Tak Pernah Ada Badai Yang Tak Usai, Pandemi Cepatlah Berlalu
Rabu, 2 September 2020
Faktakini.net
"𝐓𝐀𝐊 𝐏𝐄𝐑𝐍𝐀𝐇 𝐀𝐃𝐀 𝐁𝐀𝐃𝐀𝐈 𝐘𝐀𝐍𝐆 𝐓𝐀𝐊 𝐔𝐒𝐀𝐈!"
“𝐏𝐀𝐍𝐃𝐄𝐌𝐈 𝐂𝐄𝐏𝐀𝐓𝐋𝐀𝐇 𝐁𝐄𝐑𝐋𝐀𝐋𝐔 🤲🤲!”
By :dr. Farhan Ali Rahman, Sp.An, FIPM.
#Pandangan, pengetahuan dan pengalaman dr. Farhan Rahman sebagai seorang Dokter Ahli Anesthesi renungan kita semua.
#( Kisah nyata, mengenang wafatnya 100 dokter akibat covid-19 (Data IDI 30/8/2020))
"Mau kemana Ayah? Tengah malam mau keluar rumah? Ada panggilan operasi ya?"
"Pasien di ruang isolasi covid penurunan kesadaran Dik!"
"Terus Ayah mau apa?"
"Ya ikhtiar bantu pasang pipa alat bantu nafas dan mesin nafas Dik"
"Ya Allah, nanti kalau tertular gimana?"
"Insya Allah nanti pakai Alat Pelindung Diri atau APD lengkap Dik"
"Tapi kan tindakan pasang alat itu paling beresiko nular virus kan ya Ayah?"
"Iya memang, karena virusnya pas hidup disana. Tapi ya ini masih curiga covid, masih menunggu hasil swab Dik, semoga negatif"
"Ayah ingat loh anak-anak dan keluarga, jangan sampai ketularan, hati-hati, cuci tangan dan mandi dulu nanti pas pulang"
"Iya disana nanti ada alurnya Dik, termasuk ruang mandi setelah ketemu pasien. Udah ya Ayah pamit dulu. Mohon doanya Dik"
"Iya Ayah, hati hati di jalan, semoga Ayah aman dan pasien selamat ya. Aamiin"
"Iya Dik, Aamiin. Assalamu'alaikum"
"Wa'alaikumsalam"
Perjalanan malam ini agak berbeda rasanya. Pasien yang curiga covid-19 penurunan kesadaran dan dilaporkan kadar oksigennya menurun. Gambaran foto paru-parunya perburukan dengan cepat, hanya selisih hitungan jam.
Pasang alat nafas atau intubasi itu kerjaan sehari-hari saya selaku dokter anestesi atau dokter bius. Mungkin sudah ribuan kali memasang alat itu. Dari sejak pendidikan residen tahun 2012 sampai 2016 dan praktek sebagai spesialis sampai tahun 2020 ini.
Tapi memasang alat itu pada pasien covid-19 lain ceritanya, tindakannya sangat beresiko menjadi sarana penularan virus corona bagi yang memasangnya. Karena benar-benar kita 'head to head' dengan saluran nafas pasien.
Tidak hanya istri yang cemas, sejujurnya saya juga was-was.
Perjalanan tengah malam dari rumah menuju RS ini, hati dan pikiran saya berkecamuk. Kapan pandemi ini akan berakhir. Disaat telah banyak dokter dan tenaga kesehatan yang wafat, rasanya hati ini semakin getir. Ya jangan hanya dilihat angkanya, tapi satu orang mereka itu dibentuk dan dididik dalam waktu yang lama, belum dampak kehilangan pada anak-anak dan keluarganya. Diantara mereka ada guru besar, dokter spesialis, dan beberapa yang memiliki keahlian yang jumlah yang menguasainya hanya hitungan jari di Indonesia. Saya berat membayangkan jika saya terdampak, bagaimana nasib istri dan keempat anak, sepeninggal saya. Astaghfirullah, naudzubillah. Pasrah saja takdir kematian adalah mutlak kehendak Allah SWT, selagi hidup ikhtiar bermanfaat saja.
*****
Tak terasa saya sudah memasuki area parkiran RS. Jalanan yang lengang karena tengah malam, saya tempuh dengan banyaknya pikiran yang berkelindan dan semrawut, ada semangat, ada optimis, ada getir ada miris.
Saya bergegas menuju area ruangan isolasi khusus perawatan pasien dengan Covid-19.
"Dok tekanan darah pasiennya turun juga"
"Oh iya kah?!"
"Apa sekalian pasang infus sentral aja ya?"
"Ya sudah segera siapkan intubasi sekaligus saya pasang CVC!"
