Dialog Ilmiah KH Luthfi Bashori Dengan Ahmad Khozinudin Soal Khilafah
Kamis, 27 Agustus 2020
Faktakini.net
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=3340411959360822&id=100001761517615
*SAYA TIDAK SEPAKAT DENGAN PEMAHAMAN KHILAFAH VERSI HTI*
Luthfi Bashori
Dulu, saat awal pulang dari Makkah, th 1991-an saya sering didatangi oleh para aktifis HTI, dan diajak diskusi terkait sistem Khilafah dalam sebuah pemerintahan.
Setelah mendapat banyak keterangan dari para aktifis HTI lewat diskusi demi diskusi, baik di daerah maupun di pusat, terkait permasalahan khilafah, saya merasa ada beberapa pemahaman yang saya pribadi kurang cocok dengan pemahaman mereka.
Antara lain, dalam pemahaman HTI, dengan adanya kewajiban menerapkan sistem Khilafah 'Aamah di zaman sekarang, maka BATAL-lah semua sistem pemerintahan yang ada di negara-negara di seluruh dunia, termasuk negara-negara Islam yang tidak berkhilafah 'aamah, (maksudnya, seluruh dunia harus dalam pimpinan oleh seorang Khalifah).
Sedangkan sepaham saya, bahwa semua sistem yang berlaku di negara-negara Islam, dan berlaku di seluruh dunia saat ini, hukumnya tetap SAH sekalipun tidak menggunakan sistem khilafah 'aamah.
Tentunya, saya tidak pernah inkar bahwa sistem Khilafah 'Aamah itu pernah diterapkan di kalangan umat Islam, khususnya di jaman Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, Khalifah Utsman, Khalifah Ali dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, bahkan sistem inilah yang pernah membawa umat Islam ke era keemasannya.
Jadi, menurut pemahaman saya, setiap negara yang ada di jaman sekarang itu boleh memilih sistem, entah itu sistem khilafah, sistem kerajaan, sistem republik, sistem parlementer, sistem kesultanan atau perdana menteri, dan sebagainya.
Karena sejak Sayyidina Hasan bin Ali bin Abi Thalib RA, menyerahkan tampuk pimpinan kepada Shahabat Mu'awiyah, lantas kepemimpinan Shahabat Mu'awiyah diwariskan kepada sang putra, yaitu Yazin bin Mu'awiyah, maka sistem Khilafah 'Aamah sudah tidak berlaku lagi dalam dunia Islam. Yang ada dan berlaku sejak itu adalah sistem Feodalisme.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, bahwa sistem Feodalisme kesultanan saat itu diterapkan secara bergantian dari satu Bani ke Bani yang lain.
Para ulama yang hidup di jaman pemerintahan Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Fathimiyah dan masih banyak dinasti-dinasti yang lainnya, ternyata tidak terdengar mereka mengeluarkan fatwa haramnya sistem Feodalisme dalam tubuh Islam.
Karena itu menurut saya, bahwa sistem-sistem yang tersebut di atas ini, bisa saja diistilahkan sebagai SISTEM KHILAFAH DAULIYAH (satu negara dipimpin oleh seorang penguasa), dan ini SAH serta tidak melanggar hukum Syariat.
Maksudnya, di jaman sekarang ini, tidak harus satu dunia dipimpin oleh seorang Khalifah, kecuali jika sudah datang Imam Mahdi Almuntadhar.
Demikian juga, bahwa seluruh produk hukum dari berbagai bentuk negara yang telah dipilih oleh pemerintah dan masyarakatnya, maka hukumnya tetap SAH.
Misalnya di Indonesia yang telah memilih menggunakan sistem republik, maka produk KTP, KK, Sertifikat Tanah/Rumah, BPKB, STNK, SIM, serta surat-surat penting kenegaraan lainnya tetap hukumnya SAH.
Namun yang Wajib bagi para pemimpin di negara-negara Islam atau negara-negara berpenghuni mayoritas umat Islam itu adalah, MEMBERLAKUKAN SYARIAT ISLAM secara resmi dan konstitusional dalam undang-undang hukum kenegaraan yang dipimpinnya.
Alangkah aneh dan janggal, jika ada orang yang secara serius menghukumi sistem pemerintahan yang tidak menerapkan sistem Khilafah seperti Indonesia saat ini, sebagai negara yang sistemnya BATAL, karena dianggap mengadopsi sistem kufur, namun masih mengurus KTP, SIM, BPKB, Sertifikat Tanah/Rumah, dan sebagainya dari pemerintah Indonesia.
