Sugito Atmo Pawiro: UU Cipta Kerja Dan Resiko Degradasi Bagi Otonomi Daerah
Selasa, 20 Oktober 2020
Faktakini.net
UU CIPTA KERJA DAN RESIKO DEGRADASI BAGI OTONOMI DAERAH
Catatan Sugito Atmo Pawiro
MENGHERANKAN ketika banyak pihak yang masih memfokuskan kritisinya pada masalah hak-hak pekerja ketika 79 UU bidang pertanahan, lingkungan hidup, sosial dan ekonomi bergabung dalam paket Omnibus Law bernama UU Cipta Kerja 2020. Padahal dari banyak aspek kehidupan pemerintahan dan bernegara, UU Cipta Kerja memiliki implikasi negative yang jauh lebih luas, dan beresiko menyebabkan kemunduran demokrasi berselimutkan kepentingan ekonomi dan proyek strategis nasional.
Salah satu implikasi negativenya adalah mundurnya prinsip dasar otonomi daerah dan kewenangan daerah dalam mengurusi berbagai kepentingan masyarakat di daerahnya secara mandiri. Berikut beberapa catatannya:
1. Seluruh perizinan usaha di daerah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini presiden sehingga kewenangan pemerintah pusat menjadi begitu besar, mulai dari izin ruang, izin lingkungan, izin bangunan dan seterusnya. Masyarakat di daerah tidak lagi memiliki ruang untuk mengontrol dan berpartisipasi dalam menyeleksi kelayakan usaha yang akan dibuka dan beroperasi di daerahnya. Transparansi dan akuntabilitas yang selama ini dituntut pada pemerintah daerah menjadi semakin tidak penting. Demi kemudahan investasi, kepentingan daerah dianggap tidak perlu dikedepankan dan masyarakat tidak lagi dapat berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan di daerahnya sendiri.
2. Jika presiden sudah mengizinkan usaha dibuka, maka pemerintah daerah dan masyarakatnya tidak bisa menolak keberadaan industri tertentu yang dimiliki asing oleh karena daftar negative (DNI) sudah dihapus, termasuk jika di daerah tertentu akan dibuka industri senjata militer, seperti senjata kimia, mesiu dan sebagainya. Resiko keamanan di wilayah negara tidak lebih penting daripada keuntungan ekonomi.
3. Substansi otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan yang luas kepada daerah dalam mengurusi rumahtangganya sendiri, termasuk perizinan usaha di bidang ekonomi. Namun kenyataannya presiden diberikan diskresi kewenangan yang luas untuk memonopoli seluruh bentuk perizinan investasi sehingga pemusatan kekuasaan berada pada tangan presiden, terutama terkait dengan masalah pengadaan tanah, tata ruang, alihfungsi lahan dan sebagainya. Regulasi ini akan berbenturan dengan masalah tanah masyarakat adat, petani di masyarakat daerah yang selama ini hanya diketahui oleh pemda. Jika menilik Pasal 166 sampai 170 UU Cipta Kerja, maka praktek pemerintahan di Indonesia akan semakin sentralistik (kewenangan tanpa batas pada pemerintah pusat), dan kenyataan ini sangat bertentangan dengan semangat konfederasi dalam prinsip otonomi daerah.
4. Pemerintah pusat berwenang memberikan ‘persetujuan lingkungan’ untuk investasi di Kawasan Ekonomi Khusus (Pasal 23 Ayat 4) dan menghapuskan ketentuan AMDAL yang selama ini menjadi kewenangan daerah otonom dalam penataan kawasan. Akibatnya adalah daerah yang sudah menetapkan kawasan tertentu untuk kegiatan ekonomi sesuai dengan kepentingan lingkungan bagi masyarakat di daerah, dipastikan akan tidak sinkron dengan keputusan izin yang diberikan pemerintah pusat. Padahal kita tahu bahwa sumberdaya yang dimilik pemerintah pusat untuk mengetahui secara persis kepentingan daerah sangatlah terbatas tanpa melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat di daerah. Dengan demikian keputusan pemberian izin investasi semata beralaskan ekonomi semata dengan mengabaikan aspek sosial dan lingkungan masyarakat di sekitarnya.
5. Dalam hal penetapan Upah Minimum bagi pekerja, hak otonomi daerah yang terletak pada kabupaten dan kota telah disunat dengan adanya ketentuan tentang Upah Minimum Propinsi yang hanya ditetapkan oleh Gubernur. Artinya pemerintah kabupaten dan kota tidak lagi berwenang menetapkan upah minimum bagi pekerja di wilayahnya. Padahal esensi otonomi daerah yang terletak pada kabupaten kota adalah memberikan kewenangan kepada kepala daerah di kabupaten dan kota untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya, termasuk pekerja. Catatan: selama ini upah minimum kabupaten dan kota lebih tinggi dari UM Propinsi.
6. Tanah perkebunan yang dikuasai investor tidak lagi dapat dikuasai oleh negara, sehingga melanggar Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945. Kenyataan lebih pahit lagi, daerah dimana lokasi tanah sudah diberikan kepada investor tidak dapat menuntut lagi pengambilalihan lahan yang sudah dikuasai investor meskipun tanah tersebut dalam kondisi terlantar atau dipergunakan untuk kepentingan lainnya di luar tananam perkebunan.
7. UU Cipta Kerja juga menghapuskan kewenangan pemerintah daerah otonom untuk mengatur dan mengelola sumberdaya air, dan diambilalih menjadi kewenangan pemerintah pusat. Hak ulayat masyarakat adat diakui tetapi dengan catatan asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang. Sikap ambigu ini justru bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945.
SEMANGAT yang paling kentara dari UU Cipta Kerja adalah memberikan ruang sebebas-bebasnya bagi kepentingan investasi dan ekonomi dengan mengabaikan kewibawaan negara dalam mengontrol aspek sosial, lingkungan dan kepentingan masyarakat itu sendiri. Kekuasaan otonomi daerah yang dianggap sebagai penghambat laju investasi disunat dan diambilalih oleh presiden dengan maksud agar semua kepentingan investasi dapat dizinkan langsung oleh presiden (one-gate system). Kekuasaan presiden menjadi sangat tak terbatas dan terpusat (sentralistik). Hal ini menimbulkan prasangka bahwa pemerintah pusat semata-mata hanya mendengarkan kepentingan investor saja, sementara bagi masyarakat kalau pun dapat menarik manfaatnya, hanya bersifat ‘menetes saja’ seperti menjadi pekerja atau mitra pemasok bagi investor.
Tanah, air, beserta seluruh isinya suatu saat akan menjadi milik investor !