Menjawab Pertanyaan: Turki Utsmaniyyah (Ottoman) itu Khilafah atau cuma Daulah biasa?




Sabtu, 29 Agustus 2020

Faktakini.net

Sahabat Erdogan

Turki Utsmaniyyah (Ottoman) itu Khilafah atau cuma Daulah biasa ?

Menjawab sebagian orang yang tidak mengakui Turki Utsmani sebagai perwakilan Ummat Islam diatas bumi pada masanya kami berikan penjelasan panjang sebagai berikut ini.

Faktor-faktor pengakuan Turki Utsmani sebagai Khalifah itu sendiri sebenarnya sudah terpenuhi. diantaranya
1. Punya Wilayah Luas.
2. Pengakuan dari masyarakat luas (Baiat).
3. Menerapkan Syariat Islam.

Hal ini didasarkan penjelasan Ulama Islam Al-’Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam Kitab Nizham Hukmi fil Islam menyatakan tentang wilayah yang berhasil menegakkan Khilafah harus memenuhi 4 syarat:
Pertama, kekuasaan wilayah tersebut bersifat independen, hanya bersandar kepada kaum Muslim, bukan kepada negara Kafir, atau di bawah cengkraman kaum Kafir.
Kedua, keamanan kaum Muslim di wilayah itu di tangan Islam, bukan keamanan Kufur, dimana perlindungan terhadap ancaman dari dalam maupun luar, merupakan perlindungan Islam bersumber dari kekuatan kaum Muslim sebagai kekuatan Islam murni.
Ketiga, memulai seketika dengan menerapkan Islam secara total, revolusioner dan menyeluruh, serta siap mengemban dakwah Islam.
Keempat, Khalifah yang dibai’at harus memenuhi syarat pengangkatan Khilafah (Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu), sekalipun belum memenuhi syarat keutamaan. Sebab, yang menjadi patokan adalah syarat in’iqad (pengangkatan).

Secara detail Turki Utsmani sendiri sudah memenuhi syarat Ke-Khalifahan pada masa kejayaannya.
1. Punya Wilayah Luas. (Wilayah Utsmaniyyah membentang dari Eropa Timur ke Yaman, dari Iraq sampai ke Al Jazair).
2. Pengakuan dari masyarakat luas (Baiat). Salah satunya pengakuan Baiat dari Sharif Makkah (Amir/pemimpin) yang membawahi Al Haramain Hijaz termasuk kota suci Makkah dan Madinah di Hijaz Arabia yang membaiat secara resmi Sultan Selim sebagai Khalifah Ummat islam pada tanggal 29 Agustus 1517 dan menyerahkan kedua kota suci Makkah dan Madinah secara damai
3. Menerapkan Syariat Islam. Hukum Syariat seperti Huddud diterapkan dalam dunia Turki Utsmani sampai sekitar abad 19.

Tambahan lagi Sultan Selim telah mendapat pengakuan baiat pada tahun 1517 dari Al Mutawakil III Khalifah terakhir bangsa Arab dan Bani Quraisyh dari Dinasty Abbasiyyah yang lemah setelah jatuhnya kekuasaan di tangan bangsa Mongol lebih dari 3 abad sebelumnya dan saat itu ditampung di Mesir oleh KeSultanan Mamluk. Sang Khalifah terakhir Abbasiyyah menyerahkan Pedang dan mantel Nabi Muhammad saw kepada Sultan Selim dari Turki Ottoman yang saat itu datang ke Mesir menaklukan Dinasty Mamluk (Dinasti bangsa Circassia di Mesir) dengan alasan Mamluk terlalu lemah untuk menangkal Portugis yang agresif dengan penjelajahannya di samudera Hindia dan mengancam Semenanjung Arab dengan kota-kota sucinya. Al Mutawakil III dan keluarganya kemudian tinggal di Istanbul Turki.

Pertanyaannya adalah apakah pantas kemudian Ummat Islam tidak mengakui Khalifah dari Ummat islam yang terkuat saat itu meskipun bukan dari bangsa Arab ?. Padahal hukum syariah telah menetapkan bahwa mengangkat imam (khalifah) itu wajib bagi kaum Muslim. Mayoritas Sunni menganggap penunjukan khalifah adalah wajib dalam agama karena menjadi bagian dari perintah agama. Banyak cendekiawan sunni yang mengamini pendapat ini, seperti Ibnu Khaldun, Imam Mawardi, Imam Ahmad bin Hambal, dan Ibnu Taimiyyah.