"Siap Dok, kami siapkan segera"
Sembari dokter jaga dan tim ruang isolasi persiapan, saya segera menuju ruang ganti baju khusus APD covid-19. Urutan pemakaian harus benar, jangan tertukar, karena beresiko menularkan ke diri sendiri. Selepas berdoa bersama, kami memasuki ruangan isolasi bertekanan negatif. Panas, sesak, berkeringat, tanpa AC, baju rangkap berlapis lapis.
Saya awali pemasangan infus sentral atau Central Venous Catheter (CVC) di bawah tulang selangka kanan di dada depan pasien. Yang arahnya langsung menuju ke jantung, sehingga memudahkan untuk akses cairan dan obat-obat support jantung. Selang infus ini memiliki diameter yang besar yang dimasukan ke dalam pembuluh darah balik atau vena yang berukuran besar yang biasanya berada di area sentral tubuh. Dengan melalui pembuluh darah yang besar ini, harapannya aliran dan jumlah cairan infus dapat diberikan maksimal dalam waktu yang cepat.
Nampak pasien sesak berat, megap-megap. Saturasi oksigen dibawah 90 %, namun masih bisa kontak. Posisi setengah duduk dan oksigen melalui sungkup wajah Non Rebreathing Mask (NRM) nampaknya tidak membantu lagi. Ya dengan gambaran gas darah yang hipoksia atau kekurangan kadar oksigen di darah yang berat memang harus dibantu dengan mesin nafas.
"Pak berdoa ya, sekarang Saya akan ikhtiar pasang pipa nafas, melalui mulut dan masuk ke paru-paru Bapak"
Pasien hanya bisa mengangguk dan mengedipkan mata, seakan setuju dan berkata "Dok bantu Saya".
Setelah meminta penata anestesi memasukan obat-obat bius untuk mengawali proses, mulailah saya pasang alat. Luar biasa sulit karena pandangan tidak terlalu jelas. Tutup mata atau google, faceshield yang saya kenakan, ditambah lapisan plastik yang saya gunakan untuk menyelubungi wajah pasien menjadikan pandangan tidak jelas. Setelah perjuangan yang agak lama dari biasanya, alhamdulillah akhirnya terpasang dan bisa saya koneksikan ke mesin ventilator.
Saturasi oksigen tak kunjung membaik, padahal dosis fraksi inpirasi oksigen sudah 100 persen. Pada manusia normal bisa bertahan sehari-hari dengan fraksi inspirasi oksigen cukup hanya dengan 21 persen dari udara bebas yang dihirup.
Tekanan darah juga tetap drop, support dua obat jantung sudah dilakukan, tapi tidak banyak membantu.
Melalui CCTV dan telpon di ruang isolasi saya minta segera hubungi dokter spesialis jantung untuk evaluasi jantung pasien. Sekaligus siapkan alat echocardiografi portable yang ada di ICU untuk dibawa ke ruang isolasi, agar bisa digunakan menilai kondisi jantung pasien. Bertiga kami menunggu di dalam ruangan isolasi, panas semakin terasa, keringat membasahi sekujur tubuh. Dua orang tenaga kesehatan laboratorium yang membersamai sudah keluar, mandi dan berganti baju, karena tugas mengambil swab mereka sudah selesai.
Dokter spesialis jantung datang, melakukan pemeriksaan jantung dan echocardiografi, dengan APD lengkap.
"Syok kardiogenik ini kayaknya mas!" Ia agak berteriak kepada saya. Karena sama-sama pakai masker N-95 dan hazmat menutupi kepala dan telinga jadi memang kurang jelas.
"Jantungnya sudah hipokinetik bahkan akinetik!" katanya lagi. Yang artinya fungsi jantung sudah sangat menurun, karena kontraksi atau denyutnya melemah.
Obat-obatan jantung melalui infus sentral sudah dosis maksimal, setting ventilator sudah yang paling tinggi. Tapi kondisi semakin memburuk. Sudah lah pasrah saja, semoga Allah SWT berikan hasil terbaik untuk pasien.
Jelang subuh saya keluar ruangan, kepala pusing berputar-putar, kemungkinan saya sudah kurang oksigen dan dehidrasi. Saling mengingatkan dalam melepas urutan APD, lanjut mandi, dan keluar.
Pagi harinya pasien mengalami asistole atau henti jantung, tim jaga yang bertugas sigap melakukan kompresi jantung luar dan resusitasi untuk bantuan hidup dasar dan lanjut. Melakukan bantuan tersebut dengan mengenakan APD level 3 full seperti astronot, dan resiko tertular karena menekan dada dan memompa nafas pasien itu sungguh berat, resiko penularan tetap tinggi.
