Inilah Muso Gembong PKI Penguasa Ilmu Hitam, Jasadnya Dibakar Usai Pemberontakan PKI 1948 Gagal



Selasa, 29 September 2020

Faktakini.net, Jakarta - Dalam waktu sekejap, Madiun Affair atau Peristiwa Madiun atau pemberontakan PKI tahun 1948 yang menelurkan Republik Soviet Indonesia pun buyar dan hanya berlangsung seumur jagung. 

18 September 1948 pemberontakan PKI itu meletus, 30 September di tahun yang sama gerakan makar itu berhasil dibasmi.

Dengan pasukan gabungan Republik Soviet Indonesia, Divisi I yang dikomandoi Kolonel Soengkono dan tak lupa elemen polisi dari Mobil Brigade (kini Brigade Mobil atau Brimob), para simpatisan Partai Komunis Indonesia/Front Demokrasi Rakyat (PKI/FDR) kocar-kacir.

Selama 12 hari setelah Kota Madiun dikuasai PKI/FDR pimpinan Musso dan Amir Sjarifoeddin, TNI dan Mobrig sukses mengamankan kota itu kembali. Sementara Pimpinan
Republik Soviet Indonesia sendiri berhasil tertangkap dan dieksekusi dan Musso yang sempat kabur juga bisa dihabisi.

Kronologinya setelah TNI kembali merebut Madiun, Musso berusaha melarikan diri. Seperti dikutip dari buku karya Soe Hok Gie, ‘Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan’, Musso terlihat pada 31 Oktober 1948 di Desa Balong yang coba menyabar jadi rakyat biasa.

Petugas jaga di sekitar desa itu sempat curiga dan memberhentikan Musso untuk dimintai surat-surat keterangan. Ketika barang bawaannya diperiksa, Musso merampas pistol seorang penjaga untuk menembak si pemeriksa, kemudian kabur dengan dokar yang dirampasnya dari seorang rakyat sekitar.

Pasukan TNI pun mengejar Musso yang di tengah jalan, berhasil menodong sebuah mobil dari pasukan Batalion Sunandar. Nahas, mobilnya sempat sulit dinyalakan dan prajurit yang sebelumnya ditodong, balik menodong Musso.

“Engkau tahu siapa saya? Saya Musso. Engkau baru kemarin jadi prajurit dan berani minta saya menyerah? Lebih baik saya mati dari pada menyerah. Walau pun bagaimana, saya tetap merah putih,” seru Musso.

Musso pun kembali berhasil lari ke sebuah desa bernama Semanding, Kecamatan Sumoroto, Ponorogo, Jawa Timur. Musso sempat lari ke sebuah kamar mandi milik seorang warga sekitar.

Pasukan TNI yang sudah tahu tempat bersembunyi Musso, langsung memberondong kamar mandi itu. Musso pun tumbang, sekarang tapi belum tewas. Tubuhnya dibawa dengan menggunakan drag bar atau tangga bambu untuk menggotong tubuh Musso.

“Di tengah drag bar itu patah dan akhirnya Musso digeret saja. Kemungkinan besar dia baru meninggal pas di perjalanan untuk dibawa dari Desa Semanding ke alun-alun Kabupaten P0norogo,” sebut penggiat sejarah Wahyu Bowo Laksono kepada Okezone.

“Di sana (alun-alun) dilakukan observasi dan pemotretan untuk meyakinkan kembali kalau (jenazah) itu benar-benar Musso. Sekaligus dipertontonkan ke khalayak ramai,” tambahnya.

Setelah dipamerkan ke rakyat sekitar, jasad Musso diputuskan tidak dikuburkan, melainkan dibakar dan abunya dibiarkan berserakan di alun-alun.

“Karena kalau dimakamkan, kalau makamnya diketahui, maka bisa jadi simbol untuk dipuja-puja pendukungnya kelak. Kenapa dibakar? Karena pada saat itu diyakini banyak gembong PKI (yang masih hidup) punya ilmu kanuragan dan salah satu cara memusnahkannya nya dibakar,” tandas Wahyu.

