HRS Center: Maulid Akbar Langgar Prokes: Mungkinkah Pidana Massal?

 



Selasa, 1 Desember 2020

Faktakini.net

*Maulid Akbar Langgar Prokes: Mungkinkah Pidana Massal?*

Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW, sesuai dengan sebutannya dapat dipastikan sangat banyak orang yang berkerumun. Begitupun Maulid Akbar Nabi Muhammad SAW yang diselenggarakan oleh Markaz Syariah DPP FPI di Petamburan, Jakarta Pusat maupun di Tebet Utara, Jakarta Selatan (Sayyidil Walid Al-Habib Ali Assegaf). Keduanya memang rutin melakukan acara dimaksud. 

Disini tentu terdapat pertemuan kehendak/pikiran (meeting of mind) semua orang yang terlibat dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW baik di Petamburan maupun di Tebet Utara. Pada kesemuanya terdapat sikap batin (mens rea) yang sama. Terkait dengan penerapan hukum Protokol Kesehatan, pokok permasalahannya adalah bagaimana mengobjektifkan mens rea sebagai unsur subjektif secara massal dengan jama’ah yang hadir berjumlah ratusan ribu orang!

Tidak dapat didalilkan terjadinya pelanggaran Protokol Kesehatan hanya dengan menunjuk pada acara pernikahan putri Imam Besar HRS dan cucu Sayyidil Walid Al-Habib Ali Assegaf. Dikatakan demikian, oleh karena acara pernikahan tersebut diselipkan dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW. Dengan kata lain, acara utama adalah Maulid Nabi Muhammad SAW itu sendiri.

Tidak pula dapat dipersalahkan keyakinan ummat Islam untuk mengadakan dan menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Hal itu dilakukan dalam rangka ibadah dan kerinduannya mengenang perjuangan dan keteladanan Nabi Muhammad SAW. Kesemua itu, dilindungi oleh UUD 1945 maupun dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia. 

Adapun perihal sanksi pidana Protokol Kesehatan, termasuk tetapi tidak terbatas ‘kerumunan’, maka keberlakuannya harus diatur dengan kekuatan Undang-Undang. Tidak diperbolehkan pembatasan dan sanksi pidana melalui peraturan dibawahnya, seperti Peraturan Menteri Kesehatan dan Keputusan Menteri Kesehatan.

Pasal 28J Ayat (2) UUD 1945 menyebutkan: “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 

Selanjutnya, Pasal 18 Ayat (2) Undang-Undang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwa, “Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana ini dilakukannya.” Frasa “berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan” maksudnya tiada lain adalah Undang-Undang.

Ditinjau dari ajaran kausalitas (sebab akibat), maka sebab utama terjadinya kerumunan adalah acara Maulid Nabi Muhammad SAW itu sendiri. Dengan demikian, penegakan hukum Protokol Kesehatan akan berujung pada kriminalisasi terhadap acara Maulid Nabi Muhamamad SAW. Konsekuensinya jika penegakan hukum terhadap kerumunan Maulid Nabi Muhamamad SAW tetap dilakukan, maka menurut ajaran kausalitas kedua acara Maulid tersebut adalah bersifat melawan hukum. 

Disini dipertanyakan, apakah mungkin Maulid Nabi Muhammad SAW dikatakan sebagai perbuatan yang melawan hukum, walaupun dimasa pandemi COVID-19?  Menurut ketentuan delik penyertaan (Pasal 55 KUHP) terhadap kesemua orang tersebut – penyelenggara dan jama’ah – harus diproses pidana. Termasuk pula pihak yang membantu (Pasal 156 KUHP). Keseluruhannya berjumlah ratusan ribu orang.  

Pertanyaan seriusnya apakah itu mungkin untuk dilakukan? Jawabannya tentu tidak ada kemungkinan itu. Sepatutnya, proses hukum Protokol Kesehatan terhadap Imam Besar HRS dkk dihentikan penyidikannya. Patut pula kita renungkan pendapat politisi Gerinda Habiburrokhman yang menyatakan, “…soal kerumunan terkait Habib Rizieq mulai di airport hingga puncak kita selesaikan secara dialog yang evaluatif. Repot sekali kalau hanya dari sudut pidana, karena kita semua punya andil. Hukum terbaik adalah yang paling besar manfaatnya untuk rakyat! Pendapat yang konkrit dan bijak. Penulis sangat sependapat.

Jakarta, 1 Desember 2020.

*Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H.*

(Direktur HRS Center & Ahli Hukum Pidana)

๐Ÿ™๐Ÿ™๐Ÿ™