Kisah Jendral S Parman Korban G 30 S / PKI Dan Sang Kakak Yang Elit Politbiro PKI
Rabu, 23 September 2020
Faktakini.net
KORBAN G30S/PKI
Letnan Jenderal S Parman
Setelah kemerdekaan, S Parman bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), karirnya moncer, prestasinya banyak, termasuk yang perlu dicatat, dia pernah menggagalkan rencana pembunuhan yang hendak dilakukan kelompok Raymond Westerling, APRA-Angkatan Perang Ratu Adil.
Tahun 1951, S Parman dikirim ke Amerika, sekolah di sana. Juga pernah dikirim ke London, sebagai atase militer Indonesia. S Parman adalah tentara yang brilian dalam urusan intelijen, posisi terakhirnya sebelum meninggal adalah soal intelijen.
Ir. Sakirman, adalah elit Politbiro CC PKI. Sejak sebelum masa kemerdekaan, Sakirman terlibat dalam banyak peristiwa penting, meski sipil, seorang insinyur, dia pernah menyandang pangkat Let Kol dalam pemerintahan awal-awal kemerdekaan.
Tapi berpuluh tahun kemudian, dua bersaudara yang lahir dari rahim ibu yang sama ini ternyata berbeda jalan antara ideologi dan keyakinan. Sangat berbeda.
S Parman, yang jelas terlatih dalam bidang intelijen dan menjabat Asisten I Intelijen AD tahun 1960-an, habis-habisan menolak ide pembentukan kekuatan kelima. Dia tidak mau jutaan rakyat, petani dan buruh tiba2 diberikan senjata.
Menurut S Parman, itu sungguh strategi licik yang amat membahayakan. Ada udang di balik batu. Itu rakyat yang mana? Sekali jutaan rakyat itu membawa senjata, crazy sekali, Indonesia bisa menjadi lautan perang saudara, darah tumpah di mana2. Tidak akan ada yang bisa mengontrol mereka.
Kakaknya, Sakirman, justru punya pendapat berbeda. Sebagai elit Politbiro CC PKI, dia habis-habisan menggelontorkan ide tersebut agar direstui penguasa. Elit PKI tahu persis, hanya TNI yang masih menjadi penghadang ide besar mereka mengambil-alih kekuasaan.
Maka, menurut Sakirman, apa pun harus dilakukan untuk menyingkirkan TNI, termasuk fitnah keji sekalipun, seolah2 TNI-lah yang hendak mengkudeta pemerintah. Pancasila tidak relevan lagi, itu bisa diganti dengan paham lain.
Soe Hok Gie dalam "Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan" menulis, Sakirman bersama DN Aidit, Lukman, dan Sidik Kertapati sempat bergabung dalam Barisan Pelopor Istimewa, semacam pengawal pribadi Bung Karno pada masa pendudukan Jepang.
Sementara, S Parman merupakan tentara yang brilian dalam bidang intelijen. Berpangkat terakhir sebagai Mayor Jenderal, Parman sempat mengenyam pendidikan di Koninklijke Militaire Academie di Breda, Belanda dan Amerika.
Di masa mudanya, pria kelahiran Wonosobo, 4 Agustus 1918 itu juga terlibat dalam Agresi Militer II. Kala itu, Parman ikut bergerilya di luar kota. Di masa pendudukan Jepang, dia juga pernah ditempatkan sebagai penerjemah pemerintah Jepang untuk bahasa Inggris.
Meski membantu Jepang, rasa nasionalisme Parman tetap tinggi. Dia disebut terus berhubungan dengan teman-temannya yang berjuang melalui gerakan bawah tanah.
Parman dan Sakirman menjadi seteru politik yang nyata. Satu TNI, satu PKI. Fakta ini membuat seorang indonesianis asal Amerika Serikat, Benedict Anderson, yang sempat bertemu Parman, menjadi heran.
"Si kakak adalah anggota Politbiro PKI, sementara adiknya Kepala Intelijen Angkatan Darat. Sulit membayangkan hal ini terjadi di Barat," ujar Ben Anderson dalam memoarnya Hidup di Luar Tempurung. Jabatan resmi Parman adalah Asisten I/Intelijen Menpangad.
Ketika bertemu di Jakarta, Parman sempat mengira Ben sebagai agen CIA. “Karena ia sesumbar punya mata-mata hebat dalam tubuh PKI sehingga, dalam hitungan jam, ia bisa tahu keputusan-keputusan Politbiro,” kenang Ben.
Singkatnya, kedua kakak beradik dari rahim yang sama ini ibarat dua sisi mata uang dari logam yang sama
Sebagai salah satu elite di PKI, Sakirman berjuang keras dan berupaya meyakinkan Presiden Sukarno agar segera dibentuk Angkatan kelima yang terdiri dari kaum Buruh dan Tani yang dipersenjatai.
Berbeda dengan adiknya S. Parman. Saat isu mengenai pembentukan Angkatan Kelima mencuat, Parman justru menjadi salah satu yang terdepan menolak. Sebagai seorang petinggi di intelijen Angkatan Darat, Parman menganggap keberadaan Angkatan Kelima malah memicu perang saudara.
Pada 1 Oktober 1965 malam, melalui sebuah operasi senyap, enam Jenderal senior, termasuk S Parman dan beberapa orang lainnya diculik pasukan Tjakrabirawa, pasukan pengawal presiden, yang loyal kepada PKI.
Sehingga adanya dugaan kalau Letjen S. Parman itu ikut jadi incaran pembunuhan PKI atas anjuran sang kakak kandungnya, Ir. Sakirman. Kalau ini yang terjadi, sungguh tragis, kekuasaan dan ideologi telah membutakan semunya, tak tahu lagi mana kawan mana lawan.
Di Lubang Buaya, Parman mengembuskan napas terakhir. Jasadnya ditemukan 4 Oktober 1965 dan dimakamkan pada keesokan harinya di TMP Kalibata