Jendral Nasution Ungkap Pengkhianatan Milisi Pao An Tui
Rabu, 19 Agustus 2020
Faktakini.net, Jakarta - Kekejaman Milisi Bersenjata Laskar Tionghoa Pao An Tui terhadap rakyat Indonesia, tak bisa disangkal oleh siapapun.
Sejarah telah mencatat, Setiap desa di Sulawesi Selatan tidak luput dari operasi militer yang dijalankan Raymond Westerling, sehingga korban-korban tidak berdosa berjatuhan dari berbagai desa.
Yang lebih mengerikan, Westerling tidak hanya memberikan komando tetapi juga ikut menembaki orang-orang yang dianggapnya sebagai teroris, penjahat, dan pembunuh.
Hingga dalam kurun waktu setahun pendudukan pasukan KNIL di wilayah Sulawesi Selatan, tercatat 40.000 korban jiwa tewas secara sia-sia.
Puncaknya terjadi pada tanggal 11 Desember 1947, oleh karena itulah setiap tanggal 11 Desember rakyat Sulawesi selalu mengenang peristiwa kekejaman Westerling dengan mengibarkan bendera setengah tiang di rumah-rumah.
Selain itu masih banyak lagi kekejaman Westerling lainnya, sehingga kemudian ia diburu oleh para pejuang Indonesia. Namun Westerling akhirnya berhasil kabur.
Namun ternyata kaburnya Westerling ke Singapura setelah menebar teror di Bandung dan berniat membunuh Menhan (ketika itu) Hamengku Buwono IX dibantu oleh Milisi Cina Pao An Tui.
Dalam bukunya “Memenuhi Panggilan Tugas,” Jend. AH. Nasution mengisahkan kronologi kaburnya Westerling sang Teroris.
Ternyata kaburnya Westerling dengan mudah ke Singapura karena dibantu oleh milisi Cina Poh An Tui, yang menjemput dengan Pesawat CATALINA di pantai Sampur, Jakarta Utara.
Menurut salah seorang putera pejuang kemerdekaan RI, kekejaman Poh An Tui sempat disinggung dalam persidangan Konstituante di tahun 1950-an. Ia menulis salinan penggalan pidato seorang pejuang yang menjadi anggota Konstituante, pada tahun 1950.
Ini penggalan pidato yang disampaikan Mado Miharna (organisasi Persatuan Rakyat Desa) di hadapan Sidang Pleno Konstituante tahun 1959, (kutipan dalam ejaan lama)
“Saudara Ketua dan Madjelis Konstituante jang terhormat, dalam rangka pemandangan umum; Saudara Ketua, bagi seluruh pedjuang bangsa Indonesia jang mengikuti dan mengalami pahit-getirnja perdjuangan sedjak Proklamasi 1945, lebih2 tentunja bagi perintis2 kemerdekaan bangsa, melihat keadaan dan penderitaan masjarakat dewasa ini, pasti akan sedih, sedih karena ini bukanlah tudjuan kita, bukan masjarakat sematjam sekarang jang kita idam-idamkan.
Seluruh lapisan masjarakat telah berdjuang tetapi baru beberapa gelintir orang-orang sadja jang senang. Beribu-ribu pedjuang kita dibunuh, tetapi golongan pembunuh jang menikmati keuntungan. Para pedjuang kita ditangkap dan disiksa, tetapi hasilnja golongan jang menangkapi dan menjiksa para pedjuang masih berkuasa. Poh An Tui dari golongan Tionghoa jang membantu aktif tentara Belanda jang telah membunuh, membakar, menangkapi anak2 buah kami, sampai sekarang masih bergelandangan, bukan sadja masih bergelandangan, tetapi berkuasa dan menguasai segala sektor penghidupan rakjat. Golongan Po An Tui jang telah dengan kedjamnja membunuh dan membakar para pedjuang kemerdekaan termasuk anak-anak buah kami, karena mereka tidak mngungsi dan terus berada di kota bersama Belanda, mendadak menjadi kaja. Sesudah Belanda tidak ada mereka menduduki bekas tempat Belanda. Ini bukan bajangan, bukan impian, tetapi kenjataan, lihatlah sadja di Bandung, Djakarta” … (Pidato ini yang disampaikan oleh Mado Miharna –organisasi Persatuan Rakyat Desa– di hadapan Sidang Pleno Konstituante, waktu itu (1959).[]
Foto: Jendral (Purn) AH Nasution
Sumber: citrust.id