Polres Pasuruan Tak Bisa Proses Tuduhan Penghinaan Ke Habib Luthfi Berdasar Aduan Ketua Ansor Bangil




Senin, 24 Agustus 2020

Faktakini.net

*POLRES PASURUAN TAK BISA MEMPROSES DELIK ADUAN TUDUHAN PENGHINAAN TERHADAP HABIB LUTHFI BIN YAHYA BERDASARKAN ADUAN KETUA ANSOR BANGIL*

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat Pejuang Khilafah

Beberapa media mengabarkan, Kepolisian tengah mengusut dugaan penghinaan terhadap Habib Lufti bin Yahya yang dilaporkan oleh GP Ansor PCNU Bangil, Kabupaten Pasuruan. Kapolres Pasuruan, AKBP Rofiq Ripto Himawan mengatakan bahwa pelaporan tentang dugaan penghinaan itu sedang diproses oleh Satreskrim dengan tahap awal melakukan penyelidikan.

"Proses penyelidikan sudah berjalan. Ada lima saksi yang kita ambil keterangannya," jelas Rofiq, Jumat (21/8/2020).

Menurut Rofiq, Polres Pasuruan juga telah berkomunikasi dengan para ahli, mulai dari ahli bahasa, ahli pidana dan ahli tehnologi dan transaksi elektronik. Dalam laporannya, Ansor menyebut bahwa dugaan penghinaan itu dilakukan oleh salah satu jemaah Yayasan Al Hamidy Al Islamiyah, Desa Kalisat, Kecamatan Rembang, Kabupaten Pasuruan yang mereka geruduk pada Kamis (20/8/2020).

Ketua GP Ansor PCNU Bangil, Saad Muafi mengatakan bahwa aksi tersebut merupakan respons atas postingan AH, warga Kecamatan Rembang di media sosial, yang diduga menghina tokoh NU, Maulana Habib Lutfi bin Yahya.

Sebenarnya, Laporan ini adalah buntut dari kegagalan Ketua Ansor Bangil memaksa Kiyai Zainulloh Muslim untuk membuat pernyataan tertentu. Sebagaimana Video yang beredar viral, Ketua Ansor Bangil dan beberapa anggotanya mendatangi (baca : Ngeluruk) Kiyai Zainulloh Muslim dan mengeluarkan kata dan tindakan kasar, tidak beradab, yang tidak mencerminkan Akhlakul Karimah sebagai sesama saudara muslim.

Muafi menuding Khilafah sebagai ajaran terlarang, berdasarkan Perppu Ormas. Selain itu, Muafi juga menuding Kiyai Zainulloh Muslim sebagai eks HTI yang dianggap sama dengan PKI. Muafi juga mempersoalkan bendera tauhid yang dituding bendera HTI.

Pada saat Muafi menuduh AH telah mencemarkan Habib Luthfi Bin Yahya, Kiyai Zainulloh Muslim mempersilahkan Muafi melaporkannya ke Polisi. Bahkan, Muafi diminta membawa bukti tuduhannya kepada polisi.

Dipastikan, Muafi tak bisa membuat laporan polisi atas tuduhan Khilafah ajaran Terlarang, tudingan HTI layaknya PKI yang dianggap ormas terlarang, juga pelarangan bendera tauhid yang dianggap bendera HTI. Sebab, semua pernyataan Muafi atas klaim Khilafah ajaran Terlarang, HTI Ormas Terlarang dan Bendera tauhid sebagai bendera HTI tak memiliki dasar hukum, dan karenanya tidak bisa menjadi materi laporan dan pasti ditolak Polisi.

Akhirnya, Muafi hanya bisa masuk melalui delik penghinaan/pencemaran pribadi Habib Luthfi Bin Yahya. Perkara inilah, yang sedang didalami oleh Penyidik Kepolisian Resort Pasuruan.

*Delik Penghinaan/pencemaran adalah delik aduan, harus pihak yang dicemar yang melapor*

Perlu dipahami, secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak.

Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.

Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang konten atau bagian mana ujaran baik lisan maupun tulisan yang dianggap mencemarkan dirinya. Karena itu, hanya korbanlah yang berhak melapor bukan pihak lainnya.

Delik pencemaran baik dilakukan secara langsung berdasarkan ketentuan pasal 310 KUHP maupun menggunakan sarana ITE berdasarkan ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE, keduanya tetap menyandarkan penuntunnya pada aduan korban. Jika korban tidak membuat aduan, maka penyidik dalam hal ini pihak kepolisian tidak dapat meningkatkan perkara menjadi penyidikan.

Perkara yang dilaporkan ke penyidik polres Pasuruan adalah dugaan penghinaan terhadap pribadi Habib Luthfi Bin Yahya, sementara yang melaporkan adalah Sa'ad Muafi. Tentu Muafi tak bisa membuat laporan polisi, karena perkara pencemarannya dituduh dilakukan terhadap Habib Luthfi Bin Yahya. Bukan terhadap dirinya, Muafi dalam perkara ini bukanlah korban.

Mengenai keharusan korban selaku pelapor dalam perkara delik aduan, penting untuk disimak pendapat hukum ahli pidana, berikut ini :

R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 87) membagi delik aduan menjadi dua jenis yaitu:

*Pertama,* Delik aduan absolut, ialah delik (peristiwa pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal: 284, 287, 293, 310 dan berikutnya, 332, 322, dan 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

*Kedua,* Delik aduan relatif, ialah delik-delik (peristiwa pidana) yang biasanya bukan merupakan delik aduan, akan tetapi jika dilakukan oleh sanak keluarga yang ditentukan dalam Pasal 367 KUHP, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan relatif ini tersebut dalam pasal-pasal: 367, 370, 376, 394, 404, dan 411 KUHP.

Berdasarkan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP.

Dengan demikian, delik pencemaran nama baik berdasarkan ketentuan pasal 310 KUHP maupun berdasarkan pasal 27 ayat (3) UU Nomor 19 tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE, ADALAH DELIK ADUAN ABSOLUT/MUTLAK DIMANA KEWENANGAN MENUNTUT PERKARANYA MUTLAK MEMBUTUHKAN ADUAN DARI KORBAN.

Karena itu sepanjang tidak ada aduan langsung dari Habib Luthfi Bin Yahya, maka penyidik Kepolisian Resort Pasuruan tak dapat menyidik perkara yang dilaporkan Saad Muafi. Dan dalam hal ini, penulis sangat yakin Habib Luthfi Bin Yahya adalah seorang Ulama yang juga Negarawan, yang tak akan mungkin memiliki waktu untuk mempersoalkan Perkara remeh temeh, yang jika diteruskan justru berpotensi mengurangi wibawa dan marwahnya sebagai Ulama yang mengayomi umat.

Tapi tidak menutup kemungkinan, penyidik menerapkan pasal sapu jagat melalui ketentuan pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang pidana SARA. Jika pasal ini yang diterapkan, patut diduga kriminalisasi Ulama sedang menjadi agenda rezim melanjutkan berbagai kriminalisasi yang selama ini telah dipermaklumkan. [].