Strategi 'Blamming Game' Ala Komunis Sebelum Revolusi / Kudeta




Sabtu, 3 Oktober 2020

Faktakini.net

STRATEGI "BLAMMING GAME" ALA KOMUNIS
SEBELUM REVOLUSI/KUDETA

Oleh : Anton Permana.

Strategi "blamming game" ini sebenarnya sering digunakan oleh kalangan militer yaitu strategi perang bumi hangus pusat terkuat benteng pertahanan musuh.

Namun strategi perang ini, kadang diadopsi dalam sebuah pertempuran politik. Bedanya, kalau perang yang menghancurkan bangunan fisik dan orangnya, sedangkan dalam politik yang dibumihanguskan adalah karakter, nama baik, identitas, fungsi, dan gerakan musuhnya baik secara kelembagaan maupun personil.

Dalam sejarah, semenjak fase Eropah Stalin, Lenin, bahkan Mao Tse Tung di China. Semua negara komunis tersebut lahir dari hasil sebuah revolusi berdarah-darah. Tak terhitung jutaan nyawa rakyatnya mereka bunuh tanpa ampun kalau tidak mau menerima ajaran komunis.

Dalam setiap aksi dan tindakannya inilah strategi blamming game itu selalu digunakan. Agar musuh tak berbekas dan tidak menjadi masalah di kemudian hari. Cuma gilanya, kalau dalam ajaran komunis strategi blamming game ini digunakan baik secara fisik maupun non-fisik.

Di Indonesia, strategi blamming game ini pernah dilakukan PKI tahun 1960-an. Secara bertahap mencicil dan menghabisi satu-persatu sendi kekuatan negara ketika itu. Mulai dari tokoh-tokoh berpengaruh yang bersebrangan, dengan berbagai fitnah akhirnya dipenjarakan seperti Hamka, M Natsir, Amir Syafrudin dimana jasa mereka luar biasa terhadap negeri ini.

Begitu juga dengan para Singa nusantara seperti Kartosuwiryo, Daud Beureuh, Kahar Muzakar, dan para pejuang tangguh dalam mengusir penjajahan Belanda dan Jepang. Mereka diadu domba dengan Soekarno sehingga meletuslah perang saudara PRRI, DI/TII dan Parmesta. Sebuah konflik individu antara Soekarno dengan para Singa Nusantara yang kemudian dieskalasi jadi perang Saudara. Begitu juga dengan operasi Ganyang Malaysia.

Belum lagi pembubaran sepihak Partai Masyumi (partai terbesar nomor 2) saat itu. Koran-koran corong perjuangan rakyat, HMI, hingga Moh Hatta pun tak luput dari fitnah PKI. Bahkan Bung Karno pun mereka fitnah kalau ada kemauannya terganjal sedikit saja.

Hingga puncaknya adalah upaya sapu bersih, bumi hangus dengan membunuh para petinggi TNI AD yang paling keras menghalangi agenda PKI saat itu.

Meskipun sudah berkuasa penuh, tapi PKI belum puas kalau masih ada poros kekuatan yang bisa mengganjalnya. Jadi inti gerakan 30/S/PKI tahun 1965 itu adalah puncak strategi blamming game dimana semua sendi kekuatan negara yang bertentangan dengan agenda PKI wajib dihancurkan. Syukur alhamdulillah semua itu gagal dan berhasil dipukul balik oleh TNI loyalis NKRI dan Pancasila bersama rakyat khususnya ummat Islam.

Jadi tidak heran, ketika saat ini dimana para kader dan antek Neo PKI itu berkuasa cara-cara lama itu mereka gunakan kembali. Yaitu, bagaimana secara sistematis mempreteli sendi-sendi kekuatan negara agar lemah dan keropos. Dan merekrut para tokoh, pejabat yang rakus harta serta jabatan. Yang mau di sogok dengan fasilitas dunia dan mau mengorbankan harga diri dan kesetiaannya pada negara.