Jadi menurut paham saya pribadi, sistem apapun yang diterapkan dalam satu negara, asalkan pemimpinnya mau menerapkan seluruh hukum Syariat dalam mengatur pemerintahannya secara legal formal, maka pemerintahannya itu tetap SAH dan tidak melanggar aturan Syariat.
Adapun untuk sistem Khilafah yang akan datang di akhir jaman, sesuai yang dijanjikan dalam hadits Nabi (SAW), maka tinggal menunggu munculnya Imam Mahdi Almuntadhar.
Maka beliaulah yang kelak akan memimpin seluruh umat Islam dalam satu Khilafah 'Aamah atau seluruh dunia dipimpin oleh seorang Khalifah secara resmi, yaitu Imam Mahdi Almuntadhar.
_________________
(Catatan khusus: Saya juga tidak membenarkan adanya persekusi fisik dari satu ormas terhadap ormas lainnya, karena Indonesia adalah negara hukum, maka segala perselisihan hendaklah disikapi secara imliah atau diselesaikan lewat jalur hukum).
...
*TABAYUN ATAS PANDANGAN DAN PEMIKIRAN LUTHFI BASHORI*
_[Tanggapan Atas Artikel Berjudul : SAYA TIDAK SEPAKAT DENGAN PEMAHAMAN KHILAFAH VERSI HTI]_
Oleh : Ahmad Khozinudin*
Sastrawan Politik
Pada Rabu (26/8) di jejaring Facebook saya mendapat artikel berjudul : SAYA TIDAK SEPAKAT DENGAN PEMAHAMAN KHILAFAH VERSI HTI, yang ditulis oleh Luthfi Bashori. Dalam tulisan delapan belas paragraf ini, artikel memaparkan ketidaksetujuan penulisnya atas pemikiran Khilafah yang diusung HTI.
Ketidaksetujuan Luthfi Bashori, jika diringkas substansinya ada dalam dua pokok perkara :
*Pertama,* ketidaksepakatan penulis (Luthfi Bashori) atas pemahaman kekhilafahan harus satu, tidak boleh berbilang, dan batalnya sistem pemerintahan selain Khilafah.
*Kedua,* tentang absahnya sistem pemerintahan diluar Khilafah asalkan pemimpinnya mau menerapkan seluruh hukum Syariat dalam mengatur pemerintahannya secara legal formal.
Pendeknya, sistem pemerintahan apapun tidak masalah asalkan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Untuk poin pertama, tentang apakah boleh sistem pemerintahan Islam atau Khilafah itu berbilang, atau apakah boleh ada Khalifah kedua setelah dibaiat Khalifah pertama, saya kira menarik untuk didalami hadits berikut ini :
إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ ، فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا
“Apabila telah terjadi bai’at terhadap dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Muslim)
Peristiwa Saqifah Bani Saidah pun menunjukkan bahwa Umar bin Khathab menolak usulan Al-Habbab bin Al-Mundzir bin Al-Jamuh agar kepemimpinan kaum muslimin dipecah menjadi dua.
Berkata kalangan Anshar,
مِنَّا أَمِيرٌ ، وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ
“Dari kami seorang pemimpin, dan dari kalian pun ada satu orang pemimpin.”
Umar menanggapinya dengan mengatakan,
سِيفَانِ فِي غِمْدٍ وَاحِدٍ ، إِذًا لا يَصْلُحَانِ
“Dua pedang dalam satu sarung, jika seperti itu tentu keduanya tidak akan membawa kebaikan.”[1]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
وَاتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوز أَنْ يُعْقَد لِخَلِيفَتَيْنِ فِي عَصْر وَاحِد سَوَاء اِتَّسَعَتْ دَار الْإِسْلَام أَمْ لَا
“Para ulama bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah di satu masa, baik wilayah kekhilafahan luas maupun tidak.” (Syarh An-Nawawi ‘ala Muslim, vol 12 hal 232)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
فَأَمَّا نَصْبُ إِمَامَيْنِ فِي الْأَرْضِ أَوْ أَكْثَرَ فَلَا يَجُوزُ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: “مَنْ جَاءَكُمْ وَأَمْرُكُمْ جَمِيعٌ يُرِيدُ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَكُمْ فَاقْتُلُوهُ كَائِنًا مَنْ كَانَ” . وَهَذَا قَوْلُ الْجُمْهُورِ، وَقَدْ حَكَى الْإِجْمَاعَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ، مِنْهُمْ إِمَامُ الْحَرَمَيْنِ
“Dan sedangkan pengangkatan dua imam atau lebih di muka bumi, maka hal itu tidak boleh, berdasarkan Sabda Nabi saw: ‘Barang siapa yang mendatangi kalian sedangkan urusan kalian terkumpul (pada satu khalifah), dia ingin memecahbelah kalian maka bunuhlah dia seketika siapapun dia.’ Yang demikian ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama, dan yang mengatakan bahwa pendapat tersebut merupakan ijma’ tidak hanya satu orang, diantaranya adalah Imam Haramain (Al-Juwaini).” (Tafsir Ibn Katsir, vol 1 hlm 222)
Dan masih banyak Qoul ulama mengenai hal ini, yang pada pokoknya berkesimpulan Khilafah harus satu, khalifah tidak boleh berbilang, dan haramnya menegakan Kekuasaan lain diatas Kekuasaan Khilafah.
