Tony Rosyid: Serangan Istana Terhadap Anies Sudah Menjadi Ritual



Selasa, 6 Oktober 2020

Faktakini.net

Pengamat Sebut Serangan Istana Terhadap Anies Sudah Menjadi Ritual

Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa, Tony Rosyid membeberkan alasan kenapa Pemerintah pusat sering kali mengkritik kebijakan yang diterapkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Menurutnya, serangan istana ke Anies sudah menjadi ritual. Hal ini sekaligus menegaskan posisi istana sebagai opisisi Anies. Hingga akhirnya Anies tak lagi jadi Gubernur DKI dan pindah kursi di Istana.

Penyerang dari istana yang dimaksud Tony ialah Menkopolhukam Mahfud MD dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Tony mempertanyakan Mahfud dan Airlangga yang kompak urus Covid-19. Menurut dugaan Tony, kedua Menko tersebut sedang berbagi tugas dengan Menko Kemartitiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

“Mungkin berbagi tugas dengan menkomaritim. Menkomaritim urus covid-19 tingkat nasional, menkopolhukam dan menkoperekonomian bagian wilayah DKI. Kalau Menhan? Biar urus singkong saja. Ini bagian dari ketahanan pangan. Entar kalau terjadi perang, kita buat senjata dari singkong,” ujarnya.

Sebelumnya, Mahfud MD mengatakan bahwa Di DKI yang tidak ada Pilkada, justru angka infeksinya tinggi, selalu menjadi juara satu penularannya.

Di sisi lain, sejumlah daerah yang menggelar Pilkada 2020 justru turun status dan zona merah Covid-19. Dari 45 daerah berstatus zona merah, masih kata Mahfud ada 16 daerah yang turun statusnya sehingga kini tinggal 29 daerah yang masih zona merah. Sementara di daerah yang tidak ada pilkadanya, zona merah naik, dari 25 menjadi 33.

Tony menilai data yang diungkap Mahfud bisa saja benar. Yang jadi sorotan Tony adalah cara Mahfud membaca data itu.

“Kalau salah membaca, maka akan salah analisis dan salah pula menyimpulkan,”

Tony menjelaskan, di Indonesia, kemampuan negara melakukan tes PCR secara nasional itu sangat rendah. Hanya 1.799.563 dari total penduduk Indonesia yang jumlahnya 271.052.473. Artinya tidak sampai 2%.

Masih kata Tony, dari 1.799.563 penduduk yang dites, 857.863 ada di Jakarta. Artinya, lanjut Tony 48% penduduk Indonesia yang dites Covid-19 itu adalah warga Jakarta. Sisanya, yaitu 941.700 itu warga di 34 provinsi.

“Sekali lagi, 48% penduduk yang mendapatkan tes PCR secara nasional berada di Jakarta. 52% sisanya tersebar di 33 provinsi. Wajar jika Jakarta lebih dulu berhasil melakukan tracing terhadap warga yang terinveksi covid-19. Kalau jumlahnya paling banyak, wajar! Karena yang dites jauh lebih banyak. Rupanya, ini bukan masalah data dan angka. Tapi masalah otak. Ada isinya apa gak? Hehe,” ungkap Tony

Tony membandingkan, jika menggunakan standar WHO, dimana 1 orang dari 1000 orang perminggu yang dites, maka tes di DKI itu enam kali lipat lebih tinggi dari standar WHO.

“Kalau kita menggunakan analisis mortality (tingkat kematian) karena covid-19, dimana rate mortality global 3,3% dan rate mortality nasional di kisaran 4%, maka rate mortality nasional jauh lebih tinggi dari rate mortality global. Sementara mortality di DKI hanya 2,8%. Jauh lebih rendah dari rate mortality nasional, dan sedikit lebih rendah dari rate mortality global. Bandingkan dengan Jawa Timur 7,3%, Jawa Tengah 6,3%, NTB 5,9%, Sumatera Selatan 5,6%, Bengkulu 4,9%, Sumatera Utara 4,2%, Kalimantan Selatan 4,1%, Sulawesi Utara 3,9% Aceh 3,9%, Kalimantan Timur 3,8% dst,” terang Tony.

Tony menegaskan, data yang ia sampaikan hanya dipahami oleh mereka yang otaknya lurus. Tony menyebut cara membaca yang benar akan melahirkan kesimpulan yang benar.

“Cara baca yang salah akan membuat kesimpulan salah. Kecuali, memang ada niat untuk membaca dan menyimpulkan dengan salah. Ya, silahkan tanya ke istana,” pungkasnya.

Andi Rahman, Warga Jakpus.