Al-Khawarizmi, Ilmuwan Muslim Penemu Algoritma




Rabu, 2 September 2020

Faktakini.net

Al-Khawarizmi : Penemu Algoritma

"Tanpa Algoritma, hari ini kita tidak akan bisa menggunakan Facebook, Twitter, Instagram, atau WhatsApp. Istilah “Algoritma” diambil dari nama penemunya, dialah  Al-Khawarizmi, ilmuwan Muslim dari  Uzbekistan."

Dunia hari ini telah mengalami kemajuan yang pesat dan radikal.  Seluruh aspek kehidupan telah disusun secara kompleks dan rapih dalam sistem yang terkomputerisasi. Teknologi komputer yang canggih serta internet, telah masuk kedalam kehidupan kita bahkan ke sisi yang paling personal. Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp menjadi bagian yang tak telepas dari keseharian. Seluruh teknologi yang ada hari ini tidak terlepas dari ilmu matematika yang telah diajarkan dari zaman ke zaman sehingga bisa kita rasakan manfaatnya sampai sekarang, dan salah satu tokoh yang telah berjasa besar atas kemajuan ini adalah Al-Khawarizmi.

Al-Khawarizmi adalah salah satu ilmuwan termasyhur di Islam dan dunia pendidikan yang karya-karyanya memiliki pengaruh signifikan terhadap ilmu matematika dan ilmu astronomi. Dalam hubungan ini Aldo Milli berkata, “Jika merujuk kepada ilmu matematika dan ilmu astronomi, kita akan menemukan sarjana tingkat atas masa permulaan, seperti Abu Abdullah Mohammad Ibnu Musa al-Khawarizmi yang amat termasyhur”.

Nama lengkap dari Al-Khawarizmi adalah Abu Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi. Di kalangan Ilmuwan Barat dan Eropa dia lebih dikenal dengan nama Algoritma. Dia dilahirkan di sebuah kota kecil sederhana di pinggiran sungai Oxus (Ammu Darya), yakni kota Khawarizm (Khanate of Khiva) yang terletak di bagian selatan Sungai Oxus, Uzbekistan, pada tahun 770 M dan kemudian wafat pada tahun 840 M. Tak ada data yang pasti tentang tanggal dan kapan tepat kelahiran wafatnya. Sedangkan Phillip K Hitti memperkirakan Al-Khawarizmi wafat pada tahun 850 M. Kedua orang tuanya yang berasal dari Khawarizm kemudian membawanya pindah ke sebuah tempat di selatan kota Baghdad (Irak) ketika dia masih kecil. Di kota Baghdad inilah Al-Khawarizmi dibesarkan dan di kota ini pulalah pengetahuan serta pengalamannya berkembang, sehingga kemudian menjadikan namanya populer dan dikenal sebagai ilmuwan muslim terkemuka.

Dilihat dari rentang waktu kehidupannya (antara rahun 780-847 M) maka bisa dipastikan jika Al-Khawarizmi telah menjalani hidupnya di masa pemerintahan enam orang Khalifah Bani Abbasiyah. Ketika dia masih kecil, jabatan khalifah di pegang oleh Al-Mahdi (775-785 M) dan Musa Al-Hadi (785-786 M), kemudian ketika dalam usia remaja dan beranjak dewasa, di mana Al-Khawarizmi sudah diangkat sebagai pegawai khalifah Abbasiyah, khalifah Bani Abbasiyah adalah Harun Al-Rasyid (786-809 M), pada masa kecemerlangan Al-Khawarizmi, jabatan khalifah dipegang oleh Al-Ma’mun (819-833 M), dan kemudian menjelang wafatnya, Bani Abbasiyah berada di bawah pemerintahan khalifah Al-Mu’tashim (833-842 M) dan Al-Watsiq (842-847 M).[5]

Tentang agama Al-Khawarizmi, Toomer pernah menulis “Sebutan lain untuk beliau (Al-Khawarizmi) diberikan oleh Al-Tabari, “al-Majusi”. Ini mengindikasikan dia adalah pengikut Zoroaster. Ini mungkin terjadi pada orang yang berasal dari Iran. Tetapi, kemudian buku Al-jabar beliau menunjukan beliau adalah seorang Muslim Ortodok, jadi sebutan Al-Tabari ditujukan pada saat dia muda, dia beragama Majusi”.