.. 

Musso atau Paul Mussotte [bernama lengkap Muso Manowar atau Munawar Muso (lahir: Kediri, Jawa Timur, 1897 - Madiun, Jawa Timur, 31 Oktober 1948) adalah seorang tokoh komunis Indonesia yang memimpin Partai Komunis Indonesia (PKI) pada era 1920-an dan dilanjutkan pada Pemberontakan Madiun 1948.

Masa Kecil dan Pendidikan

Musso berasal dari keluarga berada dan hidupnya berkecukupan. Ayahnya, Mas Martoredjo adalah pegawai bank di Kecamatan Wates. Ibunya mengelola kebun kelapa dan kebun mangga. Sedari kecil Musso rajin mengaji di mushala di desanya.

Pada usia 16 tahun Musso melanjutkan pendidikan ke sekolah guru di Batavia. Di Batavia Musso diangkat anak oleh G.A.J. Hazeu. Musso juga bertemu Alimin Prawirodirdjo yang nantinya menjadi pentolan PKI. Setamatnya sekolah guru Mussso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg (Bogor). Versi lain menyebut Musso bersekolah di Hogere Burger School.

Sewaktu berada di Surabaya, Musso kos di rumah Tjokroaminoto dan bertemu dengan H.J.F.M. Sneevliet. Musso muda juga satu kos bersama Soekarno dan Kartosuwiryo muda yang kelak mereka akan berbeda haluan ideologi dalam pemikiran.

Ketika Tjokroaminoto mendirikan Sarekat Islam pada 1912, Musso aktif di dalamnya. Musso juga aktif di ISDV bentukan Sneevliet yang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia[3].

Peran di PKI

Musso adalah salah satu pemimpin PKI di awal 1920-an. Dia adalah pengikut Stalin dan anggota dari Internasional Komunis di Moskwa. Pada tahun 1925 beberapa orang pemimpin PKI membuat rencana untuk menghidupkan kembali partai ini pada tahun 1926, meskipun ditentang oleh beberapa pemimpin PKI yang lain seperti Tan Malaka. Pada tahun 1926 Musso menuju Singapura dimana dia menerima perintah langsung dari Moskwa untuk melakukan pemberontakan kepada pemerintahan kapitalis Belanda. 

Musso dan pemimpin PKI lainnya, Alimin, kemudian berkunjung ke Moskwa, bertemu dengan Stalin, dan menerima perintah untuk membatalkan pemberontakan dan membatasi kegiatan partai menjadi dalam bentuk agitasi dan propaganda dalam perlawananan nasional. 

Akan tetapi pikiran Musso berkata lain. Pada bulan November 1926 terjadi beberapa pemberontakan PKI di beberapa kota termasuk Batavia (sekarang Jakarta), tetapi pemberontakan itu dapat dipatahkan oleh penjajah Belanda. Musso dan Alimin ditangkap. Setelah keluar dari penjara Musso pergi ke Moskwa, tetapi kembali ke Indonesia pada tahun 1935 untuk memaksakan "barisan populer" yang dipimpin oleh 7 anggota Kongres Komintern. Akan tetapi dia dipaksa untuk meninggalkan Indonesia dan kembali ke Uni Soviet pada tahun 1936.

Pada 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Indonesia lewat Yogyakarta. Pada tanggal 5 September 1948 dia memberikan pidato yang menganjurkan agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Pemberontakan terjadi di Madiun, Jawa Timur ketika beberapa militan PKI menolak untuk dilucuti. Pihak militer menyebutkan bahwa PKI memproklamasikan "Republik Soviet Indonesia" pada tanggal 18 September 1948 dan mengangkat Musso sebagai presiden dan Amir Sjarifuddin sebagai perdana menteri. Akan tetapi pemberontakan dapat dipadamkan oleh pihak militer. Pada tanggal 30 September 1948, Madiun direbut oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan sejumlah 36.000 orang dipenjarakan. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober, ketika rombongannya bertemu dengan pasukan TNI yang memburunya.

