Kami Menuntut The Real President: Ahok Harus Dihentikan!



Jum'at, 2 Oktober 2020

Faktakini.net

*Kami Menuntut The Real President: Ahok Harus Dihentikan!*

Marwan Batubara, IRESS, Deklarator KAMI

Tulisan ini lanjutan artikel IRESS  24/9/2020 terkait heboh ucapan Ahok tentang Pertamina di Channel POIN YouTube (15/9/2020). Ahok mengatakan akan terjadi gaduh dan demo oleh kadrun jika dia menjadi direktur utama Pertamina. Kata Ahok: “Persoalannya kalau saya jadi dirut, ribut. Kadun-kadrun mau demo, mau bikin gaduh lagi Republik ini”.

Ahok sengaja menggunakan istilah kadrun terhadap kelompok orang yang tidak disenangi. Mereka seolah musuh abadi. Ini dapat pula dianggap cerminan sikap terhadap lawan politik bernuansa sinisme, tendensius, perseteruan, superioritas atau merasa benar sendiri. Karena itu, mengingat Ahok adalah pejabat publik, wajar kalau muncul reaksi dan kritik dari sejumlah tokoh, politisi, anggota DPR, aktivis dan berbagai kalangan masyarakat.

Reaksi dan kritik menjadi lebih massif karena Ahok Komut di Pertamina, BUMN terbesar di republik yang mengelola sektor energi publik.  Rangkuman reaksi tersebut antara lain adalah: mengusik ketenangan, rasis, tidak punya rasa malu, menunjukkan kesombongan, tidak tau diri, merasa paling benar, memicu kegaduhan baru, memicu perpecahan, menunjukkan kesombongan, merusak citra Pertamina dan membuat rusak tata kelola pemerintahan.

Kita tidak bisa mengatur bagaimana seseorang menilai, bersikap dan berucap terhadap pihak atau kelompok lain. Itu merupakan hak azasi yang dijamin konstitusi. Namun karena Ahok pejabat BUMN mengurus hajat hidup rakyat, urusan menjadi lain. Bukan saja Ahok, bahkan Presiden Jokowi pun, yang menunjuk Ahok menjadi Komut, secara legal dan moral dapat dituntut mempertanggungjawabkan sikap Ahok sebagai pejabat perusahaan negara.

Salah satu yang perlu dicamkan Ahok dan pemerintah adalah reaksi Wasekjen MUI Ustadz Tengku Zulkarnain. Tengku mengatakan: “Maksud ente kadrun siapa, Hok? Mereka yang membela Al Qur'an yang ente hina kemarin itu? Lagi pula demo itu hak rakyat yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28. Sungguh Ahok tidak tahu diri... Ahok, ente diterima tinggal di NKRI saja mestinya sudah syukur. Sadarlah diri" (19/9/2020).

Tampaknya Tengku ingin mengingatkan Ahok dan kita semua asal-usul dan status Ahok sebagai warga negara. Ini terkait penjelasan Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra perihal status kewarganegaraan Ahok yang menjadi WNI bukan sejak kelahiran, tetapi sejak berumur 20 tahun (faktakini.net/4/2018). Ketika ayah Ahok dinaturalisasi tahun 1986, maka Ahok otomatis menjadi WNI ketika itu dia berusia 20 tahun. Nama Ahok ada dalam SKBRI Tjung Kim Nam.

Sejalan dengan ungkapan Tengku di atas, Ahok dan pemerintah perlu kembali diingatkan tentang apa dan siapa, serta bagaimana sepak terjang Ahok selama ini. Hal-hal ini perlu diungkap agar suasana perseteruan antar kelompok atau golongan yang mengemuka sejak persaingan Pilkada DKI 2017 berkurang atau hilang. Dan yang lebih penting, agar Pertamina dapat dikelola sesuai konstitusi dan bebas kepentingan sempit oligarki.

Ahok pernah mengatakan Jokowi tidak akan menjadi Presiden jika tidak didukung (dana massif) pengembang.  “Saya pengen bilang Pak Jokowi tidak bisa jadi Presiden kalau ngandalin APBD, saya ngomong jujur kok. Jadi selama ini kalau bapak ibu lihat yang terbangun sekarang, rumah susun, jalan inpeksi, waduk semua, itu semua full pengembang, kaget gak?”, ujar Ahok (actual.com/22/6/2016). Jangan-jangan Presiden kita tersandera oleh Ahok dan oligarki…

 Presiden Jokowi pernah menawarkan rujuk nasional dan menyatakan akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat Indonesia (27/6/2020). Jika Presiden konsisten dengan ucapan, maka sesumbar dan sisnisme Ahok perlu segera dihentikan. Presiden harus berperan dan bertindak sebagai pemimpin tertinggi negara yang bebas sanderaan politik siapa pun: bahwa Ahok harus ditertibkan dan diproses secara hukum atas berbagai dugaan kasus korupsi. 

