Banjir Jakarta Sudah Terjadi Sejak Zaman Kolonial. Ini Rentetan Peristiwanya



Selasa, 22 September 2020

Faktakini.net

Banjir Jakarta Sudah Terjadi Sejak Zaman Kolonial. Ini Rentetan Peristiwanya

Jakarta sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia merupakan kota yang rawan akan banjir. Rentetan banjir besar Jakarta tidak hanya terjadi saat kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta hari ini Anies Baswedan. Melainkan telah berlangsung lama bahkan ratusan tahun lamanya.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat banjir besar pernah terjadi di ibu kota pada Januari dan Februari 1918, Januari 1979, Februari 1996, Februari 2007, Januari dan Februari 2013.

Situs Kompas.com mencatat, Pada 1918, Jakarta yang masih bernama Batavia dilanda banjir besar di tenggarai akibat maraknya perambahan hutan di kawasan Puncak, Bogor untuk dijadikan kebun teh. Disebutkan banyak korban jiwa dalam peristiwa itu.

Kemudian, Pemerintah Hindia Belanda membuat perencanaan mencegah terjadinya lagi banjir serupa dengan mengendalikan air agar tak masuk ke kota. Belanda membuat kanal agar air dari Puncak bisa mengalir ke laut.

Pada 19 sampai 20 Januari 1979, banjir besar juga pernah melanda sebagian besar Jakarta, mengakibatkan 714.861 orang mengungsi dan 20 orang dilaporkan hilang.

Pada 9 sampai 11 Februari 1996, DKI Jakarta kembali mengalami banjir besar. Ketinggian air di kawasan tertentu mencapai 7 meter. Sedikitnya 20 orang tewas dan 30.000 lainnya mengungsi.

Pada 1 sampai 2 Februari 2007, DKI Jakarta kembali terendam air. Ini termasuk bencana terburuk di mana 80 orang tewas, 320.000 terpaksa mengungsi. Kerugian akibat banjir tahun ini mencapai 4,3 triliun.

Pada medio Januari 2013, Jakarta dilanda banjir terbesar akibat tingginya intensitas hujan sejak akhir Desember 2012, ditambahkan dengan buruknya sistem drainase dan jebolnya beberapa tanggul. Sedikitnya 20 orang dilaporkan meninggal dunia, 33.500 orang mengungsi. Kerugian ditaksir mencapai 20 triliun.

Sedangkan berdasarkan catatan dari Historia.id, banjir Jakarta juga pernah terjadi pada 1 Januari 1892, selama delapan jam lebih, hujan turun begitu lebatnya. Saluran air tak mampu menampung limpahan air. Banjir pun melanda. Sejumlah rumah terendam banjir. Rel kereta api Batavia-Buitenzorg (kini Bogor) nyaris terendam di daerah sekitar Pasar Minggu.

Setahun berselang, masih dalam catatan historia.id banjir kembali melanda. Kali ini banyak perkampungan dan bagian kota yang lebih modern ikut terendam seperti Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan Kemayoran. Banjir tak hanya merusak jalan-jalan di Weltevreden, “tapi juga merusak perekonomian,” tulis Restu Gunawan dalam Gagalnya Sistem Kanal. Singkat kata, “banjir yang terjadi tahun 1893 mengakibatkan Batavia terendam.”

Jakarta merupakan dataran rendah yang elevasi maksimalnya tak lebih dari tujuh meter dpl. Di banyak tempat, bahkan ada yang berada di bawah permukaan laut. Jumlahnya kira-kira mencapai 40 persen. Konsekuensinya: Jakarta langganan banjir. Selain dua banjir di atas, banjir terjadi pada 1895 dan 1899.

Sejarawan sekaligus Budayawan Ridwan Saidi menyebut banjir di DKI Jakarta telah sering terjadi ratusan tahun lalu. Bahkan DKI Jakarta telah dirundung bencana banjir sejak Zaman kolonial Belanda menjajah Indonesia.

Dalam sebuah acara yang di siarkan salah satu tv nasional Indonesia, dengan program acara Indonesia Lawyer Club, Ridwan Saidi menceritakan tentang banjir pertama kali yang melanda Jakarta.

"Banjir kapan bermula? banjir bermula 1640, ketika di Binnenstaat-Kota Dalam berbatasan dengan Harco mulai dari Jalan Kakap. Sungai di situ Sungai Opak segala macem itu dirusak arahnya, bahkan itu Kali Besar itu dimatikan arusnya ke utara, daerah Pasar Ikan," ungkap seseorang yang sering disapa Babe Saidi itu.

Babe Saidi menambhakan, Kali Besar itu disuruh belok ke arah kepada Kali Adem. Inilah yang menyebabkan banjir tahun 1640 besar. Saat itu Belanda tidak berfikir bagaimana banjir yang dia timbulkan itu dengan merusak aliran-aliran sungai, dan bagaimana mengatasinya.

Masalah yang sebabkan Pemerintah Belanda, kata Babe Saidi diselesaikan oleh Kapitain Tionghoa Poa Beng Guan pada tahun 1641. Kala itu, Poa Beng Guan membuat sejumlah sodetan Kali Ciliwung agar dapat mengalihakn air di kawasan Gambir dan sawah Besar.

"Poa Beng Guan itu berfikir harus ada sodetan dari Kali Jambu sampai Istiqlal yang belok ke kanan ke Gunung Sahari dengan Kali Ciliwung Gadjah Mada sekarang," ungkap Babe Saidi.

Babe Saidi mengimbuhkan, karena Kali Ciliwung Gadjah Mada sekarang oleh Belanda juga alurnya dari Jalan Abdul Muis itu sudah dirusak oleh Belanda, Maka dibuatlah Sodetan Barat-Timur di belakang Istana Negara. Kanal yang ada sekarang ini katanya bukan merupakan sungai, tetapi merupakan sebuah sodetan.

"Kalau Barat-Timur itu biasanya bukan kali, tapi sodetan. Kalau Kali ya selatan-utara," imbuhnya.

Lantas, apa yang menyebabkan banjir terus melanda Jakarta?

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, melansir dari CNNIndonesia.com, mengatakan salah satu penyebab banjir Jakarta adalah akibat pengambilan air tanah yang cukup banyak. Kondisi ini menyebabkan permukaan tanah semakin menurun di bawah permukaan laut. Selain itu, Banjir juga disebabkan oleh banyak tempat pembuangan saluran air yang tersumbat. Populasi sampah sering menumpuk di bagian hilir sungai. Genangan air dengan mudah muncul apabila alirannya tersumbat oleh sampah.

Menurut penelitian dalam jurnal Teknologi Lingkungan (2002) milik Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), banjir di DKI Jakarta juga disebabkan oleh pencemaran limbah industri dan rumah tangga. Perilaku masyarakat dan industri yang gemar membuang limbah dan kotoran ke sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan. Kemampuan sungai dalam menampung dan mengalirkan air hujan kian menurun.

Sedangkan dari sudut pandang antropologis, kecenderungan masyarakat untuk membuang limbah dan kotoran ke sungai telah menjadi adat dan kebiasaan sejak dulu kala, jauh sebelum adanya sarana dan prasarana sanitasi.

Apa yang disampaikan di atas mengambarkan bahwa DKI Jakarta memanglah sebuah tempat yang rawan sekali terjadi banjir. Hal ini yang mendorong Babe Saidi berpendapat bahwa banjir yang terjadi di Jakarta bukan karena ulah Anies Baswedan.

“Bisa jadi Anies Baswedan adalah korban dari kambing hitam yang dilakukan oleh beberapa oknum,” ungkapnya.

Oleh: Shreya Duma, Warganet