Pergeseran Narasi Pada Kasus Percobaan Pembunuhan Syekh Ali Jaber
Kamis, 17 September 2020
Faktakini.net
*PERGESERAN NARASI PADA KASUS PERCOBAAN PEMBUNUHAN SYEKH ALI JABER*
_[Catatan Hukum Atas Pertarungan Narasi Hukum dan Opini Publik pada Kasus Syekh Ali Jaber]_
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat Pejuang Khilafah
Pada Senin (14/9) Karo Penmas Polri Brigjen (Pol) Awi Setiyono menyebut Alfin Andrian (24) pelaku penusukan Syekh Ali Jaber saat safari dakwah di Bandar Lampung, Minggu (13/9), ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Pasal 351 ayat 2 KUHP dengan ancaman pidana penjara lima tahun dan Pasal 2 Ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun Tahun 1951 dengan ancaman penjara 10 tahun. Selanjutnya pelaku ditahan oleh Penyidik untuk 20 hari kedepan.
Artinya, pelaku hanya dipersoalkan karena melakukan penganiayaan dan kepemilikan senjata tajam (pisau) yang digunakan untuk menikam Syekh Ali Jaber. Tak ada satupun pasal pembunuhan, baik pembunuhan biasa, pembunuhan berencana, maupun percobaan pembunuhan yang diterapkan Penyidik.
Namun, dua hari kemudian pada Rabu (16/9), Kadiv Humas Polri Irjen Pol Argo Yuwono menyebut Pelaku ditetapkan Tersangka berdasarkan Pasal 340 juncto Pasal 53 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 53 subsider Pasal 351 ayat 2. Selain itu, Pelaku juga dijerat Pasal 2 dan Pasal 1 UU Darurat No. 12 Tahun 1951. Atas keterangan ini, media pun heboh dan koor memberitakan pelaku terancam pidana mati.
Pasal 340 KUHP menyatakan :
_"Barangsiapa yang sengaja dengna rencana terlebih dahulu yang *mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang*, kemudian pertanggungjawabannya dengan hukuman pidana mati atau seumur hidup atau paling lama dua puluh tahun."_
Secara hukum sulit bahkan bisa dikatakan mustahil, jika pelaku dipidana dengan pidana mati. Sebab, pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana hanya bisa dituntut dengan pidana mati jika perbuatan menimbulkan korban kematian. Faktanya, Alhamdulillah Syekh Ali Jaber selamat meski mengalami luka pada bahu kanannya.
Karenanya, Penyidik menerapkan pasal 53 KUHP sebagai bentuk konfirmasi bahwa dakwaan dibuat alternatif dengan pasal percobaan. Berdasarkan pasal 53 ayat (3) KUHP, ancaman pidana bagi perbuatan yang pidananya hingga hukuman mati, atau penjara seumur hidup, maksimum pidana hanya 15 tahun penjara.
Pasal 53 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:
_(1) Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri._
_(2) Maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dalam hal percobaan dikurangi sepertiga._
_(3) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, *dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.*_
_(4) Pidana tambahan bagi percobaan sama dengan kejahatan selesai._
Itu artinya, dalam kasus percobaan pembunuhan Syekh Ali Jaber Pelaku hanya dapat dituntut maksimal Pidana 15 tahun penjara. Tuntutan pidana ini, adalah konsekuensi dari mendakwa pelaku berdasarkan ketentuan pasal 340 KUHP Jo pasal 53 ayat (3) KUHP.
Adapun pasal 338 KUHP Jo pasal 53 KUHP, ancaman pidananya maksimal lima tahun. Sebab, ancaman pidana pasal 338 KUHP adalah lima belas tahun penjara, sementara pidana percobaan pada pasal ini terikat dengan ketentuan pasal 53 ayat (2) yakni dikurangi sepertiga, sehingga maksimum pidana hanya 15 tahun dikurangi 5 tahun yakni 10 tahun penjara.
Perkembangan penyidikan ini lumayan melegakan, karena Penyidik tidak sekedar menggunakan pasal penganiayaan tetapi telah menggunakan pasal pembunuhan, baik pembunuhan dengan rencana, pembunuhan biasa termasuk pasal percobaan pembunuhan. Meskipun, secara analisis hukum yang paling kuat adalah pasal percobaan pembunuhan berencana. Yakni pasal 340 KUHP Jo pasal 53 KUHP.
Karena pada faktanya, pelaku memiliki persiapan perbuatan dengan membawa pisau yang hal ini mengkonfirmasi adanya niat dan rencana. Tikaman diarahkan ke dada atau bagian kepala yang umumnya bagian ini adalah bagian vital yang dapat mengakibatkan kematian, artinya ada target kematian sebagai tujuan dari perbuatan. Dan terakhir, perbuatan terhenti (atau tidak tuntas mengakibatkan kematian syekh Ali Jaber) bukan atas kehendak pelaku, namun akibat adanya gerak reflek Syekh Ali Jaber membela diri yang akhirnya tikaman hanya mengenai bahu kanan Syehk Ali Jaber.
