Dr Abdul Chair: Menggugat Pengasingan Politik Imam Besar Habib Rizieq Shihab



Senin, 24 Agustus 2020

Faktakini.net

*MENGGUGAT PENGASINGAN POLITIK IMAM BESAR HRS*

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur HRS Center)

Salah satu cakupan kepentingan hukum individu adalah Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 28I ayat 4 UUD 1945 menentukan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Dalam perspektif HAM kedudukan warga negara sebagai pemegang hak (right holder), sedangkan negara sebagai pemangku kewajiban dan tanggungjawab (duty holder). Negara wajib melindungi setiap warga negara baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penjaminan tersebut terkait dengan prinsip yuridiksi personal, yang diakui secara universal.

Menurut J.G. Starke, salah satu arti penting status kewarganegaraan (nationality) seseorang menurut hukum internasional adalah pemberian hak perlindungan diplomatik di luar negeri. Sejalan dengan hal ini, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, pada Pasal 19 huruf b menyebutkan: “Perwakilan Republik Indonesia berkewajiban memberikan pengayoman, perlindungan, dan bantuan hukum bagi warga negara dan badan hukum Indonesia di luar negeri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional serta hukum dan kebiasaan internasional.”

Frasa “perlindungan dan bantuan hukum” merupakan kewajiban dan tanggungjawab (obligation and responsibility) pemerintah. Dengan demikian, secara a contrario kewajiban itu bukan pada negara lain dan bukan pula dibebankan kepada warga negara.

Pada kasus pencekalan (baca: larangan keluar) Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS) sampai dengan saat ini adalah suatu ketidakwajaran. Pencekalan berlansung sedemikian lama, terhitung mulai tanggal 15 Juni 2018 (cekal pertama) dan tanggal 7 Desember 2018 (cekal kedua). Fakta menunjukkan baik Dubes RI di Riyadh maupun KJRI di Jeddah, tidak pernah memberikan perlindungan dan pendampingan pembantuan sebagaimana mestinya. Padahal yang bersangkutan telah menyampaikan laporan atas larangan keluar meninggalkan wilayah Saudi Arabia. Jadi tidak benar adanya pernyataan bahwa IB HRS tidak pernah melaporkan pada perwakilan RI di Saudi Arabia.

Sebagai warga negara asing, IB HRS tidak pernah melakukan suatu pelanggaran hukum apa pun di Saudi Arabia, termasuk perihal overstay. Terjadinya overstay adalah akibat pencegahan yang direkayasa semikian rupa. Kita ketahui, bahwa standar sanksi hukuman overstay tentunya dilakukan tindakan pengusiran (deportasi) dengan sebelumnya dimasukkan dalam rumah detensi. Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia (KSA) tidak pernah melakukan itu. Menjadi jelas, bahwa IB HRS bukan berstatus ‘deteni’ yang harus dideportasi.

Larangan keluar tersebut merupakan kerja ‘operasi senyap’ oleh ‘tangan-tangan gelap’ yang didahului ‘perencanaan jahat’ (dolus premeditatus), dilakukan secara ‘terstruktur’ dan ‘sistematis’. Sejatinya pencegahan tersebut merupakan tindakan ‘pengasingan politik’. Pengasingan tersebut bermula dari penolakan IB HRS untuk memberikan dukungan politik kepada Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019 yang lalu. Diketahui penawaran datang dari pihak-pihak tertentu sebagai ‘Utusan Jakarta’ yang menjanjikan pencabutan larangan keluar sepanjang dukungan tersebut penuhi. IB HRS diposisikan sebagai ‘lawan politik’, sebab dirinya mempertahankan ‘keyakinan politik’. Dalam perspektif HAM, perihal keyakinan politik dilindungi oleh konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan dan diakui pula dalam hukum internasional. Oleh karena itu, telah terjadi pelanggaran HAM berupa pencabutan atau setidak-tidaknya pengurangan atau pembatasan atas Hak-Hak Sipil IB HRS dalam bentuk pengasingan politik. Ditinjau dari aspek hukum, pemerintah telah melakukan kesengajaan 'pembiaran' (omission). IB HRS tidak memperoleh jaminan perlindungan atas Hak-Hak Sipilnya untuk kembali ke Tanah Air.

Dalam perspektif hukum internasional, setiap negara wajib memberikan perlindungan, perlakuan yang baik terhadap warga negara asing di negaranya, tanpa ada pengurangan atau pembatasan sepanjang tidak adanya perbuatan yang melawan hukum. Menurut Garcia Amandor mengenai tanggungjawab negara khususnya berkenaan dengan perlakuan terhadap orang asing, sebagaimana laporannya pada Komisi Hukum Internasional tahun 1957, dikatakan bahwa: ”Orang asing menikmati hak dan jaminan yang sama dengan warga negara tempat ia tinggal, tidak kurang dari jaminan untuk menikmati hak-hak fundamental manusia yang telah ditetapkan dan diakui oleh hukum internasional. Apabila hak-hak tersebut dilanggar, akan melahirkan tanggungjawab negara terhadap pelaku. Dalam hal ini negara asal dapat melakukan perlindungan diplomatik.”

