M Luthfie Hakim: Persetujuan Tindakan Dan Rahasia Kedokteran

 



Ahad, 29 November 2020

Faktakini.net

PERSETUJUAN TINDAKAN DAN RAHASIA KEDOKTERAN

Oleh DR. Muhammad Luthfie Hakim, S.H., M.H.

Akademisi dan Praktisi Medikolegal

Sehubungan dengan adanya kehendak pihak-pihak tertentu yang meminta pemeriksaan swab (ulang) kepada Habib Muhammad Rizieq Shihab (HRS), Penulis selaku Akademisi dan Praktisi Medikolegal terpanggil untuk menulis Persetujuan Tindakan dan Rahasia Kedokteran untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak terkait dan masyarakat luas.

PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan, demikian bunyi Pasal 45 ayat (1) UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran dan dimuat ulang dalam Pasal 2 ayat (1) No.290/2008 Permenkes tentang Persetujuan Tindakan.

Persetujuan Tindakan Kedokteran terbilang “sakral”, karena merupakan bagian pengakuan atas otonomi pasien (patient autonomy) terhadap tubuhnya sendiri (taking ownership of their own body) yang harus dihargai dan dihormati, salah satu wujud dari Hak Asasi Manusia (HAM). Dahulu di beberapa negara-negara Eropa diperbolehkan para tenaga medis atas perintah penguasa untuk melakukan force feeding terhadap demonstran yang melakukan mogok makan yang kondisinya telah mulai melemah parah, sebagai duty of the State to protect life. 

Dalam keputusan yang lebih baru, European Court of Human Rights telah 

menyatakan bahwa orang yang kompeten dapat menolak intervensi medis apa pun konsekuensinya, termasuk kematian. 


Dengan demikian force feeding tanpa 

informed consent atau bahkan mengabaikan refusal akan dinilai sebagai suatu 

bentuk torture atau degrading treatment yang melanggar ketentuan Art.3 ECHR 

yang berbunyi No one shall be subjected to torture or to inhuman or degrading 

treatment or punishment. Redaksi yang mirip dapat kita baca pada Pasal 28G 

Paragraf Kedua UUD 1945 yang berbunyi setiap orang berhak untuk bebas dari 

penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat menusia dan 

berhak memperoleh suaka politik dari negara lain.


Dalam Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 tentang Kesehatan lebih lanjut diatur

bahwa setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau seluruh 

tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah menerima dan 

memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara lengkap.

Pasal 56 ayat (1) UU No.36/2009 ini berlaku bagi pasien penderita apa pun, 

bahkan terhadap pasien yang diduga mengidap virus HIV tetap diperintahkan

oleh pembuat peraturan perundang-undangan untuk dimintakan persetujuan

terlebih dahulu jika hendak dilakukan tes HIV, tidak boleh dilakukan secara 

diam-diam. 

Kiranya sudah jelas pemeriksaan atau swab terhadap seseorang yang diduga 

mengidap virus Covid-19 pun haruslah diperlakukan sama dengan pasien-pasien 

lainnya, tidak boleh mengabaikan otonomi pasien yang merupakan HAM-nya.

PENGECUALIAN ATAS PERSETUJUAN TINDAKAN KEDOKTERAN

Selanjutnya Pasal 56 ayat (2) UU No.36/2009 menyatakan bahwa Hak menerima 

atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku pada: 

a. penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam 

masyarakat yang lebih luas; 

b. keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri; atau 

c. gangguan mental berat. 

Keberlakuan pengecualian pada huruf a dari Pasal 56 ayat (2) di atas adalah pada 

seseorang yang telah terkonfirmasi menderita penyakit menular yang dapat 

secara cepat menular ke dalam masyarakat yang lebih luas. Dengan demikian 

frasa penderita penyakit merupakan unsur pokok karena merupakan subyek 

regulasi. Bagi mereka yang tidak atau belum terkonfirmasi sebagai penderita 

penyakit (yang penyakitnya dapat secara cepat menular ke dalam masyarakat 

yang lebih luas) tentu tidak termasuk yang mendapat pengecualian persetujuan 

tindakan kedokteran ini. 

Apakah seseorang yang menolak dilakukan pemeriksaan (swab) Covid-19 

memenuhi unsur Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004 tentang Wabah Penyakit 

Menular yang berbunyi barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan 

penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini

diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau 

denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah)?


Yang dimaksud frasa Undang-Undang ini pada Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004

adalah apa yang tersebut dalam Pasal 5 UU No.4/2004, dalam hal ini dikutip

ketentuan yang relevan dengan konteks yang tengah dibahas, yang jika 

diringkaskan menjadi berbunyi upaya penanggulangan wabah meliputi

pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan 

karantina.

Penjelasan yang diberikan pembuat UU atas ketentuan di atas adalah bahwa 

pemeriksaan, pengobatan, perawatan dan isolasi penderita termasuk tindakan 

karantina adalah tindakan-tindakan yang dilakukan terhadap penderita dengan 

tujuan: 

1. Memberikan pertolongan medis kepada penderita agar sembuh dan 

mencegah agar mereka tidak menjadi sumber penularan; 

2. Menemukan dan mengobati orang yang nampaknya sehat, tetapi 

mengandung penyebab penyakit sehingga secara potensial dapat 

menularkan penyakit ("carrier"). 

Memperhatikan tujuan yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 5 tersebut, 

dihubungkan dengan informasi yang diperoleh Penulis bahwa HRS telah 

menjalani pemeriksaan swab Covid-19 dengan hasil negatif, maka hemat Penulis 

bahwa HRS tidak memenuhi unsur Pasal 14 ayat (1) UU No.4/2004.