Penulis sejarah matematika kenamaan, George Sarton, mengungkapkan bahwa al-Khawarizmi termasuk salah satu ilmuwan Muslim terbesar dan terbaik pada masanya. Sarton menggolongkan periode antara abad ke 4-5 M sebagaimana zaman al-Khawarizmi, karena dia adalah ahli matematikawan terbesar pada masanya[6]. Kemudian Smith dan Karpinski menggambarkan pribadi al-Khawarizmi sebagai tokoh terbesar pada masa keemasan Baghdad, setelah seorang penulis Muslim menggabungkan ilmu matematika klasik Barat dan Timur, lalu mengklasifikasikan, hingga akhirnya membangkitkan kesadaran daratan Eropa.

Phillip K Hitti pun memuji jasa yang telah Al-Khawarizmi wariskan. Dia menyatakan bahwa karya Al-Khawarizmi Hisab Al-Jabr wal Muqabillah yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin pada abad ke-12 oleh Gerard dari Cremona menjadi buku penting dan referensi utama pelajaran matematika di berbagai perguruan tinggi di Eropa. Lebih dari itu karya-karya Al-Khawarizmi juga berjasa dalam memperkenalkan angka-angka Arab atau Algorisme ke dunia Barat.[7]

Dalam kitab Al-Fihrist, karya Ibnu al-Nadim, dapat kita temukan sejarah singkat Al-Khawarizmi, bersama dengan karya-karya tulisnya. Dia hampir menekuni seluruh pekerjaannya, antara 813-822 M. Setelah Islam masuk Persia, Baghdad menjadi pusat ilmu dan perdagangan, dan banyak pedagang dan ilmuwan dari Cina dan India berkelana ke kota ini, yang dilakukan juga oleh dirinya. Dia bekerja di Baghdad di Sekolah Kehormatan yang didirikan oleh Khalifah Al-Ma’mun, tempat dia belajar ilmu alam dan matematika, termasuk mempelajari terjemahan manuskrip Sansakerta dan Yunani. (SI)

Al-Khawarizmi dikisahkan memiliki sebuah keunggulan yang sangat besar dalam memanfaatkan buku-buku yang terdapat di perpustakaan Al-Ma’mun. Dia belajar ilmu matematika, ilmu geografi, ilmu astronomi, disamping pengetahuan sejarah yang baik tentang orang Yunani dan Hindu.[1] Di masa Al-Ma’mun inilah, Al-Khawarizmi mulai terkenal dan mencapai masa puncaknya sebagai seorang ilmuwan.

Al-Ma’mun sangat terkenal sebagai seorang khalifah yang sangat mencintai dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan di dunia islam. Dia melanjutkan usaha para pendahulunya dalam meningkatkan perhatian pada ilmu pengetahuan dan usaha penerjemahan buku ilmu pengetahuan yang sudah dimulai sejak khalifah Al-Mansur. Beberapa hal yang mendorong khalifah untuk melakukan usaha penerjemahan terhadap berbagai buku ilmu pengetahuan dari berbagai peradaban tersebut dikarenakan pada masa tersebut masyarakat sangat memerlukan pengetahuan, terutama setelah Muslim berinteraksi dengan berbagai bangsa, di samping sikap kritis yang mulai berkembang pada saat itu, terutama hal yang berhubungan dengan logika dan filsafat yang penting untuk dikuasai agar dapat membangun dialog konstruktif dengan orang-orang Yahudi atau Nasrani. Pada masa itu pun stabilitas politik relatif aman dan bahasa Arab telah menjadi bahasa kesatuan. Sementara berbagai daerah yang masuk Islam juga memiliki berbagai kebudayaan yang patut untuk dikembangkan, sehingga perlu untuk dipelajari dan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.[2]

