 22 Juli 2020
Faktakini.net
Sering Fitnah Anies Gunakan Politisasi Agama, Faktanya Malah Pendukung Ahok yang Mainkan Politik Identitas Hingga Kini
Politik identitas dengan membawa nama agama kerap dikaitkan pada sosok Anies Baswedan oleh lawan politiknya. Sejak Pilkada DKI 2017 sangat jelas adanya narasi yang menggiring opini publik bahwa seolah benar, Anies menggunakan politik identitas.
Penggiringan opini itu hingga sekarang masih terus didengungkan oleh para pendukung Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang masih tidak terima bahwa jagoannya kalah telak dalam pesta demokrasi tiga tahun silam.
Mereka terus memberi label bahwa Anies menjual ayat bahkan tidak menghargai mayat orang yang tidak mendukungnya. Sungguh barisan sakit hati yang benar-benar tidak bisa move on.
Faktanya jika ditarik ke belakang justru Ahok yang pertama membawa ayat, membahasnya saat berpidato dalam kunjungan kerja di Pulau Pramuka kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Ketika itu Ahok datang untuk meninjau program pemberdayaan budi daya kerapu.
"Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang) pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," kata Ahok saat itu.
Meskipun bukan kapasitasnya, entah apa yang mendorongnya harus mengucapkan pembicaraan bernuansa SARA.
Disini juga sangat terlihat tim komunikasi Ahok tidak menjalankan tugasnya, memberikan peringatan apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan mengingat watak Ahok yang kurang baik dalam menyampaikan sesuatu. Bahkan pakar komunikasi Tjipta Lesmana pada Maret 2015 sudah memperingatkan bahwa komunikasi Ahok buruk dan kasar.
Sebagaimana diketahui, Ahok pernah melontarkan kata-kata tidak senonoh dalam sebuah interview dengan Kompas TV yang disiarkan langsung.
"Komunikasi Ahok kasar dan buruk. Dia selalu merasa tidak salah. Dia tidak mengaku khilaf. Itu kan praktek pemimpin yang salah sekali itu. Kok nggak mengaku salah," kata Tjipta (20/3/2015) lalu seperti dilansir rmol.
Saat itu Tjipta mengimbau agar Ahok berbesar hati mengakui pola komunikasinya yang kasar didepan publik. Karena mengeluarkan kata-kata senonoh semacam itu dinilai tidak pantas diucapkan oleh seorang pemimpin.
Benar saja bom waktu atas buruknya pola komunikasi Ahok meledak. Karena pidatonya yang membawa Surat Al Maidah ayat 51 Kepulauan Seribu memantik amarah umat Islam yang merasa tersinggung dan tidak terima. Ahok pun dilaporkan ke Bareskrim hingga pada 16 November 2017 Polisi menetapkan Ahok sebagai tersangka dalam kasus dugaan penistaan agama.
Sudah jelas disini bahwa Ahok secara hukum dinilai bersalah menista agama. Secara etika pun Ia juga sudah melewati batas karena membahas ayat sebuah kitab suci yang bukan agamanya, sebagai pejabat publik dalam konteks kunjungan kerja memberikan bantuan modal budidaya kerapu kepada warga, sungguh tidak relevan.
Anehnya pendukung Ahok sampai sekarang melabeli Anies dengan julukan ayat mayat. Mereka tidak merenung dan berkaca pada kisah junjungannya yang salah mengambil langkah.
Mereka menuduh Anies menelantarkan jenazah Nenek Hindun yang semasa hidup disebut sebagai pemilih Ahok. Faktanya Anies sama sekali tidak ada kaitannya dengan kepengurusan Jenazah nenek Hindun.
Faktanya yang terjadi sesuai kesaksian Ustaz Ahmad Syafii, yang mensalatkan jenazah Nenek Hindun, Ia menjalankan Syariat seperti yang diajarkan agama Islam dalam memperlakukan Jenazah dengan baik.
"Perkaranya itu bukan karena milih Ahok, bukan nggak disalati, saya yang ngimami, saya yang bantu talqin (melepas arwah orang yang kritis dengan kalimat tauhid) kan 24 jam sebelum Nenek (Hindun) meninggal," terang Ahmad Syafii di rumahnya seperti dilansir liputan6.com (11/3/2017) lalu.
Terkait tidak disholatkan di mushalla dan digantikan di rumah, Syafii mengakui telah saat itu dirinya sudah diburu waktu karena sudah sanget sore. Apalagi, mobil yang akan membawa jenazah Hindun ke musala terjebak macet.
"Jadi, rombongan itu ketahan sama macet, ya memang nggak ada orang, mau salatin di musala gimana? Orang nggak ada, terus tukang gali kubur sudah minta cepet terus," terang Syafii kala itu.
