Biografi Sayidina Hasan Bin Ali RA
Rabu, 2 September 2020
Faktakini.net
BIOGRAFI SAYYIDINA HASAN BIN SAYYIDINA ALI RA
Oleh : Noer Adektya Ekaviana,
16 Desember 2019
Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya
Sayidina Hasan bernama lengkap Hasan bin Ali bin Abi Thalib Al Hasyimi Al Quraisy. Ayahnya adalah salah satu Khulafaurrasyidin yaitu Ali bin Abi Thalib. Ibundanya adalah Sayyidina Nisa‟ Al Alamin (Pemimpin Seluruh Perempuan Di Dunia), Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah. Hasan memiliki kuniah Abu Muhammad. Dia adalah cucu kandung dan buah hati Rasulullah di dunia serta salah satu di antara pemimpin para pemuda penghuni surga. Menurut riwayat-riwayat shahih, Fatimah dinikahkan oleh Nabi Muhammad dengan Ali bin Abi Thalib pada tahun 2 Hijriyah, sesudah perang Badar. Dari perkawinannya ini mereka dikaruniai 5 orang anak, yaitu Hasan, Husein, Ummu Kultsum, Zainab, dan Muhassin.
Sayidina Hasan lahir di Madinah pada bulan Ramadhan tahun 3 H. Mulanya, sang ayah menamainya Harb, tetapi kemudian Rasulullah mengubah nama itu menjadi Hasan. Setelah itu, beliau sendiri yang mengakikahkan Hasan pada hari ketujuh kelahirannya, memangkas rambutnya, lalu memerintahkan sedekah perak seberat rambut itu.
Hasan tumbuh besar dalam kediaman Rasulullah dan sangat dekat dengan beliau. Hasan memiliki keistimewaan sebagai makhluk Allah yang paling mirip dengan Rasulullah, khususnya pada bagian wajah dan setengah tubuh bagian atas. Rasulullah sangat mencintai Hasan dan selalu mengajaknya bermain-main. Bahkan, Rasulullah sering membiarkan punggung beliau untuk menjadi tunggangan Hasan saat beliau sujud dan beliau sengaja memanjangkan sujudnya demi sang cucu. Suatu ketika, Hasan pernah naik ke mimbar bersama Rasulullah. Lalu beliau bersabda tentangnya, “Putraku ini adalah Sayid. Mudah-mudahan melalui dia Allah kelak akan mendamaikan antara dua golongan kaum muslimin. ”Beliau juga sering mendoakan Hasan dengan doa, “Ya Allah, cintailah dia karena aku mencintainya.” Saat kecil Hasan sering dipeluk dan bercanda dengan Nabi Muhammad, karena Rasulullah sangat mencintai cucunya itu.
Banyak hadits yang menjelaskan keutamaan-keutamaan yang dimiliki Hasan dan saudara kandungya Husain, diantara hadits riwayat Abu Hurairah, Abu Hurairah berkata, suatu ketika Rasulullah keluar bersama Hasan dan Husain. Ketika seorang dari keduanya berada di salah satu bahu beliau maka yang lain berada di bahu beliau yang lain. Lalu beliau terus mencium keduanya silih berganti sampai beliau tiba di dekat kami dan bersabda, “Barang siapa mencintai mereka berdua, berarti orang itu telah mencintaiku. Dan barang siapa membenci keduanya, berarti orang itu telah membenciku”.
Suatu ketika Rasulullah melihatnya sedang memasukkan sebutir kurma sedekah ke dalam mulutnya. Beliau langsung mengeluarkan kurma itu seraya bersabda, ”Sesungguhnya kita adalah keluarga Muhammad dan sedekah tidak dihalalkan bagi kita.”
Ketika Rasulullah wafat, Hasan masih sangat belia dengan usia kurang dari delapan tahun. Enam bulan setelah Rasulullah wafat, ibunda Hasan, Fatimah Az Zahra juga meninggal dunia. Kedua kejadian itu tentu saja berdampak besar dalam pembentukan kepribadian Hasan. Setelah peristiwa itu, dia menjadi sangat dekat dengan ayahnya, Ali bin Abi Thalib.
