Kepolisian Tak Miliki Wewenang Periksa Wartawan Edi Mulyadi Terkait Penembakan 6 Laskar FPI

 




Selasa, 15 Desember 2020

Faktakini.net

*KEPOLISIAN TAK MEMILIKI WEWENANG UNTUK MEMERIKSA WARTAWAN EDY MULYADI DALAM PENYELIDIKAN TEWASNYA 6 ANGGOTA FPI OLEH TEMBAKAN ANGGOTA POLDA METRO JAYA*

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Wartawan Forum News Network (FNN) dan Youtuber Edy Mulyadi pemilik akun Bang Edy Channel dipanggil oleh penyidik Bareskrim Polri, melalui surat panggilan dengan nomor: S.Pgl/2792/XII/2020/DitTipidum. Pemanggilan dilakukan karena adanya penyidikan dugaan tindak pidana dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang juncto tindak pidana kepemilikan senjata api dan senjata tajam tanpa izin dan/atau melawan petugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP Jo pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UU Darurat No 12 tahun 1951, dan/atau pasal  214 KUHP dan atau pasal 216 KUHP.

Pemanggilan dilakukan karena unggahan konten vlog di Youtube, usai penembakan enam laskar Front Pembela Islam (FPI) yang dibuatnya. Edy Mulyadi dipanggil dalam kapasitas sebagai saksi dalam kasus laporan penyerangan petugas di (Tol) Jakarta-Cikampek 50, sebagaimana ungkap Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes John Weynart Hutagalung (14/12).

Menurut penyidik, Edy hendak dimintai keterangan karena ada saksi di tempat kejadian perkara (TKP) rest area KM 50 Tol Cikampek, lokasi penembakan laskar FPI, yang mengaku bertemu dengan Edy. Edy diketahui mengunggah konten pada 9 Desember, dua hari setelah penembakan. Durasi videonya 3 menit 13 detik. Ia memaparkan kesaksian dari penjaja warung di sekitar lokasi.

Mengenai pemanggilan Wartawan Edy Mulyadi dalam kerangka mengambil keterangan sebagai saksi, semestinya penyidik memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

*Pertama,* Edy Mulyadi yang mengunggah konten video pada 9 Desember, dua hari setelah penembakan (7/12), adalah dalam kerangka menjalankan tugas jurnalisme. Dalam video berdurasi 3 menit 13 detik, Edy nampak menggunakan Rompi wartawan Forum News Network (FNN).

Dalam menjalankan tugas jurnalisme -Dalam Hal ini melakukan Jurnalisme Investigasi- Wartawan Edy Mulyadi sudah pasti banyak bertemu dengan saksi yang ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) rest area KM 50 Tol Cikampek. Hanya saja pertemuan itu bukan dalam kerangka saat adanya kejadian perkara, tetapi dalam konteks meliput peristiwa.

Karena itu, tidak pada tempatnya memanggil Wartawan Edy Mulyadi sebagai saksi, mengingat devinisi saksi menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang *suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.*

Wartawan Edy Mulyadi *tidak mengalami peristiwa* yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Edy Mulyadi hanya menuturkan ulang peristiwa yang ia ketahui berdasarkan penuturan Nara Sumber, yang dalam liputan dimaksud memang tak berkenan disebutkan.

Sehingga pemanggilan Wartawan Edy Mulyadi sebagai Saksi tak memenuhi unsur-unsur saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 26 KUHAP. Penuturan Edy Mulyadi dalam proses penyidikan perkara tidak bernilai, karena merupakan keterangan yang terkualifikasi 'Testimonium De Auditu'.

*Kedua,* sebenarnya Penyidik Polri masih dimungkinkan mengambil keterangan kepada Wartawan Edy Mulyadi, *namun hanya sebatas permintaan keterangan dan klarifikasi.* Hal ini juga tidak bisa dilakukan langsung kepada yang bersangkutan, melainkan wajib melalui Dewan Pers sehubungan dengan peran dan kedudukan Edy Mulyadi sebagai wartawan.

Apalagi, sebelumnya  Kepolisian melalui Kapolri Tito Karnavian dan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo telah menandatangani kesepakatan Nomor: 2 / DP / MoU / II / 2017 dan Nomor: B / 15 / II / 2017, yang pada pokoknya berisi kesepahaman dalam Koordinasi untuk memberikan Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakkan Hukum Terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.

Memang benar, status Wartawan Edy Mulyadi dipanggil sebagai saksi bukan terlapor. Namun, di Republik ini orang bisa dipanggil sebagai saksi, beberapa hari kemudian berubah menjadi tersangka tanpa pemeriksaan pendahuluan, sebagaimana jamak diketahui publik dan yang paling mutakhir adalah apa yang dialami HRS.

Pemanggilan aparat kepolisian secara langsung, juga berpotensi mengancam Kebebasan pers, yakni suatu hak yang diberikan oleh konstitusi atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan media dan bahan-bahan yang dipublikasikan seperti menyebar luaskan, pencetakan dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku atau dalam material lainnya tanpa adanya campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah [Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers].

*Ketiga,* pemanggilan dan pengambilan keterangan Wartawan Edy Mulyadi juga patut diduga akan dijadikan legitimasi narasi perisitiwa versi penyidik, sebagaimana sebelumnya disampaikan Kapolda Metro Jaya yang menyebut anggotanya diserang, FPI memiliki senjata, dan akhirnya anggota Polda Metro Jaya terpaksa menembak mati 6 anggota FPI.

Narasi ini dapat diketahui dengan memperhatikan pasal penyidikan yang digunakan Polri yakni dugaan tindak pidana dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang juncto tindak pidana kepemilikan senjata api dan senjata tajam tanpa izin dan/atau melawan petugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP Jo pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) UU Darurat No 12 tahun 1951, dan/atau pasal  214 KUHP dan atau pasal 216 KUHP.

Jadi, penyidikan ingin menguatkan pernyataan Kapolda Metro Jaya bahwa benar anggota FPI diduga melakukan tindak pidana dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap petugas Polda  atau barang kendaraan milik Polda, atau anggota FPI terlibat kepemilikan senjata api dan senjata tajam tanpa izin dan/atau melawan petugas. Narasi ini, sebelumnya terbantah oleh liputan investigatif yang dilakukan oleh Edy Mulyadi melalui keterangan saksi yang mengaku tidak ada tembak menembak di TKP, sebagaimana sebelumnya diklaim Kapolda Metro Jaya.

Hal ini pula, patut diduga yang akan menjadi alasan Polri memanggil keluarga dan 4 anggota FPI yang diklaim melarikan diri. Jadi, *diduga kuat ada semacam upaya mengubah kedudukan 6 korban dari FPI menjadi pelaku*, dan *mengubah kedudukan keluarga Korban yang semestinya mendapatkan perlindungan hukum justru mendapat tekanan dan intimidasi psikis karena dikualifikasikan sebagai keluarga pelaku.*

Dan wartawan, tak boleh melegitimasi narasi seperti ini. Wartawan harus tetap independen, tak boleh larut dan mengikuti statemen sepihak dari kepolisian. Sebaliknya, wartawan harus terus melakukan investigasi dan verifikasi fakta di lapangan, agar peristiwa terungkap secara terang benderang. [].