Apakah kemudian orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu kemudian meyakini "Tidak ada lagi Ke-Khilafahan Islam" setelah era Khulafaurasyidin atau saat Baghdad Jatuh ke tangan Mongol atau saat Turki menyandang titel KeKhalifahan ? dan menganggap berabad-abad lamanya kosong ? padahal saat itu masih ada kekuatan Ummat islam yang dipegang oleh Turki Utsmani dan saat itu tidak ada masyarakat Muslim yang memprotes gelar KeKhalifahan yang disandang Turki Utsmani. Pendapat mereka bisa dibilang bertentangan dengan Syariat Islam.

Menjawab pertanyaan lain Bagaimana dengan hadits mengenai syarat hanya Bani Quraisy yang absah menjadi Khalifah ? seperti Hadits yang berbunyi “Urusan (khilafah) ini senantiasa berada di tangan Quraisy selama masih tersisa dari mereka dua orang.” (HR. Bukhari, juz 6, hal. 389) dan hadits lain.
Terjadi perbedaan pendapat diantara Ulama apakah dia termasuk syarat keabsahan atau hanya syarat keutamaan. Jumhur ulama berpendapat bahwa Quraisy adalah syarat keabsahan. Namun, hadis-hadis itu tidak menunjukkan bahwa selain orang Quraisy tidak boleh menduduki jabatan Khilafah. Hadis itu hanya menunjukkan bahwa orang Quraisy punya hak dalam hal itu, dari sisi bahwa orang Quraisy diprioritaskan karena keutamaannya.
Apalagi hadis-hadis itu datang dalam bentuk berita (khabar), dan tidak satu pun yang datang dalam bentuk perintah (amar). Bentuk berita, sekalipun memberi pengertian tuntutan (thalab), tidak dianggap sebagai tuntutan yang harus (thalab[an] jâzim[an]) selama tidak ada indikasi (qarînah) yang menunjukkan sebagai penguat (ta’kîd). Di sini jelas tidak ada yang menunjukkan atas hal itu sehingga ini menunjukkan sunnah saja, bukan wajib. Dengan demikian, syarat nasab Quraisy adalah syarat afdhaliyyah, bukan syarat in’iqâd (silahkan merujuk pada sumber Ulama Islam Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 304).

Sesungguhnya kata Quraisy adalah isim (kata benda), bukan sifat, yang dalam istilah ilmu ushûl disebut dengan laqab (panggilan). Mafhûm isim atau mafhûm laqab tidak diamalkan (dipakai) secara mutlak. Sebab, isim atau laqab tidak mempunyai mafhûm (konotasi). Oleh karena itu, ketentuan (nash) Quraisy bukan berarti tidak boleh bagi selain Quraisy. Tidak berarti bahwa urusan ini, yakni pemerintahan dan Khilafah, tidak dibenarkan berada di tangan orang selain Quraisy.

Penjelasan lain, Imam Ahmad mengeluarkan hadis dari Umar bin al-Khaththab ra. dengan sanad rijal-nya tsiqah (terpercaya) bahwa ia berkata, “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah masih hidup, maka aku akan menyerahkan Kekhilafahan kepada dirinya.”
Dalam hadits itu Umar ra. juga berkata, “Jika telah sampai ajalku dan Abu Ubadah telah mati, maka aku akan memberikan Kekhilafahan kepada Mu’adz bin Jabal.”
Padahal, Muadz bin Jabal tidak bernasab Quraisy. Umar bin al-Khaththab ra. mengucapkan hal itu dengan dihadiri oleh para Sahabat. Namun, tidak ada satu riwawat pun yang menyebutkan bahwa mereka berbeda pendapat dengan Umar tentang pendapatnya itu, dengan ber-hujjah mengenai kewajiban Khilafah di tangan Quraisy. Oleh karena apa yang dipahami oleh Umar itu tidak ditentang oleh seorang pun dari para Sahabat, hal itu menunjukkan bahwa syarat nasab Quraisy bukanlah syarat in’iqâd (Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 306).
Selengkapnya bisa baca di Link dakwah ini : https://duduoel.wordpress.com/2015/12/02/bab-1-syarat-syarat-sahnya-khilafah/#:~:text=Sah%20atau%20tidaknya%20khilafah%20sebenarnya,maka%20khilafah%20telah%20sah%20berdiri.