Karena kepandaian dan kecerdasan yang dimilikinya, Al-Khawarizmi mampu masuk pada lingkungan Dar al-Hukama, yaitu sebuah lembaga penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan yang didirikan pada masa Bani Abbasiyah oleh Khalifah Harun Al-Rasyid.[3]

Buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat didatangkan dari berbagai peradaban ke Baghdad, baik dari Byzantium (Romawi), Yunani, India, maupun Persia untuk diterjemahkan ke Bahasa Arab. Untuk itu di masa pemerintahannya Al-Makmun kemudian mendirikan sebuah lembaga ilmu pengetahuan yaitu Bait al-Hikmah, beberapa versi menjelaskan bahwa lembaga Bait al-Hikmah ini telah didirikan semasa pemerintahan Harun Al-Rasyid yang kemudian dikembangkan dan diperluas oleh Al-Makmun. Bait al-Hikmah menjadi tempat berkumpulnya para ilmuwan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan melakukan penelitian, di mana semua kegiatan ilmiah mereka ditanggung dan dijamin oleh pemerintah, bahkan mereka pun mendapatkan  gaji yang layak. Bait al-Hikmah sendiri tidak hanya berfungsi sebagai pusat penerjemahan dan aktivitas penelitian para ilmuwan, akan tetapi juga sebagai tempat lembaga pendidikan (perguruan tinggi) yang dilengkapi dengan perpustakaan. Di antara cabang-cabang ilmu pengetahuan yang diutamakan dan dikembangkan di Bait al-Hikmah adalah ilmu kedokteran, matematika, optika, fisika, gografi, astronomi, ilmu falak, sejarah, dan filsafat.[4]

Al-Makmun sangat tertarik dan mengagumi kecerdasan Al-Khawarizmi, itulah sebabnya dia kemudian secara khusus mengirim dan menugaskan Al-Khawarizmi untuk belajar Sanskerta. Bahasa Sanskerta pada waktu itu merupakan bahasa pengantar buku-buku ilmu pengetahuan dari India. Peradaban India sendiri tercatat sebagai salah satu peradaban yang maju, terutama daerah sungai Gangga, disamping peradaban Babylonia, Byzantium, Persia, dan Yunani, sehingga untuk kepentingan perkembangan peradaban Islam dan ilmu pengetahuan, khalifah Al-Makmun merasa perlu untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan dari India yang berbahasa Sanskerta ke dalam bahasa Arab agar mudah dipelajari oleh orang-orang Islam pada waktu itu.[5]

Setelah mahir dan mengusai bahasa ini dengan baik, ia kemudian ditugasi kembali oleh khalifah Al-Makmun untuk menterjemahkan buku India tentang astronomi yang berjudul Siddhanta ke bahasa Arab. Buku ini berhasil diterjemahkan oleh Al-Khawarizmi dengan baik, bahkan kemudian ia berhasi menterjemahkan buku tentang geografi, karya tulis Ptolomeus ke bahasa Arab. Siddhanta adalah sebuah buku berkenaan dengan ilmu astronomi yang di bawa oleh orang-orang India ke kota Baghdad sekitar tahun 771 M atau tahun 773 M. Usaha penerjemahan ini semula dilakukan oleh Al-Fazari, namun usaha tersebut belum sempurna dilakukan. Baru kemudian atas usaha Al-Khawarizmi buku tersebut bisa diterjemahkan secara sempurna kedalama bahasa Arab. [6]

Berdasarkan buku tersebut, Al-Khawarizmi telah menyusun sebuat tabel dan ringkasan dari sistem-sistem astronomi India dan Yunani yang ditambahnya dengan hasil-hasil penyelidikan sendiri. Tabel yang dibuat oleh Al-Khawarizmi ini menjadi terkenal di Eropa setelah diterjemahkan oleh Adelard dari Bath pada tahun 1126. Tabel ini kemudian menggantikan tabel Yunani dan India yang biasa dipakai sebelumnya. Buku ini juga menjadi dasar bagi Al-Khawarizmi dalam menyusun daftar-daftar astronominya (astrolabels). [7]

