Kasus Penembakan 6 Anggota FPI, Extra Judicial Killing?
Rabu, 9 Desember 2020
Faktakini.net
*KASUS PENEMBAKAN 6 ANGGOTA FPI, EXTRA JUDICIAL KILLING ?*
_[Catatan Reportase Diskusi Online Pusat Kajian dan Analisis Data]_
Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*
Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah
Pada Selasa (8/12), Penulis berkesempatan memenuhi undangan dari Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) sebagai salah satu Nara Sumber Diskusi Online. Selain penulis, hadir Nara Sumber lain : Harist Abu Ulya (Pengamat Terorisme), Dr. Abdul Chair Ramadhan., S.H., M.H., - (Pengamat & Pakar Hukum Pidana), dan Ustadz Asep Syaripudin (Jubir MPUII/Majelis Permusyawaratan Umat Islam Indonesia). Adapun Munarman., S.H., Sekum DPP FPI dan Novel Bamukmin., S.H., berhalangan hadir.
Dalam kesempatan tersebut, penulis membedah tema diskusi dalam tiga persepektif : *Kewenangan, Prosedur, dan Substansi perisitiwa.*
*Dari aspek kewenangan,* penting untuk didalami adanya dugaan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam peristiwa penembakan yang menyebabkan meninggalnya 6 (enam) anggota Front Pembela Islam (FPI), baik peristiwanya itu sendiri maupun penanganan kasusnya. Penyalahgunaan Wewenang bisa terjadi dalam tiga keadaan : *1. Menggunakan wewenang yang bukan peruntukannya, 2. menggunakan wewenang melampaui batas kewenangan, dan 3. Tidak menggunakan wewenang untuk menjalankan tugasnya.*
Dalam agenda Konferensi Pers yang diadakan oleh Polda Metro Jaya, terlihat kehadiran Pangdam Jaya Mayjen TNI Dudung Abdurahman. Bahkan, Pangdam terlihat ikut memegang dan memamerkan barang bukti.
Tindakan Pangdam Jaya ini terkategori abuse of power, karena tupoksi TNI bukan dalam ranah penegakan hukum dan penjagaan Kamtibmas (keamanan, dan ketertiban masyarakat). Tugas TNI adalah menjaga pertahanan dan keamanan Negara dari serangan musuh baik dari luar maupun gangguan stabilitas pertahanan negara dari gerakan separatisme dari dalam yang merongrong kedaulatan Negara.
Nampaknya Pangdam Jaya mengulangi kesalahan karena menggunakan kewenangan bukan pada peruntukannya bahkan tak memiliki kewenangan dalam perkara ini. Sebelumnya, Pangdam Jaya juga melakukan tindakan penurunan Baliho HRS yang sebenarnya hal itu menjadi ranahnya Satpol PP.
Apa dasarnya Pangdam Jaya hadir dalam konferensi media Polda Metro Jaya ? Pangdam adalah bagian dari TNI yang memiliki tugas khusus, bukan menjadi 'Satpamnya' Polisi.
Selanjutnya, tindakan pembuntutan rombongan pengajian keluarga HRS, juga terkategori penyalahgunaan wewenang. Sebab, HRS dalam kasus dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang mengacu pada pasal 93 Jo 9 UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan baru berstatus sebagai saksi, bukan Tersangka. Memang benar, dalam kasus ini penyidik menyelipkan pasal 160 KUHP yang sebelumnya tak ada pada proses penyelidikan. Namun, tetap saja pemanggilan HRS sebagai saksi tak memberikan wewenang kepada penegak hukum untuk melakukan tindakan penguntitan.
Yang benar adalah dilakukan pemanggilan, jika berhalangan lakukan pemanggilan ulang, jika tiga kali dipanggil tidak hadir tanpa keterangan barulah melakukan upaya paksa. Jadi, KUHAP sama sekali tak memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penguntitan terhadap saksi, dalam penyidikan perkara pidana.
Adapun dalih adanya proses penyelidikan tentang adanya kabar akan ada pengawalan HRS saat dipanggil polisi oleh sejumlah massa, tetap saja tidak dapat dibenarkan. Mengingat, mendampingi atau mengawal seorang saksi untuk diantarkan ke penyidik bukanlah tindak pidana. Tak ada satupun pasal perundangan yang melarang saksi dikawal saat dipanggil polisi.
Bahkan, penulis sependapat dengan Abdul Chair Ramadhan yang menyebut belum ada peristiwa pengawalan. Sehingga dalih sedang melakukan penyelidikan dalam penguntitan rombongan HRS tak relevan, mengingat devinisi penyelidikan itu untuk menyelidiki suatu peristiwa apakah terkategori pidana. Ini mau menyelidiki apa, lha wong peristiwa pengerahan massa untuk mengawalnya belum ada ?
