Lengkap: Pemberontakan Bersenjata PKI Di Blitar Selatan Dan Penumpasannya
Sabtu, 3 Oktober 2020
Faktakini.net
Blitar Selatan sebagai Basis Utama
Penulis ARS608
Pemberontakan Bersenjata PKI Blitar Selatan dan Penumpasannya (3): Blitar Selatan sebagai Basis Utama[1]
Setelah Sudisman pimpinan PKI ilegal ditangkap, maka pimpinan dan kader-kader PKI yang masih ada merasa tidak aman di Jakarta, sehingga satu persatu mulai mengalihkan perhatiannya ke daerah Jawa Timur. Mereka berkumpul di Blitar Selatan yang telah dipilih sebagai daerah basis untuk melaksanakan aksi-aksi pembangunan kembali PKI dan perang revolusioner sesuai konsep Mao. Atas dasar pertimbangan-pertimbangan letak geografis, tradisional, dan historis, mereka menetapkan Blitar Selatan sebagai proyek basis. Banyaknya massa PKI di daerah tersebut merupakan modal bagi PKI. Di samping itu, secara geografis daerah Blitar Selatan daerahnya strategis bagi kegiatan PKI, karena agak terisolir dan jauh dari jangkauan alat-alat pemerintah. Keadaan sosial dan ekonomi penduduk yang serba kurang merupakan agitasi-agitasi dan propaganda. Juga daerah Blitar Selatan yang berbukit-bukit dijadikan tempat berlindung yang aman bagi bromocorah-bromocorah ulung untuk bertahan di daerah tersebut dengan melakukan berbagai macam tindakan kejahatan antara lain pencurian, penggendoran. Dan penggarongan.
Setelah mereka berkumpul di Blitar Selatan, maka masalah pembangunan basis Blitar Selatan diserahkan pimpinannya kepada Comite Daerah Besar Jawa Timur. Sedang pihak Central Comite (Ruslan Widjajasastra, Munir, Rewang, dan Oloan Hutapea) bertugas memimpin pembangunan kembali PKI. Kegiatan di Blitar Selatan secara keseluruhan dilakukan oleh 3 (tiga) kelompok, yaitu Politbiro Central Comite PKI, Comite Daerah Besar, dan Comite Proyek (Compro) Blitar Selatan.
Pada bulan April 1969, Politbiro mengadakan rapat. Ruslan Widjajasastra dipilih sebagai Ketua Politbiro. Adapun susunan organisasinya adalah sebagai berikut :
Politbiro : 1. Ruslan Widjajasastra (Ketua)
: 2. Oloan Hutapea (anggota)
: 3. Munir (anggota)
: 4. Rewang (anggota)
Departemen Agitasi Propaganda
(Agitprop) : 1. Rewang (Ketua)
: 2. Iskandar Subekti (anggota)
: 3. Tjugito (anggota)
Departemen
Organisasi : 1. Oloan Hutapea (anggota)
: 2. Ruslan Widjajasastra (anggota)
: 3. Suwandi (anggota)
Departemen Perjuta (Perjuangan
Bersenjata) : 1. Munir (Ketua)
: 2. Sukatno (anggota)
: 3. Pono (anggota)
: 4. Pratomo (ex Letkol) (anggota)[2]
Politbiro Blitar Selatan ini kemudian menyusun Tesis Perjuta yang merupakan perpaduan pikiran Mao dan Vo Nguyen Giap yang diterapkan secara berhasil di Cina dan Vietnam. Tesis tersebut menguraikan tentang Panji Perang Rakyat, taktik dan strategi, caracara membangun Basis Revolusioner (Basrev) dengan aparat Comite Proyek, Komando Proyek, Detasemen Gerilya, dan Gerilya Desa.
Setelah Tesis Perang Rakyat disusun, Ketua Departemen Perjuta Munir menugasi Sukatno, ex Letkol Inf. Pratomo, dan Tjugito untuk mempersiapkan diktat “Memimpin Perang Rakyat”. Pada bulan Oktober 1967 di desa Ngrejo diadakan rapat untuk mensahkan konsep diktat “Memimpin Perang Rakyat”. Rapat tersebut dihadiri oleh Politbiro Central Comite PKI (Ruslan Widjajasastra, Oloan Hutapea” Munir dan Rewang), anggota-anggota Pleno Central Comite (Sukatno, Tjugito, dan Iskandar Subekti), pembantu Central Comite PKI (Sutikno, Pratomo, dan Salam), Comite Daerah Besar Jawa Timur (Suwandi, Basuki, Djoko Untung, Sukarman, Rustomo, dan Gatot Sutaryo), mereka pembantu Comite Daerah Besar (Kek Duwuri Ontowiryo dan Bintoro). Rapat berhasil mengesahkan diktat pelajaran “Memimpin Perang Rakyat” dengan nama “Diktat MPG” (Diktat Memimpin Perang Gerilya). Diktat MPG selanjutnya digunakan untuk bahan pelajaran KKPR (Kursus KHat Perang Rakyat) serta sebagai pedoman dari Comite Proyek-Comite Proyek dalam memimpin gerilya.