Al-Khawarizmi sering mendapat mandat dari khalifah untuk melakukan rihlah ilmiah, mengadakan riset ilmiah dan tugas-tugas khusus. Di antaranya khalifah al-Watsiq memerintahkan kepada al-Khawarizmi untuk mengadakan observasi tentang jasad Ashabul Kahfi yang disebutkan di dalam al-Quran bahwa jasad itu ada di dalam gua dan jasad itu masih baik dan tidak rusak, seakan-akan mereka baru mati. Khalifah Al-Watsiq ingin melihat kebenaran cerita itu yang di informasikan dari al-Quran dan untuk tujuan itu beliau mengutus Al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi datang ke Romawi dan menjumpai para pembesar Romawi. Pembesar Romawi kemudian memerintahkan penunjuk jalan untuk mendampingi menuju gua yang berada di atas puncak gunung kecil. Kemudian Al-Khawarizmi naik ke atas gunung dan melihat langsung jasad Ashabul Kahfi itu. Kemudian kembali ke Khalifah Al-Watsiq dengan berita bahwa, “ Ashabul kahfi mati seperti biasanya, akan tetapi jasad mereka diawetkan dengan balsem dan kapur”.[8]

Al-Khawarizmi dikenal sebagai tokoh muslim yang banyak membangun dan menemukan teori-teori matematika, salah satunya aljabar, yang oleh para ilmuwan barat disebut aritmatika (ilmu hitung) yaitu dengan menggunakan angka-angka Arab.[1]

Dalam buku karangannya yaitu, al-Jabr wa al-Muqabalah dia merumuskan dan menjelaskan tabel trigonometri secara detail. Dia juga mengenalkan teori-teori kalkulus dasar dengan cara yang mudah, yang pada akhirnya Al-Khawarizmi menjadi tonggak dalam sejarah aljabar yang saat ini berkembang menjadi matematika, bahkan dia menjadikan aljabar sebuah ilmu eksak. Maka pantas jika Al-Khawarizmi disebut sebagai bapak aljabar.[2]

Aljabar mempelajari penyederhanaan dan pemecahan masalah menggunakan simbol-simbol sebagai pengganti konstanta dan variabel. Ilmu aljabar dapat dikatakan berasal dari karya Al-Khawarizmi yang berjudul  al-Mukhtasarfi Hisab al-Jabr wa’l-Muqaballah (Kesimpulan Proses Kalkulasi Untuk Paksaan dan Persamaan) di mana untuk petama kalinya kata Arab al-Jabr, yang artinya “paksaan” dan juga “perbaikan”, dan “restorasi” digunakan. Dari kata inilah , menurut para ahli, kata Inggris “Algebra” (aljabar) diturunkan.[3]

Sedangkan trigonometri merupakan penemuannya di bidang matematika yang mempelajari tentang hubungan antara sisi dan sudut suatu segitiga serta fungsi dasar yang muncul dari relasi tersebut. Trigonometri merupakan ilmu matematika yang sangat penting dalam kehidupan. Aplikasi ilmu trigonometri dalam kehidupan mencangkup segala bidang astronomi, geografi, teori musik, elektronik, ekonomi, medikal, teknik, dan masih banyak lagi. Dengan trigonometri kita bisa mengukur jarak suatu bintang di angkasa tanpa harus pergi kesana. Dengan trigonometri kita bisa mengukur sudut ketinggian tebing tanpa harus memanjatnya. Dan dapat pula mengukur lebar sungai tanpa harus menyebranginya. Itulah manfaat dari mempelajari trigonometri dalam kehidupan sehari-hari. Trigonometri dipelajari oleh Al-Khawarizmi dan dia juga mengadakan penelitian tentang ilmu hitung trigonometri. Dia disebutkan adalah orang yang pertama kali membuat dan menerbitkan tabel trigonometri yang di dalamnya terdapat sinus dan tan, kemudian pada abad ke-12 M tabel-tabel trigonometri diterjemahkan ke dalam bahasa latin.[4]