Akhir Hidup Sunting
Setelah Madiun direbut tentara, Musso bersama Amir Sjarifoeddin dan pentolan PKI lain melarikan diri ke Ponorogo. Musso berselisih dengan Amir dan memisahkan diri ke arah selatan dengan hanya dikawal dua orang, sementara Amir melanjutkan ke Pacitan. Musso dan pengawalnya kabur dengan menaiki sebuah delman sementara tentara mengejarnya. Dalam kejar-kejaran terjadi saling tembak hingga kuda delman tertembak. Musso berlari dan bersembunyi di sebuah kamar mandi di sebuah pemandian umum. Satu peleton tentara mengepung dan kembali terjadi baku tembak. Ketika keluar kamar mandi, Musso tertembak dua kali. Mayatnya sempat dibawa ke RS Ponorogo untuk diawetkan sebelum kemudian dibakar secara diam-diam


Muso atau Muso Manowar adalah salah satu pemimpin pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia) di Madiun yang membuat kota Pecel itu banjir darah. Pria kelahiran Kediri berbadan gempal dengan sifat tempramental dan tidak sabaran, bersama Amir Sjarifuddin ingin membentuk “Republik Soviet Indonesia” yang berafiliansi kepada Soviet tahun 1948.

Tanggal 18 September 1948 Muso meproklamasikannya Negara Republik Soviet Indonesia di Madiun, dan mengangkat dirinya menjadi Presiden dan Amir Sjarifuddin sebagai wakil presiden.

Mendengar itu pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno tidak tinggal diam, divisi II di bawah komando kolonel Gatot Soebroto, divisi Siliwangi dan divisi I di bawah komando kolonel Soengkono, menyerang PKI dari 2 penjuru, barat dan timur. Setelah berperang sengit selama 2 minggu tanggal 30 september 1948 Madiun telah berhasil direbut oleh pemerintah Indonesia, dan 3 divisi tadi bertemu di Hotel Merdeka Madiun. Muso yang mendapati pasukannya gagal mempertahankan kota Madiun akhirnya di lari ke arah Ponorogo lewat gunung Wilis.

Muso telah ditinggalkan pasukannya, pasukan awalnya berjumlah besar, kini menjadi kecil setelah ditumpas pasukan divisi Siliwangi. Mereka (pasukan PKI) kecewa atas kegagalan perang melawan tentara Indonesia sehingga mereka harus lari untuk menyelamatkan diri menuju Pacitan untuk bergabung dengan pasukan PKI yang lebih besar. Muso harus segera bertindak, tapi apa daya komunikasi ke Pacitan telah terputus celakanya dia mendapatkan kabar kalau Pacitan telah dikuasai tentara Indonesia.

Soewarno Mencurigai Pria Gemuk

Tanggal 31 Oktober, Soewarno menjadi saksi mata dan pelaku pengejaran Muso di Ponorogo menceritakan kisahnya. Ketika ia sedang ngobrol dengan seorang polisi yang bernama Redjosudarmo. Mereka melihat orang berbadan gemuk, kulitnya kuning dan rapi mengenakan celana hitam, berbaju kaos dan mengenakan sarung dipundaknya. Mereka mencurigai jika orang tersebut adalah Muso, petinggi PKI yang sedang dalam pelarian.

Mereka memanggil orang berbadan gemuk tadi dan menggeledah, di dalam tas pria gemuk cuma ada jas hujan dan ikat kepala. Polisi Redjosudarmo meminta menunjukan surat jalan, ketika Redjosudarmo memeriksa surat jalan, pria gemuk merapikan tas yang telah digeledah polisi dan seketika menembak polisi Redjosudarmo dan Soewarno. Soewarno berhasil selamat karena tembakannya meleset, sedangkan polisi Redjosudarmo terkena tembak 2 kali dan meninggal setelah sempat dibawa rumah sakit.