Adapun untuk poin kedua tentang praduga klaim keabsahan sistem pemerintahan apapun bentuknya asalkan menerapkan syariah Islam secara kaffah, titik kritiknya adalah sebagai berikut :
*Pertama,* selain sistem pemerintahan Khilafah mustahil dapat menerapkan hukum Islam secara kaffah. Sebab, setiap sistem pemerintahan adalah thariqah (methode) untuk mengoperasionalkan Fiqroh (pemikiran) tertentu.
Kerajaan, tak mungkin menerapkan syariah Islam secara kaffah, karena kerajaan didesain untuk menjalankan titah Raja. Dalam sistem kerajaan, sabda Raja adalah UU Negara.
Karena itu, tidak mungkin didapati suatu sistem pemerintahan kerajaan yang menerapkan hukum Islam secara kaffah. Kerajaan Saudi misalnya, meskipun sebagian syariat Islam diterapkan namun syariat Islam untuk mengisi jabatan kekuasaan tidak dapat dijalankan.
Dalam Islam, jabatan Kekuasaan itu dilakukan dengan akad bai'at, bir Ridlo' wa ikhtiar (dengan kerelaan dan tanpa paksaan). Sementara, didalam sistem kerajaan peralihan kekuasaan dilakukan dengan sistem Putra mahkota. Sistem ini, menurut imam Ahmad bin Hambal menyebutnya sebagai sunahnya Heraklius bukan sunahnya Nabi SAW.
Republik demokrasi adalah sistem pemerintahan untuk menerapkan hukum rakyat yang diproduksi oleh wakil rakyat, bukan untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. Methode pengisian jabatan kekuasaan juga lewat pemilu lima atau empat tahun sekali, bukan dengan akad bai'at. Karenanya, sistem Republik demokrasi secara sistem memang bukan didesain untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah.
*Kedua,* justru menarik apa yang diungkap oleh penulis (Luthfi Bashori pada paragraf akhir, paragraf 16). Penulis menulis :
_"Jadi menurut paham saya pribadi, sistem apapun yang diterapkan dalam satu negara, asalkan pemimpinnya mau menerapkan seluruh hukum Syariat dalam mengatur pemerintahannya secara legal formal, maka pemerintahannya itu tetap SAH dan tidak melanggar aturan Syariat."_
Konklusi sebaliknya (Mafhum Mukholafah) dari pernyataan ini adalah bahwa jika sistem pemerintahan apapun TIDAK MAU menerapkan seluruh hukum Syariat dalam mengatur pemerintahannya secara legal formal, maka pemerintahannya itu TIDAK SAH dan MELANGGAR aturan Syariat.
Pada faktanya, seluruh negeri Islam saat ini baik yang berbentuk Kerajaan, Keemiran, Republik, semuanya tidak menerapkan Syariat Islam secara kaffah. Dengan demikian, adalah tepat jika menghukumi seluruh sistem pemerintahan selain Khilafah tidak SAH menurut pandangan syariah.
Terakhir, terkait Imam Mahdi yang disebut sebagai Al Mahdi Almuntadhar, adalah salah satu dari Khalifah kaum muslimin di periode kekhilafahan yang kedua sebagaimana dijanjikan, setelah berlalu beberapa khalifah sebelumnya. Sebelum Al Mahdi datang, kekhilafahan sudah ada dan sistem pemerintahannya berbentuk kesatuan, dengan khalifah tunggal dan tidak berbilang.
Saya kira ini pandangan saya, untuk menanggapi pandangan Luthfi Bashori. Terlepas ada perbedaan pandangan, sesungguhnya semua perbedaan dalam aspek rincian tidak menggugurkan kewajiban kaum muslimin untuk bersatu dan menegakkan hukum Allah SWT dimuka Bumi. [].
_________________________________
*Penulis adalah Anggota Hizbut Tahrir. Semua tulisan dalam artikel ini adalah pandangan pribadi, tidak dan bukan merupakan pikiran, pandangan dan pendapat resmi Hizbut Tahrir.