Ada lagi satu kabar perkembangan penyidikan, dimana polisi memastikan pelaku tidak gila. Artinya, Penyidik tak akan mungkin melepas pelaku berdasarkan ketentuan pasal 44 KUHP.
Pasal 44 ayat (1) KUHP :
44 ayat (1) KUHP berbunyi:
_“Tiada dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, *sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”*_
Dari perkembangan kasus ini, masih menyisakan satu soalan. Akankah hakim memvonis kasus percobaan pembunuhan berencana ini dengan pidana maksimum 15 tahun penjara, sebagaimana diatur dalam pasal 340 Jo pasal 55 KUHP ?
Hal inilah yang masih membutuhkan pengawalan publik. Sebab, KUHP hanya mengenal Pidana maksimum tetapi tidak menentukan limitasi pidana minimum. Maksudnya, meskipun ancaman pidananya 15 tahun penjara bisa saja dan sah secara hukum hakim hanya memvonis 3 atau 5 tahun.
Karena itu, masih diperlukan kontrol publik terhadap kasus ini agar vonis yang dijatuhkan hakim bisa maksimum dan memberikan efek jera. Vonis maksimum juga akan mencegah peristiwa serupa berulang dimasa yang akan datang.
Adapun terkait adanya perubahan narasi diseputar kasus percobaan pembunuhan berencana terhadap Syekh Ali Jaber, penting untuk dicermati hal-hal sebagai berikut :
*Pertama,* narasi awal yang beredar ditengah publik pelaku gila, sehingga dianggap tidak memiliki kemampuan bertanggung jawab secara hukum. Narasi ini jika mendapatkan pembenaran publik, boleh jadi akan diadopsi oleh penyidik untuk menerapkan ketentuan pasal 44 KUHP, dimana pelaku dapat saja dilepaskan dengan alasan mengalami gangguan akal atau kehilangan akal, sehingga tak dapat bertanggungjawab secara pidana.
Namun, publik terutama di sosial media melakukan perlawanan terhadap Narasi gila ini, dengan melakukan sejumlah verifikasi fakta. Seperti pernyataan tetangga yang menyebut pelaku sehat, istrinya mau melahirkan, tidak ada riwayat gangguan jiwa, unggahan sosmed pelaku yang mustahil dilakukan orang gila, termasuk kecurigaan publik terhadap sejumlah kasus penyerangan ulama yang berakhir dengan 'Vonis Gila'.
Kontrol publik inilah, nampaknya yang berhasil menggagalkan 'Narasi Gila' pada kasus percobaan pembunuhan terhadap Syekh Ali Jaber.
*Kedua,* awalnya pelaku hanya dikenakan pasal penganiayaan dan kepemilikan senjata ilegal yakni pisau yang dapat digunakan untuk menikam. Karena itu, polisi hanya menetapkan status Tersangka berdasarkan Pasal 351 ayat 2 KUHP Jo Pasal 2 Ayat 1 UU Darurat Nomor 12 Tahun Tahun 1951.
Namun lagi-lagi, publik melakukan sejumlah verifikasi norma pasal dengan mengajukan sanggahan bahwa pasal yang tepat adalah pasal percobaan pembunuhan berencana dan bukannya pasal penganiayaan. Penulis secara khusus juga menulis materi ini.
Akhirnya, Penyidik mengubah pasal dengan menerapkan ketentuan pasal Pasal 340 juncto Pasal 53 KUHP subsider Pasal 338 juncto Pasal 53 subsider Pasal 351 ayat 2. Selain itu, pelaku juga dijerat Pasal 2 dan Pasal 1 UU Darurat No. 12 Tahun 1951.
Andai saja publik tidak ikut melakukan review, melakukan verifikasi baik terhadap fakta maupun norma pasal yang diterapkan, boleh jadi pelaku tak akan dijerat dengan pasal pembunuhan namun hanya pasal penganiayaan.
*Ketiga,* karena kuatnya desakan publik untuk menghukum pelaku dengan sanksi seberat-beratnya, nampaknya ada upaya 'Taking Benefit' dengan mengadopsi Narasi hukuman mati atau penjara seumur hidup atas Pelaku. Padahal, hukuman mati atau penjara seumur hidup hanya dimungkinkan jika perbuatan mengakibatkan korban kematian.
Yang paling mungkin berdasarkan ketentuan percobaan pembunuhan berencana berdasarkan pasal 340 Jo 55 KUHP, adalah penjara 15 tahun. Itu juga dengan catatan, mungkin saja hakim menetapkan pidana ringan karena KUHP tidak mengenal batasan minimum sanksi pidana.
Karena itu, tugas publik belum selesai. Kasus ini harus terus dikawal, hingga hakim menjatuhkan vonis seberat-beratnya yakni lima belas tahun penjara. Sanksi berat ini penting, agar pelaku jera dan kedepan tak ada lagi orang yang menganggap sepele membunuh ulama karena akan bebas dengan alasan gila atau dihukum ringan melalui vonis pengadilan. [].