Penjelasan Mengenai Proses Pengangkatan Khailfah
Judul : Proses Penunjukan Khilafah yang berganti-ganti sepanjang sejarah Islam

Pada masa awal Islam, khalifah mulai dipilih sepeninggal Nabi Muhammad SAW pada 632 M. Alasannya, waktu itu mulai terjadi goncangan sosial di tengah masyarakat muslim. Seperti keengganan membayar zakat dan perseteruan antar sesama yang berpotensi menjadi perpecahan. Maka, sahabat-sahabat Nabi Muhammad mendiskusikan suksesi kepemimpinan umat Islam.

Suksesi dilakukan dengan tiga prosedur: penunjukan, konsultasi dan baiat. Dalam proses ini, empat nama dari sahabat paling awal masuk Islam dan dekat dengan Nabi Muhammad masuk ke dalam bursa, yakni Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.

Meninggalnya Khalifah Ali menandai era khalifah setelahnya yang berbentuk Daulah (kerajaan) dengan sistem penunjukan kekeluargaan bukan lagi secara Musyawarah, pencetusnya masih dari kalangan ummat Islam awal yakni Muawwiyah bin Abi Sufyan (661-750M) yang mendirikan Dinasti Umayyah. Era Dinasti Arab Umayyah ini menandai perubahan sistem pemilihan khalifah dalam ummat Islam. Karena memang dalam al-Qur’an dan hadits sebagai dua sumber utama hukum Islam tak mengatur secara pasti sistem atau mekanisme pemilihan pemimpin.

Sistem di era Dinasti Umayyah adalah kepemimpinan diwariskan kepada anak turun dan kerabat Muawwiyah. Sistem ini berlaku pada dinasti-dinasti kekhalifahan selanjutnya, seperti Dinasti Abbasiyah (750-1258M), Dinasti Fatimiyah (969-1171M), Dinasti Seljuk(1055-1157M), sampai Dinasti Turki Usmani(1281-1924M).

Istilah khalifah lebih dikenal dalam golongan Sunni. Sementara Syiah memakai istilah Imam atau Imamah. Menurut keyakinan Sunni, seorang khalifah bisa ditunjuk maupun dipilih langsung oleh masyarakat. Meskipun begitu, Sunni dan Syiah sama-sama memandang hanya satu orang yang pantas menjadi khalifah.

Pada 1517, Sultan Utsmani Selim I mengalihkan perhatiannya ke Kesultanan Mamluk yang wilayah kekuasaannya membentang dari Suriah utara sampai semenanjung Arab dengan beribu kota di Kairo. Sultan Selim yang saat itu berperang Syah di Persia sudah merasa jengkel mendapati kenyataan bahwa Mamluk telah mendukung Persia untuk melawannya.

Sultan Selim membenarkan rencananya itu dengan alasan Mamluk terlalu lemah untuk menangkal Portugis yang agresif yang mengancam Semenanjung Arab dengan kota-kota sucinya sebagai hasil dari kegiatan mereka di Samudera Hindia dan Laut Merah.

Saat itu sumber daya dan tenaga para Sharif yang mengurusi kota Suci Mekkah dan Madinah tak dapat memenuhi semua kebutuhan. Maka di situlah peran khalifah harus masuk. Akibatnya, para Sultan Utsmani mengambil posisi khalifah dan sangat serius dan mempertahankannya. Sharif Makkah (Amir/pemimpin) yang membawahi Al Haramain Hijaz termasuk kota suci Makkah dan Madinah di Hijaz Arabia kemudian membaiat secara resmi Sultan Selim sebagai Khalifah Ummat islam pada tanggal 29 Agustus 1517 dan menyerahkan kedua kota suci Makkah dan Madinah secara damai.

Kalangan Salafi sendiripun mengakui adanya Khilafah Turk Utsmani terlihat dalam situs mereka Al Manhaj yang mengatakan : "Umat Islam kehilangan khilafah setelah runtuhnya daulah Utsmaniyah pada tahun 1924M".

Semoga berpikir jernih dengan dalil-dalil yang sudah diberikan. Perhatian yang mau posting gambar atau komentar gak nyambung dengan tujuan jahat akan kami pantau !!!.

Foto : Peta Wilayah Kekuasaan Turki Utsmaniyyah (Ottoman), Baju Mantel kepunyaan Nabi saw di Turki yang diberikan Khalifah Abbasiyah terakhir Al Mutawakil III sebagai peresmian Turki Utsmani menjadi Khilafah pengganti, pernyataan Fp Saudinesia yang tidak mengakui adanya Khilafah, Peta Turki Utsmani zaman Sultan Selim. 

Sumber-Sumber :
- Al-’Allamah Syaikh ‘Abd al-Qadim Zallum dalam Kitab Nizham Hukmi fil Islam
- Al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm,
dll