ILUSTRASI AL-KHAWARIZMI. PHOTO : GALIBSENDA
Nama algoritma merupakan latinisasi nama Al-Khawarizmi, yang dicantumkan dalam karyanya yang berbahasa latin pada abad ke-12, yaitu algorithmi de numero indorum. Pada awalnya kata algoritma merupakan istilah yang merujuk pada aturan-aturan aritmetis untuk menyelesaikan persoalan menggunakan bilangan numerik Arab. Kemudian pad abad ke-18 istilah ini menjadi algoritma yang mencakup semua prosedur atau urutan langkah yang jelas dan diperlukan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam hal ini yang pertama ditekankan dalam alur pemikiran untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang dituangkan secara tertulis adalah alur pikiran. Jadi dapat dipahami bahwa, algoritma setiap orang dapat berbeda dengan yang lainnya. Adapun pendekatan kedua adalah tertulis, yaitu dapat berupa kalimat, tabel dan gambar tertentu. Contohnya, jika seseorang ingin mengirim surat kepada seseorang di tempat lain, maka langkah yang harus dilakukan adalah menulis surat, kemudian memasukkan surat kedalam amplop, kemudian amplop ditempel perangko, kemudian pergi ke kantor pos untuk mengirimnya.[5]

Pengaruh Al-Khawarizmi dalam bidang matematika lainnya dapat dilihat salah satunya dari buku yang berjudul Liber Abaci, ditulis oleh ahli Matematika bernama Leonardo yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Fibonacci dari Pisa, Italia. Setidaknya ada empat bagian penting dalam buku Liber Abaci. Bagian pertama yakni pengenalan sistem angka Arab. Bagian kedua menyajikan contoh-contoh bidang perniagaan, seperti pertukaran mata uang serta penghitungan rugi laba. Bagian ketiga berisi diskusi menyangkut persoalan matematika. Bagian terakhir berupa sistem taksiran, baik dari urutan angka maupun geometri. Tak hanya itu, buku ini juga memasukkan metode geometri Euclides serta persamaan linear simultan.[6]

Sejarah mencatat, karya yang dibuat tahun 1202 M ini merupakan salah satu yang paling fenomenal dan berpengaruh dalam kajian ilmu aritmatika. Disini, Fibonacci memperkenalkan kepada Eropa metode penghitungan angka Arab yang dia pelajari di Bejaja (Bougei), Afrika Utara. Walaupun sesungguhnya Liber Abaci bukanlah buku Barat pertama yang mengungkap tentang ilmu hitung Arab. Penting untuk dicatat, dari zaman dahulu hingga awal masa modern, sistem angka Arab hanya digunakan oleh ahli matematika.  Ilmuwan muslim menggunakan sistem angka Babylonia, serta kalangan pedagang menggunakan sistem angka Yunani dan juga Yahudi. Namun setelah kemunculan buku Fibonacci, sistem angka dan penghitungan arab pun dipakai secara luas. Padahal, Fibonacci hanya meneruskan pemikiran dan teori yang telah disusun oleh Al-Khawarizmi. Sistem notasi desimal yang dikembangkan Al-Khawarizmi inilah yang digunakan oleh Fibonacci untuk menyusun karya monumentalnya itu.[7](SI)

Salah satu penemuan penting Al-Khawarizmi adalah menemukan bilangan nol. Nol adalah suatu angka yang digunakan untuk mewakili angka dalam angka. Angka nol (0) menjadi penting bagi suatu bilangan dan tentu berpengaruh terhadap ilmu-ilmu menghitung, ilmu alam, ilmu pasti, serta ilmu-ilmu lainnya. Angka nol memilik manfaat dalam ilmu matematika, diantaranya adalah sebagai identitas tambahan bagi bilangan bulat, bilangan real dan struktur aljabar lainnya. Belum ada keterangan pasti dari mana al-Khawarizmi mendapatkan dan menggunakan angka nol, walaupun bukti sejarah mengemukakan angka nol sendiri sudah dipergunakan pula di India sejak tahun 400 M. Kode angka Aryabatha telah menerangkan secara lengkap mengenai simbol angka nol. Juga pada masa pemerintahan Bhaskara I (abad 7 M) dasar sistem 10 angka sudah dipergunakan secara luas di negara tersebut serta pengenalan konsep angka nol. Begitu pula di Babylonia sudah mengenal sistem angka yang memakai 0 digit. Sistem angka tersebut sampai ke Timur Tengah pada tahun 670 M, dan disempurnakan Al-Khawarizmi dengan menambahkan dan meningkatkan angka desimal berikut pecahannya.[1]