Hukum dan keadilan harus ditegakkan untuk menunjukkan bangsa dan NKRI bermartabat di mata bangsa-bangsa di dunia. Negara tidak boleh takluk atas sanderaan dan ancaman seseorang atau segelintir orang yang karena kekuatan oligarki dan dana yang dimiliki, bisa berbuat sesuka hati dalam mengelola negara. Kita juga perlu mengingatkan para konglomerat dan oligarki kekuasaan untuk berhenti bersikap seolah semua bisa dikuasai dan diatur, tanpa peduli hukum, kemanusiaan dan rasa keadilan rakyat.

Masalah ini bukan sekedar prilaku kontroversial atau “gaya bicara ceplas-ceplos”, sehingga dengan begitu perlu dimaklumi publik. Ini masalah serius yang dinilai sarat arogansi, niat mendominasi dan bebas berbuat, mentang-mentang berkuasa karena berada dalam lingkar kekuasaan. Kalau tidak ada kadrun-kadrun, lantas Ahok, atas dukungan Presiden, bisa menduduki jabatan apa saja walau tidak qualified? Mau dibawa ke mana negara ini?

Kami meminta Presiden Jokowi memperhatikan hal-hal berikut. *Pertama*, usaha yang dikelola Pertamina adalah sektor sangat strategis dan menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. Karena itu pengurusnya tidak diatur dan ditentukan berdasar dukungan atau penolakan sikap sekelompok orang tertentu. Sebaliknya, Ahok dan pejabat pemerintah terkait harus mencamkan untuk tidak memperlakukan Pertamina sesuka hati mentang-mentang sedang berkuasa.

*Kedua*, Pertamina adalah badan usaha milik negara (BUMN) yang pemiliknya adalah seluruh rakyat, bukan segelintir orang yang ada dalam oligarki kekuasaan. Karena itu, pengurus Pertamina harus memenuhi berbagai persyaratan. Mengingat pernah divonis bersalah 2 tahun penjara (9/5/2017) secara moral dan legal Ahok tidak qualified menjadi Komut, karena melanggar Permen BUMN No.02/MBU/02/2015 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Komisaris dan Permen BUMN No.01/2011 tentang Penerapan GCG.

*Ketiga*, secara legal Ahok mestinya diproses secara hukum oleh KPK karena diduga terlibat dan berperan sentral dan kasus RS Sumber Waras. Ahok bisa sesumbar dan seolah merasa di atas hukum akibat perlindungan KPK yang membebaskan Ahok dari jerat hukum dengan alasan tidak mempunyai niat jahat (mens rea), meskipun alat-alat bukti korupsinya telah lebih dari cukup (15/6/2016). KPK takluk di bawah kendali oligarki.

Di samping alat-alat bukti telah lebih dari cukup, bukan pula tugas KPK mencari alat-alat bukti. Faktanya, sesuai tugas konstitusional, BPK sudah menemukan bukti-bukti. Namun, karena itu pula pimpinan BPK dikriminalisasi. Karena ingin melindungi Ahok, KPK yang dipimpin Agus Raharjo mengatakan ingin mencari mens rea. Mencari sesuatu di luar nalar orang sehat dan berpendidikan, karena hanya Ahok dan Tuhan-lah yang tau. Ini merupakan pernyataan absurd, sekaligus ungkapan tanpa rasa malu dan abai logika hukum, demi Ahok.

*Keempat*, karena pernah mendapat perlakuan sangat istimewa dari KPK, Ahok dan para pendukung menganggap lembaga-lembaga negara lain, termasuk DPR dan Polri, berada dalam genggaman dan bisa dikendalikan. Ironisnya, lembaga-lembaga ini, termasuk mayoritas partai berkuasa, terkesan pasif dan justru ikut mendukung sikap KPK, dan ikut pula melindungi Ahok. Lembaga dan partai tersebut diduga kuat juga berada di bawah kendali oligarki kekuasaan.

Dengan kondisi di atas, Ahok merasa confident mampu berbuat sesuai keinginan dan merasa akan mendapat pula dukungan dari pemimpin tertinggi. Karena itu, tak heran jika Menteri BUMN Erick Thohir pun terpaksa harus menerima penempatan Ahok sebagai Komut Pertamina, sebab menurut sumber terpercaya IRESS, Erick pun sebenarnya enggan menerima penempatan tersebut.

Kami tidak sudi memiliki negara dan pemerintahan yang tidak dapat berfungsi normal dan berjalan sesuai Pancasila, konstitusi dan hukum. Kami tak rela negara dan rakyat terus tersendera Ahok dan oligarki kekuasaan. Ahok, seperti diungkap di atas, serta telah diuraikan dalam berbagai artikel IRESS dan buku *Usut Tuntas Dugaan Korupsi Ahok* (2017), jauh lebih layak diproses secara hukum dibanding terus sesumbar di BUMN yang eksitensinya diamanatkan konstitusi. Pak Jokowi, kapan anda menghentikan sepak terjang Ahok? *The Real President* adalah Pemimpin Negara yang berani bertindak independent demi negara dan rakyat![]

Jakarta, 2 Oktober 2020

Foto: Marwan Batubara