Pendapat Hukum HRS Center Terkait Pernyataan Menag 'Mewaspadai Khilafah Sebagai Radikalisme'



Kamis, 3 September 2020

Faktakini.net

PENDAPAT HUKUM HRS CENTER
TERHADAP PERNYATAAN MENTERI AGAMA TENTANG
“MEWASPADAI KHILAFAH SEBAGAI RADIKALISME”

I. Pendahuluan

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Habib Rizieq Syihab Center (HRS Center) sebagai lembaga kajian ilmiah strategis, dengan ini menanggapi pernyataan Fachrul Razi selaku Menteri Agama RI (2/9/2020)
yang telah mempersamakan ajaran Islam tentang Khilafah dengan radikalisme
sebagaimana yang dimaksudkan pemerintah selama ini dan oleh karenanya harus
diwaspadai.

Pernyataan demikian tidaklah tepat dan bahkan mengandung kesesatan
(logika) berfikir. Fachrul Razi tidak pada tempatnya menyebutkan bahwa Khilafah –
yang diidentikkan dengan radikalisme – sebagai sesuatu yang harus diwaspadai. Kata
“diwaspadai” mengandung makna adanya suatu bahaya.

Dengan demikian, Khilafah
telah dianggap sebagai ajaran/paham yang berbahaya bagi negara. Padahal, belum pernah
ada putusan Pengadilan “yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” yang menyatakan bahwa Khilafah sebagai ajaran/paham yang terlarang.

Seiring dengan itu,
pihak Majelis Ulama Indonesia Pusat tidak pernah mengeluarkan fatwa tentang Khilafah sebagai suatu ajaran/paham yang menyimpang dan berbahaya bagi negara.

Khilafah bukanlah sebagai ancaman terhadap negara, justru yang menjadi ancaman adalah ajaran/paham Imamah Syi’ah.

Perlu kami sampaikan, bahwa Majelis Ulama
Indonesia Pusat pada tanggal 7 Maret 1984 telah mengeluarkan pendapat (rekomendasi) terkait dengan paham Syi’ah.

Pada butir keempat disebutkan bahwa “Syi’ah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun
agama”.

Menyangkut perbedaan-perbedaan pokok antara Syi’ah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah, terutama mengenai perbedaan tentang “imamah” (pemerintahan), Majelis Ulama Indonesia menghimbau kepada umat Islam Indonesia yang berfaham Ahlus Sunnah wal Jama’ah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya
faham yang didasarkan atas ajaran Syi’ah. Sebelumnya, terdapat Surat Edaran
Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) Nomor: D/BA.01/4865/1983, tanggal 5 Desember 1983 perihal “Hal Ikhwal Mengenai Golongan Syi’ah”. Perlu diingat
penganut Syi’ah telah melakukan tindakan terorisme.

Pertama, tanggal 24
Desember1984 aksi pengeboman kompleks Seminari Al Kitab Asia Tenggara dan Kompleks Gereja Kepasturan Katolik di Malang.

Kedua, tanggal 21 Januari 1985 aksi pengeboman Candi Borobudur.

Ketiga, bulan Februari 1985 berupa rencana  pengeboman Bali.

Khilafah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah berbeda dengan paham
Imamah. Khilafah bukan dan tidak dapat dipersamakan dengan ideologi. Lain halnya dengan imamah, keberadaannya telah menjadi ideologi negara Republik Iran.

Keberlakuannya menjangkau para penganutnya dimana pun berada, termasuk di
Indonesia untuk taat dan patuh kepada Rahbar Ali Khamenei selaku mandataris/wakil
Imam Mahdi yang diklaim dalam masa gaib. Majelis Ulama Indonesia Pusat melalui Buku Panduan “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia”, menyebutkan bahwa adanya perencanaan secara sistematis mendirikan Negara Islam
Syi’ah sebagai ancaman laten.

Mengacu kepada hal-hal tersebut di atas, maka yang
seharusnya diwaspadai dan dilarang penyebarannya adalah paham Syi’ah (imamah) yang menginduk pada Republik Iran.

Khilafah sebagai ajaran Islam telah dipraktekkan pertama kali oleh Khulafaur
Rasyidin sesuai dengan ketentuan nash. Oleh karenanya, bukanlah suatu perbuatan yang melawan hukum.

Setiap orang yang menyampaikan tentang ajaran Khilafah dijamin oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan agama
dan Pasal 28 dalam hal kebebasan menyatakan pendapat.

Terkait nomenklatur “radikalisme” – yang dikaitkan dengan Khilafah – sampai dengan saat ini demikian obscure dan tentunya multi tafsir.

Kondisi ini menyebabkan
terjadinya tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) berupa persekusi.