Ketika suatu negara melakukan tindakan yang merugikan kepentingan warga negara asing, maka negara (in casu pemerintah Indonesia) dapat menuntut ganti rugi atau pemulihan terhadap terjadinya tindakan yang merugikan itu kepada negara tersebut. Tanggungjawab ini didasarkan doktrin hukum internasional “Nationality of Claims”. Doktrin tanggungjawab negara ini menunjuk pada 2 (dua) pilar kembar, yakni: pertama, hubungan suatu negara dengan tindakan-tindakan yang melanggar hukum atau kelalaian yang dilakukan pejabat-pejabatnya. Kedua, kemampuan negara untuk mengklaim atas nama warga negaranya. Oleh karenanya, suatu negara wajib melindungi warga negaranya di luar negeri dan menuntut negara lain apabila negara tersebut memperlakukan warga negaranya dengan tidak baik. Dalam hal ini, apabila suatu negara mengklaim negara lain, maka klaim menjadi hak negara tersebut yang mengatasnamakan warga negaranya.

Perlakuan tidak baik salah satunya adalah melarang kebebasan warga negara asing untuk keluar meninggalkan wilayah negara tersebut. Perlakuan demikian adalah pelanggaran HAM. Dalam kaitannya dengan kasus pencekalan IB HRS yang berujung pengasingan politik, dipertanyakan mengapa pemerintah Indonesia tidak melakukan klaim tersebut kepada KSA? jika memang pencekalan itu tidak ada kaitannya dengan Pemerintah Indonesia. Tindakan pencekalan tanpa sebab tertentu (tanpa alas hak) tergolong tindakan yang melanggar HAM dan KSA menjadi pihak yang harus bertanggungjawab. Adapun alasan ‘keamanan’ (security) juga patut dipertanyakan, IB HRS bukan warga negara Saudi Arabia, ada kepentingan apa pihak intelejen KSA melarangnya keluar dari wilayah Saudi Arabia? Bukankah yang berwenang dan bertanggungjawab terkait penjaminan keselamatan setiap warga negara - yang berada dimana pun - adalah negara asalnya? Jika pun memang ada ancaman keselamatan, maka seharusnya pihak otoritas KSA yang menyampaikan kepada pemerintah Indonesia melalui Duta Besar di Riyadh dan/atau KJRI di Jeddah, untuk kemudian pemerintah Indonesia melakukan upaya pemulangan dan sekaligus pengamanannya. Hal ini semakin memperjelas adanya ketidakwajaran status larangan keluar tersebut.

Penting untuk disimak pernyataan eks Dubes Saudi untuk Indonesia Syeikh Usamah Asy-Syu'aibi yang mengatakan bahwa KSA memberikan perhatian atas keamanan terhadap IB HRS. Pada prinsipnya IB HRS bebas untuk pergi kemana pun, termasuk pulang ke Indonesia, kecuali di pihak lain tidak menginginkannya kembali. Oleh karena itu, pihak KSA memberikan perhatian kepadanya. Selanjutnya dikatakan: “…bila dia ingin kembali ke Jakarta, dia bebas untuk pergi, tapi anda harus tanya kepada Pemerintah anda. Kami tidak pernah menghalanginya jika dia ingin pergi kemana pun, kecuali apabila ada sesuatu yang berakibat pada keselamatannya atau nyawanya! Dia dapat pergi kemana pun, tapi anda sebagai bangsa Indonesia mesti mengetahui Negara anda dapat menerimanya atau tidak!" (Wawancara dengan TV One, September 2018).

Kalimat, “kecuali apabila ada sesuatu yang berakibat pada keselamatannya atau nyawanya”, menandakan adanya makna simbolik terkait dengan pengasingan politik. Terlebih lagi kalimat terakhir, semakin menegaskan posisi pengasingan politik dimaksud. Lebih lanjut, Dubes Saudi Arabia Esam Althagafi dalam suatu kesempatan mengatakan ada negosiasi antar-otoritas tinggi, antara KSA dan Indonesia tekait dengan pencekalan IB HRS. Pernyatan demikian, secara jelas menunjukkan adanya keterhubungan dalam proses penyelesaian pencekalan tersebut. Jika memang pencekalan terhadap IB-HRS adalah murni dari otoritas KSA semata, maka menjadi pertanyaan serius, mengapa harus ada ‘negosiasi’ antara pejabat tinggi KSA dengan pejabat tinggi pemerintah Indonesia? Pejabat tinggi pemerintah Indonesia dengan sendirinya menjadi subjek hukum dalam negosiasi yang bersifat Government to Government (G to G). Tidaklah mungkin penyelesaian pencekalan dengan melibatkan pejabat tinggi pemerintah Indonesia, jika tidak ada relevansinya. Relevansi dimaksud terkait adanya korelasi pertanggungjawaban dalam proses pemulangan IB HRS. Pemerintah KSA tentu tidak ingin dituduh telah melakukan pelanggaran HAM di mata dunia Internasional. Di sini terlihat negosiasi mengarah pada ‘perjumpaan’ pertanggungjawaban pemulangan IB HRS. Fakta ini sekaligus juga membantah pernyataan Menko Polhukam yang mengatakan perihal pencekalan tidak ada urusannya dengan pemerintah Indonesia dan oleh karenanya IB-HRS sendiri yang harus mengurus pencekalan pada otoritas setempat.

Dari uraian di atas, persoalan pencekalan yang berujung pengasingan politik sudah terjawab, “fakta telah berbicara sendiri” (res ipsa loquitur). Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera menyatakan sikapnya melalui saluran diplomatik meminta status pencegahan keluar IB HRS dicabut oleh otoritas KSA. Selain itu, menjamin kepulangan IB HRS dengan selamat sampai tiba di Tanah Air yang sangat dicintainya. Kecintaannya pada Tanah Air telah banyak ia buktikan secara nyata dalam berbagai kesempatan.

Jakarta, 24 Agustus 2020.

🙏🙏🙏