Al-Khawarizmi tidak hanya meminjam sistem angka India kuno, tetapi juga menambahkan satu mata rantai yang hilang, yaitu angka nol tersebut. Walaupun secara matematis nol tidak dapat dibuktikan (karena berapa pun angka dibagi nol hasilnya tak terdefinisi), Al-Khawarizmi menerapkannya dalam penelitian lebih lanjut, yaitu merevolusi beberapa subjek dan menemukan yang lain.[2]

Angka Arab sendiri sudah lama dipergunakan sebagai simbolisasi penomoran atau penghitungan. Sistem ini terdiri dari 10 angka dengan bentuk yang berbeda-beda. Angka yang berada di sisi paling kiri punya nilai yang paling tinggi. Pada perkembangan selanjutnya, sistem angka Arab ini memakai pula tanda desimal serta tanda pengkalian dua yang telah digagas oleh Al-Khawarizmi. Pada bentuk yang lebih modern, sistem angka Arab dapat merepresentasikan setiap angka rasional dengan 13 tanda (10 digit, tanda desimal, tanda bagi, tanda strip di depan untuk menandakan angka negatif, dan sebagainya). Sebagaimana sistem angka yang lain, angka 1,2, dan 3 ditunjukkan dengan penandaan sederhana,  1 ditandai dengan satu garis, 2 dengan dua garis (sekarang dihubungkan dengan diagonal) dan 3 dengan tiga garis (dihubungkan dengan dua garis vertikal). Setelah ketiganya, maka angka berikut memakai simbol yang lebih kompleks. Para ahli memperkirakan, hal ini dikarenakan semakin sulit untuk menghitung objek lebih dari tiga. Secara keseluruhan, sistem angka Arab terbagi atas dua kelompok angka yaitu sistem angka Arab Barat (west Arabic numerials) dan sistem angka Arab Timur (east Arabic numerials). Sistem angka Arab timur banyak dipergunakan di wilayah negara Irak, sementara angka Arab barat dipakai di Andalusia (Spanyol) dan kawasan Maghribi (Afrika Utara).[3]

Di negara Jepang, angka Arab dan angka Romawi keduanya dipakai pada sistem yang bernama Romaji. Sistem angka Arab diakui sebagai salah satu yang paling berpengaruh pada bidang matematika. Para ahli sejarah sepakat bahwa angka tersebut berawal dari India. Terlebih setelah orang Arab sendiri menyebut angka yang mereka gunakan sebagai angka ‘India’ atau Arqam Hindiyah, yang kemudian ditranformasikan di dunia Islam sebelum tersebar melalui Afrika Utara, Spanyol, dan akhirnya sampai ke Eropa. Namun berbeda dengan metode ganjil penulisan angka-angka yang digunakan orang Romawi, sistem penulisan angka yang diterapkan di Arab mengelompokkan angka-angka puluhan, ratusan dan ribuan, bahkan jutaan menjadi landasan matematika modern.[4]

Al-Jabr wa-al-Muqabilah, (buku tentang Intergrasi dan Persamaan)  telah diterjemahkan ke dalam bahasa latin sekitar abad ke-12, dan bagi beberapa negara kemudian, buku ini dijadikan sebuah rujukan, terutama di Eropa. Buku ini juga diterbitkan untuk pertama kalinya di Kairo pada tahun 1039 M.[5] Selain Al-Jabr wa-al-Muqabilah, terdapat beberapa buku lain yang tidak kalah penting dalam khazanah ilmu matematika yang ditulis oleh Al-Khawarizmi, salah satunya adalah Kitabul Jama-wa-Tafriq.