Sejujurnya bukan tidak berniat membantu, tapi semalaman suntuk full di ruangan isolasi itu sungguh menguras tenaga. Saya hanya bisa terpaku menatap layar monitor yang terkoneksi dengan CCTV di ruangan pasien. Sampai akhirnya dari dalam mengabari, pasien sudah wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sedih, lemas, lelah, gundah, cemas, was-was, campur aduk jadi satu. Semoga pasien husnul khotimah, itu doa saya. Saya pamit pulang dari RS. Perjalanan pulang menjadi saat-saat perenungan lebih dalam. Sampai kapan ini akan berakhir. Grafik penderita semakin naik, angka kematian semakin besar.
*****
Sesampainya dirumah selepas bersih diri agar tidak menjadi resiko penularan untuk istri dan anak-anak, saya berpikir keras, sangat keras. Kita harus bisa berkontribusi sekecil apapun untuk mengingatkan pentingnya upaya pencegahan dan menyadarkan masyarakat. Memberikan kesadaran bahwa garda terdepan menghadapi wabah ini bukanlah tenaga kesehatan, tetapi masyarakat!
Satu saja perenungan yang ingin kami suarakan terus menerus dan patut dipikirkan saat wabah COVID-19 ini adalah kita memilih menjadi manusia Indonesia yang TERSERAH atau BERSERAH?
Terserah dan berserah hanya beda satu huruf di awal kata saja. Namun secara makna jauh terasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata "terserah" bisa menjadi kata sifat dengan makna 'masa bodoh'. Sementara "berserah" adalah kata kerja yang bermakna 'mempercayakan diri dan nasib (kepada); bertawakal (kepada); pasrah'. Tawakal sendiri meski serapan dari bahasa arab sudah diartikan di KBBI sebagai bentuk kata kerja yang maknanya 'sesudah berikhtiar, baru berserah kepada Allah'.
Terserah menjadi semacam upaya tidak peduli, tanpa ikhtiar, bebas melanggar, bebas bersikap bahkan jika perlu bangga dengan tidak taat aturan, dan lebih parah lagi bersikap aktif melawan.
Berserah adalah sikap menyerahkan hasil kepada yang Maha Kuasa pasca bertindak dan ikhtiar sungguh-sungguh serta mengawali dengan meluruskan niatan.
Para pendiri bangsa Indonesia adalah pribadi berserah. Lihatlah pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 kita pada kalimat, "Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur", bermakna ada kesungguhan perjuangan yang menyertai kepasrahan.
Lalu dari mana hadirnya para makhluk Indonesia kekininan yang bersikap terserah atau masa bodoh?
Di tengah pandemi yang semakin hari makin bertambah penderitanya, akhir Agustus 2020 sudah menyentuh 170-an ribu penderita, dengan total kematian sudah tujuh ribuan pasien, diantaranya ada 100 dokter yang wafat. Mari menjadi pribadi berserah, yaitu pribadi yang peduli untuk secara sadar memutus rantai penularan dan terlibat aktif dalam upaya pencegahan.
Sederhana kok perjuangan kita itu. Tetap dirumah kecuali keperluan mendesak, jika keluar gunakan masker bisa masker kain maksimal 4 jam nanti diganti, rajin cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau jika tangan bersih dengan cairan hand sanitizer, hindari kerumunan, jaga jarak sekitar 1,5 m dengan orang lain, hindari sentuhan fisik dengan orang lain, segera cuci tangan jika menyentuh benda-benda di fasilitas umum seperti pegangan pintu atau tangga, tombol ATM atau lift, dll, etika batuk dan bersin dengan menutup menggunakan sendi siku, isolasi diri jika ada riwayat bepergian, berolah raga, jaga asupan nutrisi, tetap bahagia dan optimis.
Selain itu menjadi anggota masyarakat yang turut aktif mengingatkan protokol kesehatan untuk masyarakat yang masih lalai, perbanyak sedekah dan berbagi sebagai amal kebaikan serta bagian dari penghambaan untuk mendapat perlindungan Allah Yang Maha Kuasa, dan tentu saja diselimuti dengan do'a sebagai wujud penyeimbang ikhtiar, karena semua takdir atas diri kita adalah wewenang mutlak Allah SWT.
Jangan jadi manusia Indonesia yang bersikap terserah atau masa bodoh. Tidak peduli dengan himbauan dan protokol kesehatan. Tidak peduli dengan ratusan ribu orang yang sudah terdampak.
Tidak peduli dengan korban yang sudah banyak berjatuhan dan meninggal dunia. Tidak peduli dengan jatuhnya korban dan pengorbanan dari tenaga kesehatan.
Tidak peduli dengan orang-orang yang sudah berkontribusi untuk mencegah. Tidak peduli untuk turut serta bahkan merasa bangga dengan mengumbar keberanian semu atas wabah dengan dalih tidak panik namun terperosok pada sikap menyepelekan.
Tidak peduli atas keselamatan keluarga sendiri, tetangga dan orang terdekat. Tidak peduli telah ada beberapa puskesmas dan rumah sakit yang tutup pelayanan karena SDM tenaga kesehatan banyak diisolasi.