Rapat di tempat yang sarna pada bulan November 1967 mensahkan pula konsep “Cara Membuat Plan Operasi” (CMPO), yang dihadiri tokoh-tokoh dari Central Comite, Comite Daerah Besar dan Comite Daerah Besar Jawa Timur (Suwandi), Sunandar dan Djoko Untung), Comite Proyek Blitar Selatan (Gatot Sutaryo dan Bintoro), Comite Proyek Lawu (Basuki), Comite Proyek Pandan (Rustomo) serta Comite Proyek Kelud-Kawi-Arjuno (Sukarman).
Oloan Hutapea ditugasi menyusun “syarat-syarat pembangunan partai yang Marxis- Leninis” dan kemudian oleh Politbiro disahkan sebagai “Petunjuk Kerja Organisasi”, maka struktur organisasi PKI pun dirubah. Kemudian diadakan suatu Comite Baru yang diberi nama Comite Proyek (Compro) yang disusun secara ilegal. Anggota Comite diseleksi kembali. Pada umumnya hanya terdiri atas tiga orang, dan Comite Daerah Besar terdiri atas 3-5 orang.[3] Konsep-konsep Program Baru PKI tersebut kemudian disebarluaskan melalui Comite Daerah Besar.
Setelah itu pada bulan November 1967, CC PKI Blitar Selatan mengadakan Kursus Kilat Perang Rakyat (KKPR) selama 10 hari di dusun Belik Bendo, yang diikuti + 30 orang siswa. Para siswa tersebut dicalonkan untuk jabatan-jabatan Komando Proyek, Komisaris Politik Proyek, Komandan Detasemen. Gerilya, dan Komisaris Politik Detasemen Gerilya KKPR dipimpin oleh Sukatno. Tujuan pendidikan KKPR adalah agar peserta mampu melaksanakan tugas sesuai dengan jabatan masing-masing dalam rangka pelaksanaan program PKI. Dalam Kursus tersebut, Rewang mengajar “Kritik Oto Kritik”, “Membangun Kembali PKI”, oleh Oloan Hutapea, “Materialisme Dialektika Historis” (MDH) oleh Ruslan Widjajasastra, “Thesis Perang Rakyat” oleh Munir, “Ilmu Senjata” oleh ex Letkol Inf. Pratomo, “Ilmu Medan” oleh Lettu Teguh Wahyono, dan Sukatno mengajar “Memimpin Perang Gerilya”. Para peserta kursus KKPR ini setelah selesai kursus kembali ke Comite Proyek masing-masing untuk menyiapkan basis Perjuta.
Bagian Agitasi dan Propaganda yang dipimpin oleh Rewang menerbitkan majalah “Mimbar Rakyat” dan “Bendera Merah”. Kedua mejalah itu memberikan informasi kepada kader-kader PKI mengenai garis politik partai sebagai “bekal” mereka dalam bekerja di kalangan massa.
Pada bulan Juni 1967 Comite Daerah Besar (CDB) Jawa Timur di Blitar Selatan mengadakan rapat. Rapat ini dihadiri Suwandi, Gatot Sutarjo, Sukarman, Basuki, dan Rustomo. Dari Central Comite PKI hadir Ruslan Widjajasastra, Munir, dan Oloan Hutapea. Mereka membahas masalah pembangunan proyek-proyek basis yang disebut Comite Proyek (Compro) di Jawa Timur. Dalam rapat diputuskan untuk membangun beberapa Comite Proyek. Gatot Sutarjo ditugasi membentuk Compro Blitar Selatan. Kepada Sukarman ditugasi membentuk Comite Proyek Kelud, Kawi dan Arjuna (KKA), Comite Proyek Pandan diserahkan kepada Rustomo. Sementara itu direncanakan Co mite Proyek Tandes, Comite Proyek Semeru, Comite Proyek Raung yang petugasnya belum ditentukan. Para petugas tersebut ditetapkan sebagai Sekretaris Comite Proyek, untuk menyusun Comite Seksi dan Comite Sub Seksi dan Comite Resor di Compro nya masing-masing.