Penyematan
radikalisme terhadap Khilafah yang ditujukan khususnya kepada ASN, Dosen dan Alim
Ulama merupakan ancaman terhadap kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan agama serta kebebasan menyatakan pendapat.

II. Pernyataan Sikap

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Khilafah bukan termasuk ajaran/paham yang bertentangan dengan Pancasila, sebagai “paham lain” yang bertujuan mengganti/mengubah Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana
dimaksudkan dalam Pasal 59 ayat 4 huruf c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang.

2. Tidak ada putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa Khilafah sebagai ajaran/paham yang terlarang.

3. Keberadaan Khilafah tidak dapat dilepaskan dari ajaran Islam. Dengan kata lain Khilafah merupakan bagian integral ajaran Islam. Oleh karena itu, Khilafah bukan sebagai ajaran/paham yang menyimpang dan berbahaya bagi negara.

4. Tidak ada Pendapat dan Sikap Keagamaan atau Fatwa dari Majelis Ulama
Indonesia Pusat yang menyatakan bahwa Khilafah adalah ajaran/paham yang
menyimpang.

5. Setiap orang yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran
Islam (in casu Khilafah) adalah sebagai bentuk pengamalan terhadap suatu
ajaran agama. Dalam hal ajaran agama Islam, maka melekat kewajiban bagi
seseorang yang memiliki keilmuan untuk menyampaikannya.

Terhadap apa yang dikembangkan serta disebarkannya terkait erat dengan keyakinan
terhadap ajaran agama yang dianutnya. Meyakini kebenaran ajaran agama
Islam, dan kemudian menganut, mengembangkan serta menyebarkan
keyakinan keagamaan tersebut tidak termasuk perbuatan tercela atau bersifat melawan hukum.

6. Setiap orang yang menyampaikan ajaran Khilafah merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara dalam hal kebebasan beragama dan menjalankan
keyakinan agama dan kebebasan menyatakan pendapat. Hak konstitusional
tersebut dilindungi dan dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis.

7. Nomenklatur “radikalisme” bersifat obscure dan multi tafsir yang dapat
membahayakan bagi kepastian hukum. Terbuka ruang menganalogikan suatu ajaran/paham yang bersumber dari agama dianalogikan sama dengan
ajaran/paham yang dihasilkan dari pemikiran manusia, seperti; ateisme,
komunisme/marxisme-leninisme.

8. Barang siapa yang menyatakan bahwa Khilafah adalah radikalisme, maka
pernyataan a quo termasuk perbuatan penyiaran berita atau pemberitahuan
bohong. Setidak-tidaknya menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berkelebihan atau yang tidak lengkap. Perbuatan dimaksud diatur dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.

(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan
pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat,
sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan
itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga
tahun.

Pasal 15
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya
patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat
menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara
setinggi-tingginya dua tahun.

9. Barang siapa yang melakukan hujatan/penghinaan dalam segala bentuknya terhadap ajaran Khilafah termasuk tetapi tidak terbatas pada penyamaan dengan radikalisme adalah termasuk perbuatan penodaan agama.

Perbuatan dimaksud diatur dalam Pasal 156a hurus a KUHPidana, sebagai berikut:

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

III. Tuntutan dan Rekomendasi

1. Pernyataan Menteri Agama (in casu Fachrul Razi) yang mempersamakan
radikalisme versi pemerintah dengan ajaran Islam tentang Khilafah telah menyakiti perasaan ummat Islam sebagai pemeluk agama mayoritas di Indonesia. Oleh karena itu, Menteri Agama harus segera menarik
pernyataannya tersebut dan sekaligus meminta maaf kepada ummat Islam.

2. Pemerintah seharusnya mewaspadai ekspansi ideologi transnasional Syiah Iran (Imamah) yang mengancam keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ideologi imamah tidak dapat diadaptasikan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3. Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Daerah bersama Ormas-
Ormas Islam harus bersatupadu dalam menyikapi propaganda anti Khilafah yang berujung anti Syariah. Penguatan arus sosialisme-komunisme dan
liberalisme-kapitalisme yang saat ini berkembang demikian masif sangat terkait dengan upaya pelemahan terhadap perjuangan penerapan Syariat Islam dalam
sistem hukum nasional secara legal-konstitusional.

IV. Penutup

Demikian pendapat hukum, tuntutan dan rekomendasi ini disampaikan untuk dapat
dimengerti dan menjadi perhatian. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk, pertolongan dan perlindungan bagi kita semua, hanya kepada-Nya kita berserah diri.

Jakarta, 3 September 2020
Pengurus HRS Center

Muhammad Kamil Pasha, S.H., M.H.
(Sekretaris Eksekutif)

Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.
(Direktur)

Foto: Dr H Abdul Chair Ramadhan