Penghormatan juga dilakukan oleh para Khalifah dan para sahabat lainnya kepada Hasan bin Ali, seperti: Hasan sangat dilindungi, dihormati, dicintai bahkan dimuliakan Abu Bakar As-Shiddiq. Begitu juga Umar bin Khattab, seorang sahabat Al-Waqidi meriwayatkan dari Musa bin Muhammad bin Ibrahim bin Harits At-Taimi dari ayahnya bahwa para sahabat yang mengikuti perang Badar mendapatkan santunan negara sejumlah 5.000 dirham sebulan, dan Umar memasukkan Hasan dan Husein dalam hal itu.
Hasan dan Husein juga dicintai dan dimuliakan oleh Usman bin Affan. Saat terjadi pengepungan, Hasan berada di dekat Usman yang terhunus pedang untuk melindunginya. Karena Usman khawatir akan keselamatan Hasan, ia menyuruhnya pulang.
Begitu pula Ali sangat memuliakan, menghormati dan mengagungkan Hasan. Suatu ketika ia berkata kepada putranya itu, “Wahai anakku, maukah engkau berkhutbah? Aku ingin sekali mendengarkannya.” Hasan menjawab, ”Aku malu berkhutbah sementara aku melihatmu.” Kemudian Ali mencari tempat yang mana Hasan tidak melihatnya. Lalu Hasan berdiri dan berkhutbah dengan indah dan fasih didepan jamaah. Sedangkan di tempat lain Ali mendengarkan khutbahnya.
Saat Hasan dan Husein ingin menunggang hewan tunggangannya, Abdullah bin Abbas biasanya mengambil sanggurdi untuk keduanya. Hal itu menjadi nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Saat Hasan melakukan thawaf di Masjidil Haram, banyak orang beramai-ramai mendatanginya dan mengucapkan salam kepadanya.
Hasan juga dimuliakan dan dihormati oleh Muawiyah. Ia sering dikirimi hadiah sebanyak 100.000 dirham setiap tahun. Hasan pernah datang mengunjunginya lalu Muawiyah memberinya hadiah sebanyak 400.000 dirham.
Hasan bin Ali menyaksikan dengan jelas kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Sebelum akhirnya sang ayah menjabat sebagai Khalifah. Dia banyak bergaul dengan para sahabat Rasulullah sehingga dapat meneladani akhlak dan adab mereka. Selama itu pula, Hasan mengalami beberapa peristiwa penting. Yang pertama adalah peritiwa fitnah yang menyerang Khalifah Usman bin Affan. Hasan turun langsung untuk membela Usman bin Affan hingga wajahnya berdarah. Yang kedua, dia ikut menyaksikan pembaiatan ayahnya, Ali sebagai Khalifah. Dia juga menyaksikan peristiwa yang terjadi setelah itu, seperti perang Jamal dan perang Shiffin yang sangat tidak diharapkan terjadinya. Ketika ayahnya gugur sebagai syahid, penduduk Irak dan Khorasan langsung membaiat Hasan sebagai Khalifah yang baru. Hasan bin Ali lalu menjabat Khalifah selama sekitar delapan bulan, sampai akhirnya pertempuran antara dirinya melawan Muawiyah bin Abi Sufyan nyaris terjadi, kalau saja Hasan tidak memiliki kebaikan hati dan keluasan pandangan. Setelah terjadi kekacauan yang diselingi surat-menyurat antara dirinya dan Muawiyah, akhirnya Hasan bersedia turun dari tampuk kekhalifahan yang sah. Hasan memberi kesempatan kepada Muawiyah untuk menjabat sebagai Khalifah agar umat Islam berada dibawah naungan satu pemimpin saja. Selain itu juga, demi menghentikan fitnah dan pertumpahan darah yang menganggu stabilitas umat Islam. Peristiwa itu terjadi pada pertengahan bulan Jumadil Ula tahun 41 H. Sehingga hal tersebut dinamakan dengan istilah „Am Al-Jama‟ah (Tahun Persatuan), sebab pada tahun itu seluruh umat Islam bersatu kembali berkat jasa Hasan bin Ali. Dengan apa yang dilakukannya itu, Hasan telah menggenapi nubuat yang dulu pernah disampaikan oleh kakeknya, Rasulullah melalui sabdanya, “Sungguh, anakku ini adalah sayid. Semoga melalui dia Allah mendamaikan dua kelompok besar dari kaum muslimin (yang saling berseteru).” Hasan pernah berkata, ”Aku tidak menyukai bila memimpin urusan pengikut Rasulullah yang menyebabkan pertumpahan darah.”