Panik dan merasa nyawanya terancam, Soewarno berteriak “Awas penghianat!!”

Sontak pemuda yang berjaga-jaga dipersimpangan jalan berdatangan melihat apa yang telah terjadi, setelah mengetahui situasinya mereka mengejar pria gemuk yang didiga adalah Muso, ada yang lari, bersepeda dan naik dokar. Soewarno menceritakan kejadian yang telah di alaminya ke pemimpin kepolisian Ponorogo. Setelah melapor ke polisi, Soewarno hanya mendengar pelarian Muso dari cerita orang lain.

Baku Tembak Antara Benu dan Pencuri Dokar

Benu anggota Dewan Pertahanan Masyumi di Ponorogo yang tinggal di Balong menceritakan, ia mendengar ada mata-mata di desanya dan telah aksi tembak-menembak. Benu langsung menuju lokasi melihat apa yang terjadi, di sana ia melihat 1 polisi (Redjosudarmo) terkena tembakan, serta melihat 3 orang lari tercerai berai. Kemungkinan 2 orang diantaranya adalah pengawal Muso.

Tak jauh dari lokasi kejadian, Benu melihat seseorang yang mengendarai dokar ditodong oleh senjata dan dokar dan kuda miliknya diambil untuk kabur. Sontak Benu langsung membantu dan mengejar pencuri dokar itu menggunakan sepeda, tapi pencuri dokar itu membalas dengan tembakan. Benu pun membalas tembakan, dan baku tembak pun terjadi.

Saat itu Benu melihat mobil melintas dan diberhentikannya, ternyata di dalam mobil ada 5 orang tentara. Entah sengaja atau tidak pencuri dokar tadi ikut menembak mobil, sontak tentara di dalam mobil membalas membuat kuda mati.

Soemandi dan 4 Perwira

Soemandi menceritakan kejadian itu, dia adalah salah satu tentara yang ada di dalam mobil ketika terjadi tembak menembak antara Benu dengan pencuri dokar. Ketika itu Soemandi ketika melewati Sumanding, ia melihat dokar dikusiri pria gemuk sedang dikejar 2 orang dengan mengendarai sepeda. 2 pengendara sepeda itu menghentikan mobil, ketika Soemandi turun dari mobil, ia ditembaki kusir dokar. Soemandi membalas tembakan kusir dokar, dengan menggunakan senjata Tomigun dan membuat kuda mati sehingga kusir jatuh ke jalan.

Ketika Soemandi di atas angin, tiba-tiba senjata Tomigunnya macet sehingga mereki dihujadi peluri oleh kusir dokar. Di tengah kondisi yang sulit Soemandi dan lainnya mundur untuk mencari bantuan ke seksi TNI Sumoroto. Melihat musuh mundur, kusir dokar menuju ke mobil dan mencoba mengendarainya, apes ternyata mobilnya tidak bisa dinyalakan.

Muso Menerima Mangga Benu

Kembali ke Benu, tentara-tentara yang dihentikan saat mengendarai mobil untuk membantunya malah melarikan diri. Saat kusir doktar hendak mengambil mobil, jarak antara Benu dan kusir dokar hanya 20 meter, jika dia melarikan diri menggunakan mobil, ia siap menembak bannya. Tapi tak disangka kusir dokar tadi masuk ke warung untuk minum dan pergi. Benu maju, kini jarak antara keduanya cuma 10 meter, ia mencari perlindungan di balik pohon Asam biar tidak terkena tembakan peluru.

Percakapan antara Benu dan kusir terjadi. Kusir berkata, “Boleh tembak, saya Muso tulen!”

“Apa betul?”

“Ya, saya Muso yang sudah pernah merantau keluar negeri.”

“Jika betul-betul Muso, tunduklah.”

