Daniel Rosyid: Habib Rizieq dan Malpraktek Administrasi Publik

 



Ahad, 8 November 2020

Faktakini.net

*HRS dan Malpraktek Administrasi Publik*

Daniel Mohammad Rosyid

Sesungguhnya saya tidak terlalu dekat  mengenalnya. Terakhir menemuinya dikediamannya yang sejuk di Mekkah akhir tahun lalu. Berdelapan, setelah berdiskusi soal kondisi tanah air, dia menjamu kami makan malam kepala kambing panggang. Ini pertama kali saya menikmati menu istimewa ini. 

Orangnya bertinggi sedang, berkumis tipis, berwajah sejuk. Banyak senyum. Jika berbicara, bicaranya jelas dengan suara yang lembut tapi kuat intonasinya.  Di depan sederet rak buku dibelakangnya,  beliau berbicara juga dari hati ke hati. Namanya HRS. Kami memintanya untuk memimpin sebuah jejaring untuk mereposisi peran politik-ekonomi ummat Islam Indonesia.  

HRS setuju dengan syarat bahwa keputusan yang diambil harus selalu melalui musyawarah. Tidak boleh ada _one man show_. Alhamdulillah. Kami lega. Ini adalah tanda kemuliaan akhlaqnya. Sebagai tokoh sentral dalam Aksi 411 dan 212, beliau telah membuktikan diri sebagai salah satu ulama yang paling diperhitungkan dalam jagad politik nasional selama paling tidak 5 tahun terakhir. 

Pada saat oposisi efektif parlemen mati suri, sebagai tokoh oposisi paling berpengaruh saat ini, beliau sudah beberapa tahun terpaksa bermukim di Mekkah. Setelah selamat dari beberapa percobaan kekerasan dan kriminalisasi oleh aparat, beliau memutuskan untuk tinggal di Mekkah.  Bagi saya, apa yang dialami oleh beliau adalah malpraktek administrasi publik yaitu penciptaan hukum dan tafsirnya, bukan untuk kepentingan publik, tapi untuk kepentingan penguasa. Dalam disertasi doktor HTN UGM atas nama  MMD, *kreasi hukum dan penafsirannya yang mengabdi pada kepentingan rezim disebut bersifat elitis, ortodoks sekaligus otoriter*. 

Administrasi publik seharusnya digunakan untuk membangun pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta membangun ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Apa yang dialami oleh HRS selama ini adalah pengingkaran atas 4 tugas pokok pemerintahan yang diamanahkan Pembukaan UUD1945. 

Menjelang kepulangan HRS ke Indonesia, puncak malpraktek administrasi publik justru dilakukan oleh MMD (kini menteri senior) yang dengan congkaknya mengancam akan *menyikat* para penjemput HRS yang hendak pulang dalam waktu dekat. Rupanya *MMD menggunakan disertasinya untuk malpraktek administrasi publik*. Saya khawatir, sikap mudah mengancam warga negaranya sendiri ini, walaupun hanya secara verbal, akan menimbulkan _backlash_ yang merugikan rezim Jokowi yang citranya makin buruk oleh legislasi UU no 11/2020 tentang OLCK. 

Pada saat para neokom mendesak Polri agar menangkap HRS segera setelah tiba di tanah air, alih-alih menyambutnya dengan baik-baik, MMD sebagai Menteri senior justru mengambil sikap sombong atas warga negaranya sendiri yang ingin pulang ke tanah airnya sesudah lama terpaksa hidup mengasingkan diri. Saya sedih karena dari tokoh-tokoh Madura yang saya kenal kebanyakan rendah hatinya. 

Argo Wilis, 8/11/2020