Khozinudin: Negara Cuci Tangan Pada Kasus Matinya 6 Anggota FPI Oleh Tembakan Polisi?

 



Rabu, 6 Desember 2020

Faktakini.net

*NEGARA CUCI TANGAN PADA KASUS MATINYA 6 ANGGOTA FPI OLEH TEMBAKAN POLISI ?*

_[Catatan Hukum Diskusi Webinar bersama LMI Sumatera Utara]

Oleh : *Ahmad Khozinudin, S.H.*

Advokat, Aktivis Pejuang Khilafah

Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarief Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra meminta Presiden Joko Widodo untuk menjalankan sendiri tanggung jawab negara dalam menindak para pelanggar hak asasi manusia (HAM) secara adil. Menurut Azyumardi, Komnas HAM hanya bisa meneliti dan menyelidiki laporan masyarakat terkait dengan kasus pelanggaran HAM. (15/12).

Penulis sendiri, berulang kali mengusulkan agar Presiden segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang melibatkan sejumlah lembaga dan profesional, agar menghasilkan penyelidikan yang otoritatif dan legitimate. TGPF ini dibuat agar ada jaminan proses penyelidikan yang bersifat independen, objektif, profesional, imparsial dan transparan.

Adanya TGPF bentukan Presiden ini selain menghasilkan penyelidikan yang otoritatif dan legitimate, juga agar hasil penyelidikan dapat ditindaklanjuti secara tuntas. Sehingga, masyarakat tidak hanya disuguhi parodi penyelidikan yang bombastis, tapi tidak dapat dieksekusi. Hanya berujung pada kesimpulan dan rekomendasi

Komnas HAM misalnya, paling tinggi hasil penyelidikannya hanya berujung pada adanya kesimpulan pelanggaran HAM berat berdasarkan ketentuan UU Nomor 39 tahun 1999, telah terjadi extra judicial killing dalam peristiwa tewasnya 6 anggota FPI oleh tembakan polisi. Selanjutnya, Komnas HAM merekomendasikan Negara melalui Jaksa agar menindaklanjuti kesimpulan ini, agar melakukan penuntutan melalui Pengadilan Hak Asasi Manusia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 26 tahun 2000.

Namun kemudian temuan Komnas HAM berupa kesimpulan adanya pelanggaran HAM berat dan rekomendasi agar ditindaklanjuti melalui proses pro justisia (pengadilan) akan menjadi mentah jika jaksa tidak menindaklanjutinya. 

Jaksa tidak menindaklanjuti bisa dalam dua keadaan : pertama, menganggap masih ada unsur yang kurang lengkap dalam penyelidikan sehingga belum layak dilimpahkan ke pengadilan. Kedua, mengambangkan perkara dengan hanya menerima berkas dari Komnas HAM tetapi mendiamkan berkas tersebut, tidak membawanya ke persidangan.

Kasus Siyono yang disiksa hingga tewas oleh Densus 88, adalah bukti kongkritnya. Masyarakat awalnya dibuat berkhayal akan adanya keadilan pada kasus Siyono. Namun, kasus itu ambyar, tidak jelas kelanjutannya pasca diperolehnya hasil penyelidikan Komnas HAM.

Publik juga tidak bisa menyalahkan Komnas HAM, karena kewenangan Komnas memang hanya sebatas melakukan penyelidikan dugaan pelanggaran HAM dan membuat laporan yang berisi kesimpulan dan rekomendasi. Komnas HAM tak bisa bertindak sebagai penuntut umum, untuk menindaklanjuti hasil temuan lembaganya.

Karena itulah, perlu ada TGPF yang dibentuk oleh Presiden yang terdiri dari berbagai lembaga terkait seperti Komnas HAM, ORI, LPSK, Kejaksaan, Kepolisian, berbagai perwakilan LSM, akademisi, profesional, dan dari perwakilan FPI. Dalam pembentukan TGPF ini perlu ditekankan kepada anggota TGPF, bahwa Presiden memberikan instruksi kepada Tim untuk menindaklanjuti temuan hingga tuntas.

Dengan dibentuknya TGPF ini, temuan Komnas HAM menjadi mengikat bagi kejaksaan untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan untuk ditingkatkan pada proses pengadilan. Temuan terkait adanya pelanggaran administrasi, juga dapat diteruskan oleh Ombudsman RI kepada lembaga terkait termasuk kepada lembaga kepolisian. LPSK juga dapat mengoptimalkan perannya guna menjamin keamanan seluruh saksi dan korban dalam peristiwa ini.

Dalam diskusi webinar yang diadakan LMI Sumatera Utara (Selasa, 15/12) bertema "Penegakan Hukum atau Pelanggaran HAM, Mencari Suara Lain Dari Kasus Tewasnya 6 Laskar FPI", penulis menekankan pentingnya dibentuk TGPF dalam konteks :

*Pertama,* untuk menyelidiki kepastian adanya dugaan pelanggaran HAM berat berupa telah terjadi Extra Jydicial Killing pada peristiwa tewasnya 6 anggota FPI oleh tembakan anggota Polda Metro Jaya. 

*Kedua,* untuk menyelidiki kepastian adanya dugaan telah terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) yang dilakukan oleh aparat kepolisian pada peristiwa tewasnya 6 anggota FPI oleh tembakan anggota Polda Metro Jaya. 

*Ketiga,* untuk menyelidiki kepastian adanya dugaan telah terjadi tindak kejahatan yang dilakukan oleh Negara (State Crime) pada peristiwa tewasnya 6 anggota FPI oleh tembakan anggota Polda Metro Jaya. 

Sejalan dengan Penulis, pada paparan awal Prof. Dr. Suteki, SH M.Hum dan Achmad Michdan, SH, juga menyerukan pentingnya dibentuk  TGPF. Tim ini selain untuk menyelesaikan perkara secara tuntas, juga untuk menghindari praduga publik akan adanya kejahatan yang diinisiasi oleh Negara (State Crime). 

Dengan dibentuknya TGPF oleh Presiden, maka negara telah hadir untuk terlibat serius menyelesaikan perkara dugaan pelanggaran HAM berat pada pada peristiwa tewasnya 6 anggota FPI oleh tembakan anggota Polda Metro Jaya. Publik menjadi tak bisa berprasangka ada 'State Crime' dalam peristiwa ini.

Pembentukan TGPF yang diinisiasi oleh Presiden juga mengkonfirmasi Negara hadir, bukan malah buang badan. Jika Presiden tak mau membentuk TGPF, maka jangan salahkan publik ada praduga 'State Crime' dalam perkara ini, dan menafsirkan Presiden hanya mau 'Cuci Tangan' atas kesalahan bawahannya di institusi kepolisian. [].