Mengenai kehendak pihak-pihak tertentu yang meminta agar HRS dilakukan 

pemeriksaan swab ulang, itu hanya dapat dibenarkan apabila secara medis

memang ada indikasi untuk dilakukan swab ulang. Tidak boleh alasannya 

dikarenakan pemeriksaan swab itu dilakukan di RS Swasta sehingga tidak 

kredibel, karena alasan serupa ini jelas bersifat merendahkan tim tenaga medis 

yang telah melakukan pemeriksaan terhadap HRS dan juga merendahkan RS 

Swasta pada umumnya.

RAHASIA KEDOKTERAN

Pasal 38 ayat (1) UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyebutkan 

bahwa setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran. Aturan yang 

mirip diatur dalam UU No.36/2009 Pasal 57 ayat (1) yang menyebutkan setiap 

orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah 

dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. 

Permenkes No.36/2012 tentang Rahasia Kedokteran mengatur lebih lanjut 

bahwa:


⁃ semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan dan atau 

menggunakan data dan informasi tentang pasien wajib menyimpan rahasia 

kedokteran (Pasal 4 ayat (1)).

⁃ Kewajiban menyimpan rahasia kedokteran berlaku selamanya, walaupun 

pasien telah meninggal dunia (Pasal 4 ayat (3)).

Diatur pula tentang Hak Ingkar untuk menyampaikan Rahasia Kedokteran ini 

sebagaimana tersebut dalam Pasal 44 ayat (1) UU No.44/2009 bahwa rumah 

Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang 

berkaitan dengan rahasia kedokteran. Pasal 11 Permenkes No.36/2012 tentang 

Rahasia Kedokteran menegaskan bahwa penanggungjawab pelayanan pasien 

atau pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dapat menolak membuka rahasia 

kedokteran apabila permintaan tersebut bertentangan dengan ketentuan 

peraturan perundang-undangan.

Kerahasiaan kedokteran tidaklah bersifat mutlak atau absolut, ada beberapa 

alasan yang memungkinkan dibukanya rahasia kedokteran. Adapun alasan 

pembukaan rahasia kedokteran diatur secara rinci dalam Permenkes 

No.36/2012 Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi Rahasia kedokteran dapat dibuka 

hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memenuhi permintaan aparatur 

penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, 

atau berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan kesehatan pasien antara lain 

untuk kepentingan pemeliharaan kesehatan, pengobatan, penyembuhan, dan 

perawatan pasien (Pasal 6 ayat (1) Permenkes No.36/2012). 

Pembukaan rahasia kedokteran untuk memenuhi permintaan aparatur penegak 

hukum dalam rangka penegakan hukum dapat dilakukan pada proses 

penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan sidang pengadilan, untuk itu harus 

dilakukan secara tertulis dari pihak yang berwenang (Pasal 7 ayat (1) Permenkes 

No.36/2012). 

Pembukaan rahasia kedokteran atas dasar permintaan pasien sendiri dapat 

dilakukan dengan pemberian data dan informasi kepada pasien baik secara lisan 

maupun tertulis (Pasal 8 ayat (1) Permenkes No.36/2012). 

Pembukaan rahasia kedokteran berdasarkan ketentuan peraturan perundang-

undangan dilakukan tanpa persetujuan pasien dalam rangka kepentingan 

penegakan etik atau disiplin, serta kepentingan umum.


Pembukaan rahasia kedokteran dalam rangka kepentingan umum dilakukan 

tanpa membuka identitas pasien, kecuali untuk hal-hal tertentu antara lain

adanya ancaman Kejadian Luar Biasa/wabah penyakit menular dan ancaman

keselamatan orang lain secara individual atau masyarakat (Pasal 9 ayat (4) dan 

(5) Permenkes No.36/2012).

Dalam hal pembukaan rahasia kedokteran untuk kepentingan ancaman 

Kejadian Luar Biasa/wabah penyakit menular dan ancaman keselamatan orang

lain secara individual atau masyarakat, identitas pasien dapat dibuka kepada 

institusi atau pihak yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut sesuai 

ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 9 ayat (5) Permenkes 

No.36/2012). 

Memperhatikan Pasal 9 ayat (4) dan ayat (5) Permenkes No.36/2012, Penulis 

berpendapat sebagai berikut:

1. Pembukaan Rahasia Kedokteran dilakukan oleh pihak manajemen RS kepada 

institusi atau pihak yang berwenang, apabila ada pasien yang terkonfirmasi 

mengidap penyakit menular;

2. Rahasia Kedokteran pada angka 1 hanya dibuka untuk institusi atau pihak 

yang berwenang untuk melakukan tindak lanjut dalam konteks pencegahan 

penularan bagi masyarakat, bukan untuk mengumumkan kondisi penyakit 

seseorang yang dianggap menular; dan

3. Terhadap pasien yang tidak mengidap penyakit menular maka rahasia 

kedokterannya tetap tidak boleh dibuka kepada siapapun termasuk kepada 

institusi atau pihak yang berwenang, untuk itu pihak RS memiliki Hak Ingkar 

sebagaimana telah dijelaskan di atas sesuai ketentuan Pasal 44 ayat (1) UU 

No.44/2009 dan Pasal 11 Permenkes No.36/2012.

Jakarta, 29 November 2020.

Muhammad Luthfie Hakim dapat dihubungi melalui 

HP 0811-10411-35 atau email luthfiehakim10@gmail.com