Tidak peduli dengan upaya negara, Pemda, Dinkes, BNPB, BPBD, rumah sakit, puskesmas untuk mencegah, rapid test masal, surveilan untuk tracking warga terpapar yang menguras biaya, waktu dan tenaga.
Tidak peduli dengan gerakan kolosal untuk berdonasi entah berupa gerakan makan, donasi APD, donasi masker, donasi beras dan cantelan makan untuk tetangga dengan alasan menjadi korban yang sedang terbatas, padahal berderma saat lapang dan saat sempit inilah wujud nyata sifat ketaqwaan kita.
Tidak peduli dan bahagia dengan menutup mata, telinga dan hati yang penting nafsu pribadi terpenuhi menjadi spesies egois nan paripurna, tidak peduli protokol pemerintah untuk menjadi jalan tengah dijadikan celah kedustaan, manipulasi, kebohongan demi kepentingan pribadi menjelma menjadi oportunis sejati.
Kita ketahui bersama negara kita bukan negara dengan tangan besi yang bisa bebas 'mengunci' warganya, kita kerap mencaci negara kita bukan negara kaya yang bisa penuhi hajat hidup saat karantina, ya kita tahu negara kita punya utang, semua tahu itu. Dengan beban berat demikian, kita sebagai bagian dari bangsa ini, seharusnya secara sukarela mengambil bagian untuk tidak semakin menambah keruwetan, memilih untuk menjadi bagian solusi bukan jadi bagian dari masalah.
Dari sisi pandang kita melihat warga indonesia lain susah diatur, padahal boleh jadi kita pun menjadi bagian dari warga negara yang susah diatur itu. Ironis!
Mari menjadi pribadi berserah, yang menuntaskan perjuangan dengan optimal dan menyempurnakannya dengan do'a. Mari memulainya dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil, mulai dari saat ini!
Mari terus gaungkan seruan berserah ini, menjadikan para kaum terserah terpinggirkan dan terasing. Jika dulu orang bermasker ditengah masyarakat saat di luar rumah adalah kejanggalan, maka di era adaptasi kebiasaan baru, yang tidak bermasker menjadi malu dan tidak enak hati menerima tatapan masyarakat.
Jika dahulu orang yang rajin cuci tangan dimasukan dalam golongan lebay, maka normal baru menuntut pembiasaan cuci tangan, dan yang tidak cuci tangan menjadi bentuk primitif peradaban. Orang berkerumun tanpa jaga jarak standar menjadi aib, orang berbisnis dengan media daring semakin bertaring dan nyaring, pengembangan media pembelajaran online, telemedicine, transaksi online tanpa uang kertas menjadi semakin di depan.
Ingatlah saudaraku sebangsa dan setanah air, karena kita hakikatnya berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah, 'kebaikan yang kamu kerjakan akan kembali kepada dirimu, keburukan yang kamu lakukan akan pula kembali kepada dirimu'.
Pilihlah, akan menjadi manusia Indonesia yang berserah atau makhluk pongah Indonesia yang bersikap masa bodoh atau terserah!
Percayalah, akan ada batas manusiawi para tenaga kesehatan itu menilai kemampuan diri. Jika sudah melebihi kapasitas kemampuan akan secara alami membatasi diri karena mereka juga punya hak atas tubuh dan kesehatan, punya anak, suami atau istri, serta keluarga yang juga menjadi amanah dan tanggung jawab. Karena sebagai manusia biasa juga para tenaga kesehatan bisa tertular, bisa kritis bahkan terbukti bisa meninggal dunia!
Semoga diberikan akhir kehidupan yang mulia bagi yang telah wafat. Para tenaga kesehatan sadar mereka juga akan segera dilupakan, bukankah detik ini pun kita sudah melupakan jasa dan nama mereka yang telah meninggal dunia itu?
Semoga Allah SWT menjadikan kita semua para pribadi berserah yang peduli serta melindungi kita semua. Yakinlah selalu bahwa tak pernah ada badai yang tak usai. Yakinlah selalu pandemi ini pasti akan kita lewati dengan pertolongan Allah SWT. Aamiin Yaa Robbal'alamin.
#indonesiamengheningkancipta
#lebihbaikmencegahdaripadadiisolasibahkandiintubasi
#secangkirkopibagihati
#mmbc14
_____
Farhan Ali Rahman, dr, Sp.An, FIPM
'Bertekad menjadi influencer pencegahan covid 19'
Karena sesulit apapun mencegah, seberat apapun tidak didengar, serendah apapun tidak digubris, tetap lebih berat jika outbreak dan banyak pasien kritis yang akhirnya harus ditolong seorang anestesi melalui perantaraan intubasi, ventilator dan ruang intensif dengan hasil akhirnya belum tentu selamat