Khusus dalam Kitabul Jama-wa-Tafriq yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin menjadi Frattati d’Arithmetika, Al-Khawarizmi menerangkan seluk beluk kegunaan angka-angka, termasuk angka nol, dalam praktek kehidupan sehari-hari. Naskahnya ini menjadi karya gemilang di bidang aljabar. Buku karangannya ini disadur ke dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan digunakan sebagai rujukan utama hingga abad ke-16 di universitas-universitas di Eropa.[6]

Kemudian, dari fakta sejarah menunjukan bahwa pada abad pertengahan ilmu matematika di dunia Barat lebih banyak dipengaruhi oleh karya Al-Khawarizmi dibandingkan dengan karya penulis lainnya. Karena itu, masyarakat modern saat ini sangat berhutang budi kepada al-Khawarizmi dalam bidang ilmu matematika, dan Al-Khawarizmi layak dijadikan figur penting dalam bidang ilmu matematika. (SI)

Al-Khawarizmi memiliki andil dalam beberapa bidang ilmu lain seperti dalam bidang astronomi dan geografi. Dalam bidang astronomi dia telah menulis beberapa karya dalam bentuk kitab, yaitu; kitab al-Amal bi al-Ustharlab, kitab Jadwal an-Nujum wa Harakatuha, dan kitab as-Sind Hind (kitab yang memuat tentang diagram astronomi). Kemudian pada awal abad ke 12, karya-karya Al-Khawarizmi mulai diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Dalam bahasa Latin, karya-karyanya pertama kali dialih-bahasakan oleh Adelard of Bath dan Gerard of Cremona, misalnya The Treatise of Arithmetic, Al Muqala fi Hisab Al Jabr wa Al Muqabillah. Selanjutnya yaitu Kitab Surat-al-Ard, sebuah naskah yang saat ini disimpan di Strassbourg, Prancis. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan informasinya diketahui isi buku ini berlawanan dengan pandangan Ptolomeus[1]; serta kitab Al-Amal bi al-Usturlab (Fungsi Laboratorium Astronomi), dan Kitab Amal-al Ustrulab (Pengoperasian Laboratorium Astronomi).[2]

Selain itu Al-Khawarizmi ikut andil dalam mengukur lingkaran bumi. Dalam literatur Islam astronomi disebut dengan ilmu falak, yaitu bidang ilmu yang paling menarik para ilmuwan Muslim selain bidang matematika. Sebab bidang ilmu tersebut sangat mendukung peribadatan dalam Islam, seperti menentukan awal dan akhir bulan ramadhan, hari raya idul fitri, idul adha, dan lain sebagainya.


Dalam ilmu falak ini al-Khawarizmi memiliki peran dalam mengukur lingkaran bumi yang dilakukan pada masa khalifah Al-Ma’mun. Pengukuran ini dilakukan dengan cara menggunakan ilmu astronomi. Untuk tujuan itulah dibentuk dua tim yang terdiri dari ilmuwan, salah satuya mengarah ke utara dan satunya mengarah ke selatan pada garis lintang yang sama. Setelah itu, masing-masing tim menentukan garis bujur di tempat tibanya dengan cara mengukur ketinggian bintang kutub. Dari dua pengukuran itu, para ilmuwan muslim kemudian menghitung derajatnya yang pada gilirannya dipergunakan untuk menghitung lingkaran bumi dan separuh wilayahnya dengan ketelitian yang melebihi pengukuran yang dilakukan oleh ahli matematikawan Yunani Alexandria, Eratosthemes. Riset pengukuran ini dilakukan di Sanjar dan Palymra, hasilnya 56,75 Mil Arab sebagai panjang derajat meridian. Menurut CA Nallino, ukuran ini hanya selisih 2,877 kaki dari ukuran garis tengah bumi yang sebenarnya.[3]

Al-khawarizmi pun membuat diagram astronomi seperti yang dimuat dalam bukunya “as-Sind Hind” yang terkenal. Sebagaimana dia juga menulis beberapa buku penting dalam ilmu astronomi. Bahkan Al-Khawarizmi mencoba untuk membuat ramalan tentang masa hidup Nabi Muhammad SAW melalui ilmu astronomi. Dia hitung secara cermat waktu Nabi dilahirkan.