Sesuai fakta di atas sungguh jahat para barisan sakit hati pilkada ayat mayat pada Anies Baswedan. Terlebih isu SARA ini terus digulirkan hingga saat ini oleh para pendukung Ahok. Merekalah aktor yang menghidupkan ketidaknyamanan antar masyarakat, gagal move on, dan tak henti berkoar dan menjual ayat dan mayat!
Peengandaian yang sedikit menggelitik jika dahulu yang menang AHY-Silvi maka pasti hingga kini mereka akan melabeli AHY sebagai produk politik dinasti. Karena pada kenyataannya, saat Pilkada 2017 AHY kerap mendapat serangan dengan isu itu.
"AHY ditunjuk sebagai Cagub kalau gak karena politik dinasti dan anak SBY apa coba? Karir militer? Mantan Jenderal di PD banyak, karena pinter? Di PD banyak," risak Guntur Romli menyindir yang dinilainya bisa mencalonkan diri sebagai Gubernur karena dia anak SBY.
Ya, memang kelompok pendukung Ahok sering tidak berkaca pada diri sendiri, menepuk air di dulang terpercik muka sendiri, seperti yang terjadi pada Pilkada Solo 2020 mendatang.
Kembali pada politik identitas yang disematkan oleh para pendukung Ahok pada Anies. Ini merupakan ekspresi kegagalan mereka karena tidak bisa merangkul kaum muslim, suara Islam. Karena komunikasi yang amat buruk dan merasa di atas angin dengan posisi incumbent, lantas merasa tidak perlu melakukan pendekatan.
Pendukung Ahok sudah merasa cukup dengan antusiasme semu yang dibangun dari dukungan yang sebelumnya digalang oleh "Teman Ahok". Belakangan penggalan suara oleh Teman Ahok juga blunder karena ditengarai ada aliran dana tidak halal. Seperti dilaporkan oleh tempo pada 17 Juni 2016 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut dugaan aliran uang untuk Teman Ahok.
Politikus PDI Perjuangan Junimart Girsang menyebutkan uang tersebut berasal dari pengembang reklamasi Teluk Jakarta yang diberikan melalui Sunny Tanuwidjaja, anggota staf khusus Gubernur Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat itu, dan Cyrus Networt, lembaga survei.
Junimart Girsang tidak menjelaskan lebih spesifik pengembang yang ditengarai mengalirkan uang kepada organisasi pendukung Ahok itu, seperti yang disebutkannya itu. Ada sepuluh perusahaan yang sedang membangun pulau di Teluk Jakarta.
“Ini kasus besar, kami sedang menelusuri siapa yang terlibat," kata Ketua KPK Agus Rahardjo, Kamis, 16 Juni 2016.
Jadi pantas saja para pendukung Ahok tidak mendapat simpati dari suara Islam. Karena mereka sangat kentara punya hubungan dengan para pengembang elit reklamasi teluk Jakarta, dimana orang-orang menyebutnya sebagai reklamasi cukong. Hal ini tentunya semakin menjauhkan Ahok dari dari suara dan dan dukungan umat muslim Jakarta.
Sementara itu pasangan Anies-Sandi yang sedari awal kurang diperhitungkan justru berhasil melakukan pendekatan pada kaum muslimin. Bahkan tanpa banyak mereka bergerak mendekati, simpati umat Islam pada sosok Anies-Sandi adalah sangat masuk akal dan representatif.
Di mana saja di dunia suara mayoritas memiliki kemungkinan menang lebih besar, bahkan di Amerika Serikat sekalipun sebagai kiblat demokrasi dunia. Orang akan cenderung memilih yang memiliki kesamaan. Seperti juga Ahok banyak dipilih di wilayah dengan kantong suara yang merepresentasikannya di wilayah Utara dan Barat terutama warga keturunan atau pun yang beragama Nasrani. Tidak ada yang salah dengan hal ini. Di negara demokrasi Indonesia ini setiap satu kepala memiliki satu suara.
Mirisnya sampai saat ini justru pendukung Ahok seperti terus mengipas bara dalam sekam. Dengan melabeli Anies sebagai Arab dan mendiskreditkan dengan sebutan "WAN Abud", "WAN Aibon", bahkan yang lebih parah "Wan ***but*. Olok-olok itu sangat mudah ditemukan di berbagai platform media sosial hingga saat ini. Padahal jika ada yang menyebut Ahok China mereka akan marah, super sensitif, dan menganggap itu rasis. Sangat lucu!
Jadi siapa yang memainkan politik identitas? Ya jika kebetulan anda pendukung Ahok pasti bisa menghitung berapa kali dalam hati, jika melihat gambar Anies Baswedan, apa yang terlontar di hati anda? Olok-olok kah? Maka berhenti menyebut Anies dan para pendukungnya memainkan politik identitas.
Karena kemenangan Anies dan popularitasnya di Indonesia hingga saat ini mengalir sesuai dengan alur demokratis dan natural, tanpa agenda setting dan permainan kotor, seperti yang dilakukan para cukong dan yang mereka dukung.
Oleh Albert Kristanto, Pengamat Politik