*Dalam persepektif prosedur,* juga terdapat problem. Mengadakan jumpa media, menggelar perkara untuk dikomunikasikan kepada publik padahal belum dilakukan olah TKP juga bermasalah. Sekarang darimana dasar pembenaran penyampaian peristiwa telah terjadi tembak menembak di jalan tol yang membuat polisi terdesak, membela diri, dan akhirnya menembak mati 6 anggota FPI ? Lha wong belum olah TKP. Bahkan, publik menyangsikan peristiwa tembak menembak terjadi, mengingat tol Jakarta Cikampek adalah rute tol terpadat. Kenapa tak ada kabar pengguna jalan kebetulan lewat dan memergoki peristiwa tembak menembak tersebut ?
Penguntitan rombongan pengajian HRS selain tak sesuai kewenangan juga melanggar prosedur hukum acara pidana. Sudah ditegaskan sebelumnya, mekanisme memeriksa saksi adalah dengan pemanggilan polisi bukan dengan penguntitan. Penyelidikan juga harus bermula dari adanya peristiwa, bukan antisipasi atas adanya peristiwa yakni klaim polisi HRS akan dikawal masa saat menghadiri pemanggilan polisi.
Lagipula, malam hari melakukan penyelidikan tanpa surat dinas, berpakaian preman, jelas menyalahi prosedur. Wajar, jika FPI pada mulanya menganggap pelaku penyerangan rombongan HRS adalah Preman OTK.
*Dan dari perspektif substansi,* yakni terjadinya penembakan yang menyebabkan meninggalnya 6 anggota FPI, ini yang paling fatal. Sebab, pembelaan terpaksa (noodweer) sebagaimana diatur dalam pasal 49 KUHP harus didasari adanya kesetimbangan antara serangan dan pembelaan diri.
Aneh sekali, pembelaan diri oleh aparat menimbulkan kematian 6 anggota FPI. Padahal, disisi aparat tak ada korban jiwa atau minimal luka berat. Polisi hanya mengungkap kerugian berupa kerusakan kendaraan petugas.
Semestinya, tindakan penembakan oleh aparat apalagi menimbulkan kematian, didasari adanya ancaman terhadap jiwa aparat. Dibuktikan dengan adanya aparat yang terluka berat, atau bahkan ada jatuh korban di pihak aparat.
Belum lagi, klaim anggota FPI menyerang dengan senjata api dan senjata tajam dibantah FPI. Sekum FPI Munarman, menegaskan anggotanya tidak dibekali senjata dan tidak boleh menggunakan senjata.
Tindakan membela diri semestinya juga dilakukan dengan tembakan yang melumpuhkan bukan mematikan, bahkan tidak dibenarkan menggunakan peluru tajam saat membekali penyidik dalam proses penyelidikan. Haris Abu Ulia juga menyayangkan, adanya tembakan yang mematikan bukan tembakan yang melumpuhkan.
Jika analisis ini digunakan untuk menyimpulkan ada tidaknya extra judicial killing dalam kasus kematian 6 anggota FPI, secara formil memang harus dilakukan kajian dan penyelidikan terlebih dahulu. Karena itu, penulis usulkan dibentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
TGPF ini harus melibatkan semua unsur agar terjamin tranparansi dan asas imparsialnya. Juga untuk menghasilkan kesimpulan yang otoritatif dan legitimate.
Secara substansial, pembunuhan oleh aparat penegak hukum tanpa didasari suatu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) jelas merupakan pembunuhan diluar hukum, ini jelas extra judicial killing. Sebab, kepolisian tugasnya hanya melakukan penyelidikan dan penyidikan bukan eksekusi tanpa putusan pengadilan.
Lebih jauh, penulis menduga kuat adanya kejahatan negara (State Crime) dalam peristiwa ini. Mengingat, penyerangan terhadap rombongan pengajian keluarga HRS yang semula dianggap dilakukan oleh Preman OTK ternyata dilakukan oleh alat negara. Pernyataan Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Fadil Imran yang mengakui anggotanya yang melakukan penguntitan, sangat mengagetkan.
Itu artinya, patut diduga ada peran negara melalui institusi alat negara yang menyebabkan terjadinya peristiwa yang menewaskan 6 anggota FPI. Apalagi, Presiden hingga saat ini bungkam, tak ada pernyataan resmi Presiden yang bisa menjadi dasar klarifikasi bahwa semua tindakan ini diluar kontrol negara.
Jadi, ini bukan saja soal adanya extra judicial killing, tetapi juga soal adanya state crime. Sebuah kejahatan yang dirancang, dilakukan oleh organ negara, baik atas dasar instruksi atau minimal sepengetahuan negara yang membiarkan peristiwa ini terjadi. Karena itu, penting untuk segera dibentuk TGPF yang melibatkan banyak unsur, bukan hanya bentukan Komnas HAM. [].