Pasca reformasi 22 tahun inilah, sebahagian kita rakyat Indonesia baru sadar bahwasanya agenda reformasi yang awalnya begitu indah ujung-ujungnya berubah jadi pintu masuk (membonceng) kebangkitan neo PKI. Contoh dan tahapannya adalah :

1. Menjatuhkan Soeharto sebagai pengawal Garuda. Dengan memobilisasi fitnah, dan rekayasa krisis moneter kolaborasi kekuatan kapitalis dan antek Neo PKI sebagai ujung tombak di lapangan. Maka lahirlah rusuh 1998 yang membuat Suharto mundur dari jabatan.

2. Setelah pengawal Garuda tidak ada lagi, barulah kepala Garuda dipenggal dan dipreteli melalui amandemen brutal terhadap UUD 1945. Out put dari semua itu adalah yang kita rasakan hari ini negara menjadi rezim Oligharki yang liberalis/kapitalis di bawah kontrol skema neo-kolonialisasi (penjajahan gaya baru).

3. Selanjutnya membangun hegemoni kekuatan politik, melumpuhkan alat pertahanan keamanan (komponen utama negara) yaitu TNI yang dipisahkan dengan Polri. Dan membuat berbagai macam lembaga negara baru dengan program agenda penguatan reformasi, dan membuang jauh-jauh apa yang sudah dibangun semasa orde baru.

Tanpa GBHN sebagai guidance, tanpa MPR sebagai representasi kedaulatan rakyat, maka jadilah negara hari ini dikuasai oleh tiga kekuatan pemerintahan saja yaitu ; Parpol/politisi-Aparat/pejabat negara-Cukong.

4. Setelah hegemoni politik didapatkan, kekuasaan trias politika digenggam. Maka, mulailah menghancurkan kekuatan intra pemerintahan dan extra pemerintahan, simbol kekuatan sosial seperti ulama, tokoh agama, tokoh pendidik, tokoh masyarakat, dengan berbagai isu.

Kekuatan intra-pemerintahan seperti lembaga-institusi negara (mulai dari yudikatif, eksekutif, legislatif) dihancurkan melalui isu korupsi dan pelemahan melalui regulasi.

Kekuatan extra pemerintahan dihancurkan melalui isu radikalisme, terorisme, Narkoba, tuduhan makar, dan asusila.

5. Barulah strategi blamming game ini dilancarkan dimana membangun sebuah skenario sistematis bahwa ; Menghabisi image/karakter/kehormatan institusi kelembagaan negara kita agar bobrok dan terpuruk di mata rakyat. Apapun itu institusi lembaganya. Silahkan kita cek dan perhatikan sendiri.

Agar tak ada satupun lagi lembaga, entitas yang baik di negeri ini.. padahal itu semua skenario neo PKI. Yang baik itu hanya dari kelompok Neo-PKI yang di poles melalui mega pencitraan media dan para buzzer.

Tujuannya adalah untuk membuat kita semua rakyat Indonesia apatis, inferior, lemah tak bersemangat, labil, masa bodoh yang akhirnya nanti pasrah saja di bawah kaki mereka.

Akhirnya kita merasa tak berdaya, kerdil, loyo, bahkan untuk bermimpi dan punya cita-cita saja tak PeDe lagi.

Kalaupun ada yang mencoba melawan dan beroposisi, pasti akan dihabisi dengan berbagai cara. Apakah itu intimidasi, persekusi, kriminalisasi, di adu domba dengan sesama, bahkan sogokan uang dan jabatan agar diam.

Sejarah akan terus berulang. Ancaman Neo PKI yang berkolaborasi dengan PKC serta para kelompok opportunis bangsa ini terus bergerak. Kerusakan demi kerusakan terus di produksi. Hingga rumah bernama Indonesia ini ringkih dan keropos tak berdaya lagi. Karena segala sumber kekuatan negara sudah dibumihanguskannya.

Apakah ini akan berhasil ? Jawabannya ada pada seluruh rakyat Indonesia. Bangkit atau punah ! Salam Indonesia Jaya !

Jakarta, 3 Oktober 2020

Foto: DN Aidit gembong PKI