Pada bulan September 1967, mereka mengadakan rapat yang dihadiri oleh Suwandi, Gatot Sutarjo, Sukarman, Basuki, dan Rustomo. Dari Central Comite hadir pula Ruslan Widjajasatra, Munir, Oloan Hutapea, dan Rewang. Dalam rapat tersebut dibahas mengenai penjelasan tentang thesis Perjuta, dan pembagian wilayah Comite Proyek. Akhirnya diputuskan masing-masing Comite Proyek membentuk Komando Proyek. Komando ini berkewajiban memimpin kekuatan bersenjata Detasemen Gerilya (DETGA) dan mengadakan Sekolah Perang Rakyat (SPR).
Kegiatan Comite Proyek Blitar Selatan
Pada bulan Oktober 1967 Comite Proyek Blitar Selatan dibentuk. Daerah Comite Proyek ini berada di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Malang, Kabupaten Kediri, dan Blitar sendiri. Sebagai Sekretaris Comite (Compro) adalah Gatot Sutarjo, dibantu Suwarno dan Sunarjo. Seorang mantan Kapten A. Suciptadi diangkat sebagai pimpinan Komando Proyek Comite Proyek Blitar Selatan, yang dibebani tugas :
Harus dapat bekerja baik dan bersatu dengan kaum tani miskin.
Harus dapat membangun dan mengembangkan kekuatan bersenjata kaum tani dengan memberikan kursus singkat kepada pemuda-pemuda tani dalam Sekolah Perang Rakyat (SPR). Semua anggota Detasemen Gerilya diharuskan mengikuti SPR selama tiga minggu.
Detasemen Gerilya terdiri atas tiga peleton berkekuatan 120 orang. Di tiap desa dalam Comite Proyek dibentuk Gerilya Desa (Gerda). Dalam rangka mewujudkan theis Perjuta, maka massa dan aktivis-aktivis/kader-kader dimobilisasikan untuk mengubah Blitar Selatan yang daerahnya terdapat banyak gua-gua alam dan pegunungan menjadi ruba-ruba (rumah bawah tanah). “Program” Perjuta Comite Proyek Blitar Selatan adalah :
Mengubah calon daerah basis menjadi basis di sepanjang pegunungan Kapur Selatan yang meliputi Kabupaten BIitar dan Malang. Prioritas pertama meliputi Kecamatan Maron, Suruhwadang, dan Ngeni. Prioritas kedua, adalah Kecamatan Panggungrejo, Binangun, dan Kecamatan Wates. Prioritas ketiga, daerah Kecamatan Kalipare, Donomulyo, dan Kecamatan Sumbermanjing (di Kabuipaten Malang).
Beberapa kecamatan di Kabupaten Trenggalek, dan Kabupaten Tulungagung sebagai daerah gerilya Detga.[4]
Comite Proyek Blitar Selatan berhasil menyelenggarakan SPR sampai lima angkatan, dan membentuk Detasemen Gerilya (Detga), Gerilya Desa (Gerda), dan beberapa Comite Seksi, antara lain Comite Seksi Blitar, Comite Seksi Malang Selatan, Comite Sub Seksi Maron, Ngeni, Suruhwadang, Binangun, Wates, Kalipare, Donomulyo, dan Comite sub Seksi Sumbermanjing.[5]
Kegiatan gerombolan bersenjata PKI ini sangat menyolok terjadi di daerah Blitar Selatan dan di daerah Tulungagung Selatan. Pada akhir tahun 1967, di daerah-daerah Blitar Selatan mulai muncul gangguan keamanan berupa perampokan, penculikan yang disertai dengan pembunuhan. Hal serupa terjadi pula di Kabupaten Tulungagung, yaitu di Kecamatan-kecamatan Redjotangan, Ngunut, Kalidawir, dan Bojolangu.
Di Kalidawir pada akhir tahun 1967 seorang anggota Pusat Koperasi Angkatan Darat (Puskopad) secara mendadak diserang oleh gerombolan perampok yang tujuannya merampas senjatanya. Kemudian terjadi penyerangan terhadap Perkebunan Sekar, Gadung, Binangun, dan Kandangan (Kediri) dengan motif yang sama. Pihak aparat keamanan menilai dari sejumlah perampokan, penculikan, dan penganiayaan ini korbannya selalu dari golongangolongan dan umat Islam yang sangat gigih dalam menumpas G30S/PKI. Dari hasil penilaian dapat diisimpulkan bahwa perampokan dan pembunuhan itu bermotif politik, misalnya pembunuhan terhadap Kepala Desa Kedung Banteng dan Laredo (Suruhwadang), kecamatan Kademangan. Kepala Desa itu terkenal anti komunis. Ia dibunuh secara kejam. Kekuatan gerombolan itu tidak terlalu besar, sekitar 10 orang.