“Lebih baik mati dari (pada) saya tunduk angkat tangan, tembaklah Pak Muso!”

“Saya tidak akan menembak Pak.”

Mendengar kusir mengatakan bahwa dirinya adalah Muso, Benu sangat paham yang dihadapinya adalah orang penting yang tak mudah tunduk.

Percakapan antara keduanya tetap terjadi, walaupun jarak antara ke duanya 10 meter. Benu berkeinginan agar Muso bisa ditangkap hidup hidup, sehingga dia menggunakan cara persuasif dengan mengajak bicara, berharap Muso menyerah. Benu memberikan 2 buah Mangga untuk Muso, dengan harapan bisa membujuknya. Benu menyuruh anak kecil pengembala kambing yang kebetulan berada di tempat kejadian untuk memberikan mangga itu kepada Muso. Muso menerima mangga itu dan memakannya dengan lahap.

“Pak kami ini anakmu sendiri dan kami pernah tahu juga pidatonya bapak waktu di Madiun.” Bujuk Benu.

“Ya karena apa tadi menembak saya? Ya, tembaklah Bapak!”

“Saya tidak mentolo (tidak tega) menembak Bapak, kasian Pak. Oleh sekarang sudah nyata, maka hendaknya senjata bapak diletakkan pun senjata saya, saya letakkan. Marilah bersama-sama saja, ini semua anak mu sendiri”

Ajakan Benu berhasil, Muso pun menyerah. Benu dan anggota DPM lainnya menangkap Muso hidup-hidup setelah terlibat baku tembak. Muso dibawa di sebuah rumah oleh anggota DPM.

Muso Meninggal di Kamar Mandi

Setelah Benu berhasil menangkap Muso hidup-hidup dan dibawa ke sebuah rumah, datang Brigade S yang dipimpin Sumandi dengan senjata lengkap. Dia meminta kepada anak-anak DPM menunjukan lokasi Muso. DPM meminta agar Muso jangan dibunuh, setelah Brigade S mengetahu lokasi Muso yang bersembunyi di kamar mandi rumah itu. Lantas Brigade S menembaki rumah itu selama 10 menit, melihat kejadian itu anak-anak DPM berteriak meminta menghentikan aksi brutal itu. Setelah tembakan berhenti, anak-anak DPM bergegas melihat kondisi Muso dan mendapati Muso tergeletak di kamar mandi dengan darah bercucuran di bagian lengan kiri dan dada kiri, Muso tewas.

Brigade S menggeledah mayat Muso dan hanya mendapati beberapa uang dan sapu tangan yang berlumuran darah, dan itu dijadikan sebagai barang bukti. Brigade S dan anak-anak DPM mencoba memastikan apa yang di hadapannya adalah Muso, mereka mencoba mengidentifikasi apakah ciri-ciri fisik sama dengan Muso.

Untuk memastikan lebih jelas, mayat Muso dibawa ke rumah sakit Ponorogo dan menunggu keluarga Muso dari Kediri untuk memastikan apakah itu Muso. Pihak rumah sakit hendak mengawetkan jenasah Muso sambil menunggu keluarga dari Kediri tapi gagal. Dikwatirkan jenasah Muso membusuk setelah nunggu selama 3 hari, TNI meminta wartawan untuk memfotonya, kemudian kabar kematian Muso tersebar.

***

Demikianlah kisah pengejaran Muso saat melarikan diri dari kejaran pasukan divisi Siliwangi, yang berakhir tragis. Ada fakta-fakta menarik, dimana Muso sebelum kematiannya sempat minum di warung dan memakan 2 buah mangga pemberian Benu. Kami mendapatkan informasi ini dari buku “Madiun 1948 PKI Bergerak” karya Harry A Poeze, silahkan anda baca buku itu jika ingin melihat fakta-fakta menarik soal pemeberontakan PKI di Madiun.

Foto: Bangkai Muso

Sumber: okezone.com dan lainnya