Anggota Komisi VIII: Framing Web DW Indonesia Soal Jilbab Sangat Berbahaya!



Senin, 28 September 2020

Faktakini.net, Jakarta - Anggota DPR RI, Bukhori Yusuf angkat bicara terkait konten berita video DW Indonesia berjudul “Anak-anak, Dunia, dan Hijab.”

Konten ini menuai kontroversi dan menjadi perbincangan hangat di twitter sehingga sempat menduduki trending topic. Pasalnya, isi dari pemberitaan tersebut cenderung menyudutkan, karena menempatkan anak-anak beragama Islam sebagai pihak yang seolah dipaksa untuk mengenakan hijab di luar pilihan sadar.

“Bentuk framing seperti ini sangat berbahaya. Karena menempatkan anak-anak sebagai objek eksploitasi dari cara pandang liberal. Perlu dipahami, secara psikologis, anak-anak usia ini tidak sepenuhnya bersifat “otonom” alias mandiri sehingga dalam hal menentukan pilihan, mereka masih perlu intervensi khusus dari orang tua. Intervensi ini bisa berupa nasihat, bimbingan, arahan, dan berbagai tindakan pola asuh efektif sehingga membantu perkembangan sang anak,” ungkap Bukhori di Jakarta, Sabtu (26/9/2020)

Anggota Komisi VIII yang turut membidangi perempuan dan anak ini menjelaskan, intervensi orang tua, selanjutnya, akan membentuk basis pengetahuan bagi anak ketika mulai memasuki usia dewasa dalam rangka menunjang proses menimbang dan menentukan pilihan secara sadar. Walaupun demikian, proses menjadi sadar (conscious) tidak dicapai secara spontan. Terdapat sejumlah tahapan sosiologis yang perlu dijalani, yakni forming, norming, dan performing.

“Pertama, ada proses forming atau pembentukan. Pada fase ini intervensi orang tua sangat penting untuk membentuk karakter anak seperti apa. Interaksi antara anak dan orang tua yang dibangun secara intens dan intim akan menghasilkan ikatan emosional yang kuat dan hubungan antar individu yang saling mengenal dan memerlukan,”

“Selanjutnya, norming atau penanaman norma/nilai. Pada fase ini, anak secara perlahan mulai diajarkan tentang ajaran/tuntunan dalam berperilaku baik yang bersumber dari agama atau falsafah hidup. Melalui proses habituasi atau pembiasaan, nilai/norma tersebut ditanam secara perlahan dengan tetap memberikan pemahaman sesuai bahasa mereka dan pola didik yang mengedepankan kasih sayang,” sambungnya.

Terakhir adalah performing. Ini adalah fase dimana anak memiliki basis pengetahuan yang cukup sehingga memiliki pilihan sadar dalam menentukan suatu keputusan yang matang dan bertanggung jawab. Fase ini jelas tidak terjadi pada anak usia balita dan remaja. Pada fase ini, fungsi orang tua lebih kepada peran konsultatif dan tidak terlalu dominan dalam mempengaruhi keputusan anak.

“Setiap orang tua yang memegang teguh nilai agama,” demikian ungkap Bukhori, “selalu menginginkan masa depan yang baik bagi putra/putrinya, termasuk prinsip dalam menjalankan keyakinan/agama. Mengukir di atas tanah lebih mudah ketimbang mengukir di atas air. Artinya, lebih mudah mengarahkan anak pada hal baik sejak dini dibandingkan membimbing mereka saat sudah mencapai fase “pilihan sadar” alias dewasa,” paparnya.

Lebih lanjut, ia juga menyoroti argumen salah satu narasumber dalam konten video tersebut yang menyatakan kecemasannya atas potensi eksklusivisme pada anak ketika mencapai masa dewasa. Bukhori menilai argumen tersebut lemah dan naif apabila menganggap hal-hal baik seperti mengenal aurat dan ibadah sejak dini justru dianggap sebagai sebuah ancaman.

“Anak-anak yang tetap tumbuh dalam lingkungan yang heterogen ibarat ikan yang meskipun hidup di tengah laut, tidak terasa asin begitu keluar dari laut. Ini adalah falsafah dari pembiasaan berjilbab dan jenis ibadah lainnya yang dilakukan di masa kecil,” tukasnya.

“DW Indonesia harus meminta maaf atas kegaduhan publik yang ditimbulkan. Sangat tidak etis menyudutkan perkara yang menjadi ranah syariat bagi umat muslim,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui dalam tersebut, berisi pernyataan para orang tua yang membiasakan anak perempuannya, berhijab–sebagaimana diajarkan Islam, terhadap Muslimah–sejak usia dini.

Dalam video itu, juga ikut bicara Psikolog; Rahajeng Ika, dan Nong Darol Mahmada, bini Guntur Romli si Aktivis JIL.

Setelah dua orang ibu, yakni Andari Danthi dan Cisya Satwika, membagikan ceritanya dalam mendidik anak untuk terbiasa dekat dengan syariat.

