Proses Hukum Ke MK Atau Proses Politik Agar Presiden Terbitkan Perppu?

 



Rabu, 7 Oktober 2020


Faktakini.net


*PROSES HUKUM KE MK ATAU PROSES POLITIK AGAR PRESIDEN TERBITKAN PERPPU ?*


_[Catatan Hukum Perlawanan Terhadap UU Omnibus Law Cipta Kerja]_


Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

Advokat, Pejuang Khilafah



DPR dan sejumlah pihak menyarankan masyarakat yang kontra terhadap UU Ciptaker untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konsitusi (MK). Sebab, mekanisme untuk melakukan koreksi UU secara hukum adalah dengan melakukan uji materi ke MK.


Di Mahkamah Konstitusi, masyarakat dapat mengajukan kritik terhadap UU Cipta Kerja secara formil maupun materiil, dan dapat memohon pembatalan UU Cipta Kerja secara keseluruhan, sebagian secara pasal per pasal, atau meminta melakukan tafsir ulang terhadap sejumlah pasal.


Hanya saja, masyarakat banyak yang apatis terhadap proses hukum di MK. Problem yang dihadapi masyarakat terhadap proses uji materi di MK, diantaranya meliputi :


*Pertama,* adanya ketidakpercayaan terhadap MK untuk mengadili secara objektif dan memberi putusan yang adil. Hasilnya, putusan yang dikeluarkan MK bukan mengoreksi kezaliman UU yang diproduksi DPR atau Perppu yang diterbitkan Presiden, tapi justru melegitimasi kezaliman.


Penulis sendiri, pernah mengajukan uji materi terhadap Perppu Ormas ke MK. Dalam prosesnya, penulis merasa diperlakukan tidak adil.


Para pemohon dibatasi waktu dalam menjelaskan dasar-dasar dan argumentasi permohonan. Sementara pihak pemerintah selaku pihak terkait, diberi waktu begitu luas.


Kala itu, Tjahyo Kumolo selalu Mendagri bebas berdeklamasi hingga nyaris satu jam. Bahkan, dalam agenda tanggapan Pemerintah, Tjahyo begitu bebas memutar film pengantar di MK, padahal agenda belum masuk tahapan pembuktian.


Forum Hukum di MK seperti menjadi mimbar opini bagi pemerintah. Sementara Pemohon maupun kuasa hukumnya, baru bicara sebentar sudah di intervensi hakim MK.


Saat itu karena merasa diperlakukan tidak adil, dalam forum MK khususnya terkait pembagian waktu bicara, penulis sebagai salah satu kuasa hukum Pemohon mengajukan interupsi. Penulis sampaikan kepada Majelis MK satu ungkapan :


_"Yang Mulia, jika kami tidak mendapatkan keadilan dalam prosesnya, bagaimana mungkin kami mendapat keadilan dari putusannya ?"_


Sontak Ketua Majelis Hakim MK, Arif Hidayat menyela dan marah. bahkan, menuding penulis melakukan 'Contempt Of Court'.


Itu ditinjau dari prosesnya. Bagaimana dengan putusannya ? Sudah banyak bukti, MK tak lebih menjadi alat legitimasi kebijakan perundangan Presiden dan DPR.


Uji materi Perppu dan UU Ormas ditolak MK. Uji materi UU KPK (perubahan) ditolak MK. Gugatan Sengketa Pilpres 2019 ditolak MK. Perppu Covid ditolak MK karena kehilangan objek. Dan kuat dugaan, akan menyusul penolakan MK terhadap Yudisial Review UU Covid-19 (UU Nomor 2 Tahun 2020 berisi tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-undang).


Jadi preseden-nya MK itu hanya mengubur harapan rakyat, bukan menyemai dan menumbuhkan keyakinan akan adanya keadilan di MK. Jika UU Omnibus Law dibawa ke MK, kuat dugaan nasibnya tidak akan jauh beda dengan nasib Perppu dan UU ormas, UU KPK dan Gugatan Sengketa Pilpres 2019.


*Kedua,* problem yang dihadapi masyarakat terkait terbitnya UU Cipta Kerja, bukanlah sekedar adanya problem inkonstitusionalitas norma. Tetapi ketidak-amanahan, pengkhianatan, dan ketidakberpihakan politik DPR terhadap rakyat.


Jadi, problemnya problem politik bukan problem hukum. UU yang dikeluarkan DPR juga produk politik dari kengototan DPR yang mengesahkan RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU.


Karena itu, membawa persoalan politik ke rahah hukum akan sulit dimenangkan. Hukum itu sendiri produk politik.


*Karena itu cara yang paling rasional adalah melakukan perjuangan dan perlawanan secara politik,* melalui berbagai aksi, agar Presiden dapat mendengar aspirasi rakyat atas penolakan rakyat dan dapat segera menerbitkan Perppu yang membatalkan UU Cipta Kerja dari DPR.


Memang benar, UU ini juga inisiatif eksekutif bukan inisiatif dewan. Artinya, UU Cipta Kerja disahkan itu atas permintaan Presiden, bagaimana mungkin Presiden mau menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU permintaannya sendiri ?


Kata kuncinya adalah 'Adu Kuat'. Ya, bukan lagi soal norma, soal benar salah, tapi soal adu kuat secara politik, adu legitimasi ditengah publik.


Jika gerakan rakyat mampu memenangkan pertarungan politik, maka presiden tak akan mampu menolak untuk menerbitkannya Perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja.


Langkah politik ini lebih memiliki peluang untuk menang, ketimbang membawa perkara ke majelis MK. Langkah politik ini juga konstitusional, karena gerakan menyampaikan aspirasi penolakan melalui saluran menyampaikan pendapat dimuka umum dijamin oleh konstitusi. [].