Kegiatan yang berupa penculikan pembunuhan, dan perampokan, kemudian diketahui dipimpin oleh Sugito dan Sutrisno, anggota PKI yang mengikutsetakan gerombolan perampok Karsobrondol. Pada tanggal 22 Desember 1967 Team Intel Kodim Blitar menangkap seorang perampok bernama Kusno alias Judo. Dari Kusno inilah dapat diketahui adanya organisasi perampok yang bersarang di Blitar Selatan, dan organisasi PG RS (Pasukan Gerilya Rakyat Surabaya). Dalam aksinya, gerombolan perampok ini melakukan 4P yaitu Perampokan, Pengacauan, Pembunuhan, dan Penganiayaan. Menurut keterangan Kusno, PGRS tersebut mempunyai hubungan dengan gerakan-gerakan perampokan dan pengacauan yang dipmpin oleh seorang bekas perwira ABRI bersama-sama pengikut-pengikut mbah Suro. Pada tanggal 27 Januari 1968, Team Intel Kodam VII bersama-sama dengan Team Intel Kodim kota Malang, menangkap Soekartolo alias Soeparman, Giman alias Boediman BA. Dari pemeriksaan dapatlah diketahui bentuk-bentuk organisasi ilegal PKI yang terdiri atas bentuk-bentuk Trio serta tujuh Comite Proyek PKI di seluruh Jawa Timur. Mereka juga mengaku PKI sedang membuat perlindungan-perlindungan di bawah tanah yang disebut Ruba (rumah bawah tanah).
Comite Proyek Pandan
Comite Proyek Pandan berada di pegunungan Pandan di desa Klino, Kecamatan Kedaton termasuk dalam wilayah Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Comite Proyek ini dibentuk pada bulan Agustus 1967 oleh Rustomo, Soeradi, Soekardi, dan Kasmidjan. Daerah “kekuasaan” Comite Proyek Pandan ini meliputi Kabupaten Bojonegoro, Tuban, dan Madiun Timur (Kompleks Gunung Wilis). Compro ini membentuk pasukan bersenjata yang berkekuatan satu Detga di kompleks Pandan, satu Detga di Tuban, dan satu Detga di kompleks Gunung Wilis. Pada awal bulan Februari 1968, mereka melakukan pengacauan di pinggiran kota Bojonegoro, dan Kandangan (kompleks Wilis). Sebagai pelaksanaan aksi propaganda bersenjatanya, sasarannya adalah teror terhadap lawan politiknya dan obyek-obyek vital. Pada bulan Februari 1968 terjadi pembunuhan terhadap Kyai Abdul Fatah anggota DPR-GR Kabupaten Bojonegoro dan Kyai Taspirin pimpinan GP. Ansor. Keduanya berasal dari desa Pumpungan Kecamatan Kalitidu, Bojonegoro. Kemudian terjadi pembunuhan terhadap Sunan Kepala Desa Pramon, Kecamatan Soko, Tuban.[6]
Sejalan dengan itu terjadi pula beberapa peristiwa sabotase, misalnya sabotase kereta api antara stasiun Babad – Bojonegoro, sabotase kereta api di daerah Baureno, dan sabotase tanggul Bengawan Solo yang terletak di desa Truni/Babad pada bulan Maret 1968. Kesemuanya itu dilakukan oleh sisa-sisa PKI yang dipimpin oleh Sukisman, pimpinan PKI Babad.
Aksi di Compro ini tidak berlangsung lama, pada pertengahan tahun 1968, basis Compro Pandan di desa Klino/Kedaton berhasil ditemukan oleh Operasi Intel dari Korem 081. Rustomo pimpinan Compro ini melarikan diri bersama beberapa orang kawannya. Akhirnya ia tertangkap di daerah Surabaya, sedang mantan Kapten Kasmidjan tertangkap di Ploso Jombang pada tanggal 7 Agustus 1968, oleh Tim Intel Rem 081 di bawah pimpinan Letda Tony Soeprapto. Suparman petugas Compro Pandan, Soemardi, Soewarinah mantan ketua Gerwani Jawa Timur, mantan Pelda Koesno, berhasil ditangkap. Dengan digulungnya basis Compro, maka kegiatan jeringan aksi ilegal dan teror PKI di daerah mantan Karesidenan Bojonegoro dapat dihentikan berkat kejelian Tim Intel Rem 082 yang dipimpin Mayor Moenahir.