“Dari kecil, ini sudah dibiasakan [mengenakan jilbab]. Jadi, ketika dia dewasa, dia tidak kaget, tidak menolak, insya Allah, mudah-mudahan dia tidak menolak,” kata Andari.

“Dia sudah terbiasa melihat orang tuanya, ibunya, pakai [jilbab]. Jadi, alhamdulillah [anakku], Lula, bisa melihat, ‘Oh, ibu pakai jilbab, kalau mau pergi ke luar, atau misalnya ada tamu ke rumah’,” sambungnya.

Demikian pula dengan Cisya, yang mengatakan, “Kebetulan anak-anakku itu TK-nya, pendidikan awalnya di sekolah Islam. Jadi tidak sulit bagi kami untuk mengarahkan ke sana (pakai jilbab).”

Mendengar penjelasan Andari dan Cisya, Rahajeng dan Nong, justru menyampaikan hal berbeda.

“Biasanya, anak-anak itu belum mampu mengambil keputusan dan bertanggung jawab terhadap keputusan tersebut,” kata Rahajeng.

“Jadi, risikonya adalah mereka menggunakan atau memakai sesuatu, tapi belum paham betul konsekuensi dari pemakaian itu,” imbuhnya.

“Yang dikhawatirkan, pada saat umur SMP, SMA, masa pembentukan konsep diri, dia sedang memakaikan identitas yang berhijab, dia yang pakai pakaian tertutup, dia Muslim,” sambungnya lagi.

“Permasalahannya, apabila dia kemudian hari bergaul dengan teman-teman yang agak punya pandangan yang mungkin berbeda, boleh jadi dia mengalami kebingungan. Apakah dengan dia berpakaian seperti itu, dia punya batasan tertentu untuk bergaul?” jelas Rahajeng.

Sementara Nong, menyampaikan, “Sebenarnya wajar-wajar saja si anak mengikuti keinginan atau arahan dari orang tua atau misalnya dari pihak guru atau orang dewasa.”

“Tetapi kekhawatiran saya, sebenarnya lebih kepada membawa pola pikir si anak itu menjadi eksklusif, karena dari sejak kecil, dia ditanamkan untuk misalnya dalam tanda kutip, misalnya berbeda dengan yang lain,” sambungnya.

“Karena sebenarnya, di masa pertumbuhan anak itu, semestinya, seharusnya, anak-anak itu dibiarkan dulu menjadi siapa pun, menjadi apa pun,” imbuhnya lagi.

“Jadi, maksudnya, dia itu tidak harus berbeda dengan anak-anak yang lain. Tetapi ketika dia diberikan identitas, misalnya, jilbab sebagai Muslimah, maka dengan sendirinya akan mengeksklusifkan dirinya sendiri,” pungkasnya.

Pernyataan-pernyataan dalam video itulah yang akhirnya memicu berbagai pihak mengkritik DW Indonesia.

Mengingat sebagai Muslim, orang tua, memang berkewajiban mengajarkan anaknya agar paham syariat.

“Ribet amat. Gw dan adik-adik gw, dari kecil pake jilbab, ga punya rasa minder atau berbeda dalam pergaulan. Apalagi sejak di Australia, di tempat, cuma gw yang pake hijab, ga ada punya rasa berbeda. Santuy aja. Bule-bule aje kaga ribet,” sentil @masithah_oliver.

“Apakah setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini memiliki pilihan untuk lahir dari rahim siapa? Saran saja buat @dw_indonesia, lebih baik bahas hal-hal yang tidak memancing ‘perdebatan’, karena urusan mendidik anak, Islam, sudah sangat sempurna,” saut @SarwaniUda.

“Aku suka sekali nonton DW, tapi kenapa yang ini Nong Darol, yang jelas-jelas sekuler yang ditanya? Di tempatku, justru anak yang tidak berjilbab, justru berbeda. Semua siswi SMP Negeri yang Muslim, pada make jilbab. Nah, justru yang ga pake jilbab yang ngerasa eksklusif. Semoga Anda, jadi media netral,” kritik @bonniebulb.

“Kerudung dan jilbab adalah kewajiban dalam Islam. Menanamkan prinsip, wajib pada anak-anak, tentu dengan cara yang menyenangkan, menentramkan, tanpa paksaan, dan sejak dini, karena membutuhkan proses dan waktu yang tidak sedikit,” jelas @cleomaharanizo.

Namun, menanggapi kritik yang muncul, DW Indonesia, tetap merasa video yang dibagikan oleh pihaknya, sudah berimbang.

“Terima kasih atas perhatian Anda, pada konten video DW Indonesia, yang menurut kami sudah berimbang, imparsial, dan akurat,” jawabnya.

“DW mendorong kebebasan berpendapat dan diskusi terbuka, selama sifatnya adil dan tidak diskriminatif atau berisi hinaan terhadap siapa pun,” beber DW

Sumber: suaraislam.id, ngelmu.co