Hasan adalah pribadi yang bertakwa, wara‟, pemberani, dan penyabar. Karena sifat wara‟nya itulah, dia meninggalkan kekuasaan dan kemegahan dunia demi meraih yag ada di sisi Allah. Hasan merupakan sosok pribadi yang dermawan dan budiman. Hasan pernah sekali menginfakkan setengah dari hartanya. Kemudian dia pernah dua kali menginfakkan seluruh hartanya yang tersisa untuk keperluan Jihad Fi Sabilillah.
Kepribadian lain yang dimiliki Hasan yakni suka membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan. Abu Ja‟far Al-Baqir menyatakan bahwa terdapat seorang laki-laki yang meminta bantuan, ia kemudian mendatangi Husein, tetapi ia menolak secara halus permintaan laki-laki itu karena dia sedang melakakukan i‟tikaf. Kemudian lelaki itu mendatangi Hasan untuk meminta bantuan, akhirnya Hasan menyetujui permintaannya. Berkatalah ia, ”Membantu keperluan saudaraku karena Allah lebih aku sukai daripada beri‟tikaf sebulan penuh.”
Hasan termasuk pribadi yang sering menikah dan sering pula bercerai. Para sejarawan menyebutkan, di antara istri Hasan adalah Khaulah Al-Fazariyyah, Ja‟dah binti Al-Asy‟ats, Aisyah Al-Khats‟amiyah, Ummu Ishaq binti Thalhah binti Ubaidullah At-Tamimi, Ummu Basyir binti Abu Mas‟ud Al-Anshari, Hindun binti Abdurrahman Bin Abu Bakar, Ummu Abdullah binti Asy-Syalil Bin Abdullah (Saudara Jarir Al-Bujali), seorang wanita dari Bani Tsaqif, seorang wanita dari Bani Amr Bin Ahim Al-Minqari, seorang wanita dari keluarga Hammam bin Murrah dari Bani Syaiban. Ada kemungkinan jumlah istri Hasan memang lebih banyak sedikit dari yang disebutkan ini. Dan jumlahnya tidak sebanyak tuduhan orang kepadanya, sekalipun kaum pria pada zaman itu memang suka kawin dengan banyak wanita. Sedangkan riwayat-riwayat yang mengatakan bahwa ia telah menikahi 70, 90, 250, dan bahkan 300 wanita adalah riwayat yang janggal dan palsu. 45 Kepada penduduk Kufah, ayah Hasan, Ali bin Abi Thalib berkata, “Janganlah kalian menikahkan putri kalian dengan Hasan. Sebab, dia adalah laki-laki yang sering mencerai istrinya”. Namun, salah seorang penduduk Kufah malah berkata, “Demi Allah, kami tetap akan menikahkan putri kami dengannya. Sebab, dia berhak meneruskan pernikahan dengan istri yang dikehendakinya dan menceraikan istri yang tidak dikehendakinya.”