Comite Proyek Lawu
Pembangunan Comite Proyek Lawu dimaksudkan untuk dijadikan tempat kedudukan Politbiro Central Comite PKI, sehingga pimpinan PKI dapat secara langsung memimpin gerakan bersenjatanya di Jawa Timur. Untuk itu pada awal bulan Januari 1967, Munir dan Pratomo dari CC PKI telah berada di Gorang Gareng (Daerah Magetan) untuk membantu Basuki dan Sutrisno yang telah berada di daerah ini. Basuki telah berhasil membentuk pasukan gerilya desa (Gerda) yang berjumlah lebih kurang 100 orang yang sudah tersebar di desa-desa di daerah Comite Proyek Lawu. Mereka bertugas sebagai kurir dan penunjuk jalan antara Takeran dan Garongan. Pada awal bulan Januari 1968, di Gorang Gareng diadakan rapat pimpinan Comite Proyek Lawu yang dihadiri oleh Munir, Pratomo, Basuki, dan Sumardi. Mereka membahas pembagian kerja dan penyelenggaraan SPR.
Pimpinan Comite Proyek Lawu terdiri atas Komandan Pratomo, Sekretaris Munir, Wakil Sekretaris Basuki, bagian organisasi : Munir, Basuki, dan Sutikno, Bagian Agitprop Basuki, Komisaris Politik Komando Proyek Sumardi.
Sekolah Perang Rakyat (SPR) hanya bisa diadakan selama tiga hari, diikuti hanya oleh 15 peserta. Kemudian pada bulan Januari 1968 di desa Banjar Panjang dibentuk Detga- Detga. Detasemen Gerilya I bermarkas di Gorang Gareng, Komandannya Djemani dan Suyono sebagai komisaris politik. Detasemen Gerilya II bermarkas di Sarangan dengan Supono sebagai komandan dan Darman sebagai komisaris politik. Mereka juga membentuk peleton-peleton dan regu-regu di bawah Detasemen Gerilya masing-masing. Jabatan komandan peleton dan regu dipegang oleh mereka yang telah mengikuti Sekolah Perang Rakyat. Para komandan Detga dan Komisaris Politik (Kompol) ini bekerja sarna dengan Comite Sub Seksi (CSS) guna mencari tenaga pasukan gerilya, di samping mengurusi akomodasi dan logistik. Detga di daerah basisnya masing-masing juga diharuskan membuat rubaruba (rumah bawah tanah), sebagai tempat persembunyiannya.
Compro Lawu melakukan serangkaian pengacauan dengan pembunuhan. Pada bulan Februari 1968 Supomo melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap Carik Guru tulis desa) Tapak, Magetan, Carik desa tersebut dibunuh karena digolongkan sebagai “rumput beracun”, yaitu golongan yang harus dibersihkan sebagaimana yang dirumuskan dalam “thesis Perjuta”.
Peristiwa pembunuhan tersebut menarik perhatian Tim Intel Rem 081 dan Tim Intel Kodam VIII/Brawijaya. Setelah diadakan Operasi Intel pada tanggal 11 Februari 1968, berhasil ditangkap seorang yang mengaku bernama Pak Gendut. Ternyata dia adalah Koesno, pengawal pribadi dan ajudan DN. Aidit. Sebelumnya ia pernah melarikan diri dari tahanan Batalyon 519. Dari Koesno diperloleh informasi mengenai tokoh PKI persiapan dan kegiatan mereka di daerah Compro Lawu, yang berada di Compro Lawu antara lain Soemiran alias Pak De (BTI Daerah Jawa Timur), Padmo alias Basuki dari CDB Jawa Timur, Kadir alias Soemardi (CDB Jawa Timur) dan Seno alias Munir tokoh CC PKI. Operasi-operasi Intelijen yang berhasil menangkap tokoh-tokoh PKI tersebut berakibat hancurnya Compro Lawu.
—DTS—
[1] Sumber : Buku “Komunisme di Indonesia Jilid V: Penumpasan Pemberontakan PKI dan Sisa-Sisanya (1965-1981), Jakarta: Pusjarah TNI, 1999
[2] Gerakan 30 september Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, 1978 hal.205
[3] Ibid., hal.209
[4] Ibid., hal.213
[5] Ibid., hal. 213
[6] Operasi Trisula Kodam VIII/Brawijaya, op.cit., hal.8
Sumber: g30s-pki.com