Dalam ilmu geografi dia menulis dua kitab yaitu kitab Shurah al-Ardh dan kitab Taqwim al-Buldan. Dalam kitab yang berjudul Shurah al-Ardh, al-Khawarizmi menulis yang isinya membenarkan pendapat Ptolomeus. Dan dalam kitab itu pula Al-Khawarizmi juga membuat peta yang lebih detail dari pada peta yang dibuat oleh Ptolemaeus. Kitab tersebut menjadi dasar bagi ilmu bumi Arab dan dijadikan model oleh ahli geografi Barat untuk menggambar peta dunia. Naskah itu, hingga kini masih tersimpan di Strassburg, Jerman. Kitab ini oleh Abdul Fida dikatakan sebagai buku peta yang sangat rinci menggambarkan bagian-bagian bumi yang dihuni manusia karena dihiasi secara lengkap dengan peta pada beberapa bagian dunia. [4]

Selain itu juga dia menulis buku yang berjudul Taqwim al-Buldan, yang menurut Carlo Nallino dan para orientalis dari Italia lainnya, bahwa buku-buku yang ditulis Al-Khawarizmi yang membahas tentang geografi sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Al-Khawarizmi membuat koreksi-koreksi mendasar pada pemikiran filsuf Yunani tentang geografi. Dalam sejarah tercatat tujuh puluh orang yang ahli dalam bidang geografi bekerja di bawah koordinasi Al-Khawarizmi. Kelompok ini kemudian melahirkan peta bumi yang kita kenal sebagai “globe” untuk pertama kali, dan telah kita dikenal dunia sejak tahun 830 M.[5]

Seperti dikatakan sebelumnya, Al-Khawarizmi memberikan dampak yang signifikan di bidang seni. Bahkan dikatakan bahwa pemikiran Al-Khawarizmi  telah memberikan gagasan yang brilian terhadap lukisan Monalisa. Leonardo da Vinci tak saja terkenal sebagai salah satu pelukis terbesar di dunia, namun dia juga salah seorang pematung, arsitek, filsuf, ilmuwan dan ahli tehnik. Leonardo da Vinci selalu berupaya untuk menciptakan suatu piranti, kemudian mencoba menggambarkan tentang bagaimana benda sesungguhnya yang hendak dibuatnya. Dia pun kemudian memberikan penjelasan tentang bagaimana cara bekerja piranti yang digagasnya. [6]

Leonardo da Vinci juga dikenal mempelajari dengan seksama ilmu anatomi (susunan tubuh manusia), sehingga dia bisa menggambar serta melukiskan manusia sebagaimana “aslinya”. Semua kemampuannya itu paling tidak didapatnya setelah dia mempelajari secara seksama berbagai teori keseimbangan matematika yang telah dirumuskan oleh Al-Khawarizmi, yang dalam bahasa matematika dikena dengan “phi” atau “rasio emas”, yang kemudian dipopulerkan di Barat oleh Fibonacci yakni 1,1,2,3,5,8…. Sehingga dengan angka rasio emas tersebut maka para ilmuwan dapat mengukur dan menentukan suatu bangunan secara tepat dan seimbang. Begitu pula ketika seorang seniman menjadikan gambar manusia sebagai objek lukisannya,  sebagaimana yang telah dilakukan oleh Leonardo da Vinci. Dalam bukunya Math and the Monalisa, Bulent Atalay menegaskan bahwa phi atau rasio emas adalah suatu nomor yang sering digunakan di dunia seni serta jagad raya ketika seniman atau ilmuwan menghasilkan sebuah karya yang luar biasa.[7]

Dalam salah satu buku matematikanya, dia menuliskan pula teori seni musik. Buku itu diterjemahkan oleh Adelard dari Bath pada abad ke 12 dengan judul Liber Ysagogarium Alchorism. Pengaruh buku ini kemudian sampai ke Eropa dan sejarawan Phillip K Hitti menyebutnya sebagai perkenalan pertama musik Arab ke dunia latin.[8](SI)

Selesai.

Sumber: ganaislamika.com