Menurut riwayat bahwa dalam sehari Hasan pernah menalak dua istrerinya. Kemudian Ia mengirim 10.000 dirham dan drum madu kepada keduanya sebagai pemberian karena penceraian. Maka berkatalah ia kepada pelayannya, “Coba dengarkan apa komentar mereka berdua!”. Seorang wanita dari suku Fazariyyah berkata, “Semoga Allah membalasnya dengan kebaikan.” Kemudian ia mendoakan hal-hal kebaikan untuk Hasan. Sedangkan wanita lain yang berasal dari Bani Asad berkata, ”Hadiah yang sedikit dari kekasih yang pergi.” Lalu Hasan mendengar apa yang disampaikan Pelayan. Kemudian wanita dari bani Asad di rujuk oleh Hasan dan meninggalkan wanita Fazariyyah.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Hasan pernah tidur bersama dengan isterinya yang bernama Khaulah binti Manzhur Al-Faazari, tetapi ada yang mengatakan Hindun binti Suhail di atas atap rumah mereka yang tidak berpagar. Kemudian isterinya bangun dan mengikat kaki Hasan dengan kerudungnya pada gelang kakinya. Saat bangun, ia berkata, ”Apaapaan ini ?”. Berkatalah isterinya, ”Aku khawatir engkau bangun dari tidur lalu engkau jatuh dari atap sehingga aku menjadi wanita yang paling tercela di kalangan masyarakat Arab.” Hasan merasa tertegun mendengar jawaban isterinya itu. Maka, ia meneruskan malam-malam berikutnya bersama sang isteri selama tujuh malam.
Keturunan Hasan bin Ali jumlahnya banyak, berikut nama-nama anak Hasan adalah Hasan, Zaid, Thalhah, Qasim, Abu Bakar, Abdullah (semua yang disebutkan ini gugur sebagai syahid di Karbala bersama pamannya Husein), Amir, Abdurrahman, Husein, Muhammad, Ya‟qub, Ismail, Hamzah, Ja‟far, Uqail, Dan Ummul Husein.
Hasan terhitung sering berziarah ke Baitullah. Diriwayatkan bahwa Hasan berangkat untuk melakukan ibadah haji dengan berjalan kaki. Hal itu dilakukannya sebanyak 25 kali. Sedangkan untanya dituntun bersamanya. Berkenaan dengan hal ini, Hasan berkata, “Sungguh, aku malu kepada Tuhanku jika aku bertemu dengan-Nya, tetapi aku tidak pernah berjalan ke Bait-Nya.” Nama Hasan banyak disebut dalam kitabkitab hadits. Ia meriwayatkan hadits dari Rasulullah, Ali bin Abi Thalib, dan Husein bin Ali. Sementara itu, yang meriwayatkan hadits darinya amatlah banyak jumlahnya. Hasan menghabiskan sisa hidupnya di Madinah An-Nabawiyah yang menjadi tempat kelahiran dan kampung halamannya.
Hasan wafat pada tahun 49 H atau dalam sebuah riwayat disebutkan tahun 50 H dalam usia 47 tahun. Menurut riwayat, Hasan meninggal dunia karena diracun. Ketika saudaranya, Husein bertanya kepadanya tentang siapa yang telah meracunnya, Hasan menjawab, “Apakah engkau bertanya seperti itu karena engkau ingin membalas orang yang melakukan itu? Serahkan saja mereka kepada Allah.” Disebutkan bahwa Hasan disuguhi minum kemudian beliau pingsan, kemudian beliau diberi minum lagi, beliau kembali pingsan hingga pada akhirnya beliau meninggal. Menurut riwayat terdapat tokoh-tokoh penting yang diduga sebagai orang yang meracuni Hasan, diantaranya bahwa Muawiyah menyuruh salah seorang khadim (pelayannya) untuk menyuguhkan racun kepadanya. Selain itu terdapat sebagian orang meriwayatkan bahwa Yazid bin Muawiyah menyuruh istri Hasan yang bernama Ja‟dah binti Al-Asy‟ats untuk meracuni Hasan dengan janji ia akan menikahinya setelah itu. Lalu Ja‟dah pun melakukan perintah itu.
Setelah Hasan wafat, Ja‟dah menemui Yazid dan menagihnya janjinya. Yazid berkata, “Demi Allah, kami tidak merelakan dirimu untuk dinikahi Hasan, bagaimana mungkin kami bisa merelakan dirimu untuk kami nikahi.” Ibnu katsir berkata, “Riwayat ini tidak shahih, dan lebih tidak shahih lagi riwayat dari ayahnya, yakni Muawiyah.” 49 Menurut Muhammad Ali Ash-Shallabi bahwa kelompok pertama yang paling banyak dituduh sebagai pelaku peracunan Hasan adalah kelompok Saba‟iyah, pengikut Abdullah bin Saba‟ yang terpukul oleh perdamaian Hasan dengan Muawiyah. Kelompok tertuduh kedua adalah kaum Khawarij yang telah membunuh Ali bin Abi Thalib. Barangkali mereka ingin membalas dendam atas kematian rekan-rekannya di Nahrawan dan tempat-tempat lain.
Hasan bin Ali lantas berwasiat agar jasadnya dikebumikan di samping makam kakeknya, Rasulullah. Namun, jika hal itu dikhawatirkan akan menyebabkan fitnah, dia meminta agar jasadnya dimakamkan di area pemakaman Baqi‟.
Berkatalah Al-Waqidi, „Ibrahim bin Fadhl telah menceritakan kepada kami dari Abu Atiq ia berkata. Aku mendengar Jabir bin Abdillah berkata, “Kami datang menjenguk Hasan di hari beliau wafat. Saat itu keributan hampir saja terjadi antara Husein bin Ali dan Marwan bin Hakam. Hasan telah mewasiatkan kepada saudaranya agar dikebumikan bersama Rasulullah. Jika dikhawatirkan akan menimbulkan pertumpahan darah dan keributan hendaklah jenazahnya dikebumikan di Baqi‟ saja. Akan tetapi Marwan tidak mengizinkan Husein menguburkannya bersama Rasulullah. Pada saat itu Marwan telah dicopot dari jabatannya. Ia lakukan itu untuk mencari simpati kepada Muawiyah.”
Jabir berkata, “Aku berbicara kepada Husein bin Ali, kukatakan kepadanya”, “Wahai Abu Abdillah, Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya saudaramu tidak ingin keributan ini terjadi. Kebumikanlah jenazahnya di pekuburan Baqi‟ bersama ibunya.” Maka Husein pun melakukannya.
Riwayat lain menyebutkan bahwa Hasan pernah mengutus seorang menghadap Aisyah untuk meminta izin apabila ia meninggal jenazahnya dikebumikan di kamar bersama Rasulullah, dan Aisyah mengizinkannya. Saat wafatnya Hasan terjadi perselisishan, antara Husein dengan bani Umayyah Mereka berkata, “Kami tidak membiarkannya dikebumikan bersama Rasulullah. Apakah ia dikuburkan di kamar bersama Rasulullah sementara Usman di dikuburkan di Baqi‟?”
Karena dikhawatirkan menimbulkan pertumpahan darah, Sa‟ad bin Abi Waqqash, Abu Hurairah, Jabir dan Ibnu Umar menyarankan kepada Husein agar tidak melakukan perlawanan. Ia pun menyetujuinya dan akhirnya menguburkan Hasan di dekat makam ibunya di Baqi‟.
Demikianlah akhirnya jasad Hasan dimakamkan di Baqi‟ AlGharqad, berdampingan dengan makam ibunya, Sayidah Fatimah. Diantara sahabat yang menshalatkan jenazahnya adalah Sa‟id bin Al-Ash, Gubernur Madinah pada saat itu. Jenazahnya diiringi oleh kaum muslimin dalam jumlah yang sangat banyak.
Daftar Pustaka
Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Hasan Bin Ali (Jakarta: Ummul Qura, 2017).
Sami, Jejak Khulafaur Rasyidin 3 Ustman Bin Affan (Jakarta: Almahira, 2014).
Ibnu Katsir, Albidayah Wan Nihayah, Terj. Abu Ihsan Al Atsari (Jakarta: Darul Haq, 2014).